Indonesia merupakan salah satu negara Asia yang sebagian besar warganya tidak bisa berbahasa Inggris dengan baik. Bahkan bagi banyak lulusan universitas berbicara dalam bahasa Inggris hampir seperti sebuah penyiksaan. Indonesia jauh tertinggal dari rekan-rekan mereka yang ada negara-negara tetangga. Ijinkan saya memberitahu Anda cerita saya.
Sejak aku masih di SMP, saya selalu mendapat nilai tinggi dalam bahasa Inggris. Guru bahasa Inggris saya di tahun pertama sangat rewel, tapi dia seorang guru yang baik dan lucu. Dia memanggil saya "kucing" ketika saya membuat suara gaduh dengan teman saat ia tengah mengajar.
Guru bahasa Inggris saya di tahun ketiga rasanya lebih baik. Namanya Pak Yudono. Ini diucapkan seperti "Anda Tidak Tahu" dalam bahasa Inggris (saat saya mengedit ulang tulisan ini ia baru saja meninggal dunia. Al-Fatihah). Karena dia, saya mendapat angka 9 (dari 10) dalam ujian akhir SMP. Angka 9 lainnya yang saya dapatkan adalah dalam pelajaran sejarah, yang juga subjek favorit saya.
Pada tahun pertama SMA, saya menjadi favorit guru bahasa Inggris. Setiap kali ia mengajukan pertanyaan yang tak seorang pun bisa menjawab, dia bisa mengandalkan saya di sebagian besar waktu. Ketika di ITB, untuk dua semester berturut-turut saya bisa mengalahkan teman sekelas yang pernah tinggal di AS selama beberapa tahun.
Namun semua prestasi di atas jauh dari cukup untuk membuat saya bisa fasih dalam bahasa Inggris.
Selama kehidupan profesional saya, presentasi pertama yang saya buat dalam bahasa Inggris adalah pada tahun 1990. Saya diminta atasan langsung untuk meyakinkan bosnya supaya bisa meluncurkan produk antidiare baru. Presentasi itu behasil. Kemudian, saya mendapat kesempatan untuk menghadiri pertemuan di Malaysia, dan beberapa bulan kemudian di Kundl, Austria.
Kedua kalinya saya bekerja untuk Otsuka (saya bekerja perusahaan ini dua kali dengan bos berbeda) telah memberi saya lebih banyak kesempatan untuk berlatih bahasa Inggris, karena orang Jepangnya bisa berbicara bahasa Inggris dengan lancar. Kali ini saya menghadiri simposium di Thailand, dan pergi ke Jepang dua atau tiga kali untuk pelatihan.
Namun, saya menggunakan bahasa Inggris lebih sering ketika saya bekerja untuk BD antara 1997-2003. Bos saya adalah seorang expat, dan saya harus melapor kepada orang yang berbeda yang berbasis di Singapura dan AS. Adalah ketika di BD saya cukup sering bepergian ke luar negeri, apakah menghadiri pertemuan atau berpartisipasi dalam pelatihan.
Begitupun masih selalu ada perasaan bahwa bahasa Inggris saya tidak cukup baik.
Kebanyakan orang berpikir bahwa mengambil kursus bahasa Inggris dapat meningkatkan keterampilan mereka. Itu hanya 25% benar, mungkin kurang dari itu. Pertimbangkan ini. Anak-anak saya mengambil kursus bahasa Inggris rata-rata sekitar 4 jam seminggu. Mereka juga mendapat pelajaran bahasa Inggris di sekolah. Dalam perjalanan ke sekolah setiap pagi, saya meminta mereka untuk membaca sebuah artikel pendek di sebuah surat kabar Inggris, dan saya membantu mereka dengan terjemahan setiap kali menemukan kata-kata sulit. Bisakah mereka berbahasa Inggris dengan lancar? Tidak. Memangnya? Karena mereka tidak mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Itu sama dengan saya. Saya hanya menggunakan bahasa Inggris selama pertemuan bisnis. Di luar ruang pertemuan saya berhenti menggunakannya. Ketika kami melakukan pertemuan bisnis dan expat ada di ruangan, kami selalu berbicara dalam bahasa Inggris. Namun saat si expat meninggalkan ruangan, bahkan untuk waktu yang singkat, kita segera beralih ke "channel lokal".
Fakta lain adalah bahwa saya tidak lagi membaca surat kabar Inggris, tidak juga berlangganan majalah berbahasa Inggris. Ketika saya menonton TV atau film, saya membaca terjemahan lokal, bukannya mendengarkan dari dialog aslinya. Ketika saya membeli buku-buku asing, saya beli versi Indonesianya.
Kebanyakan orang Indonesia melakukan apa yang saya lakukan. Itu sebabnya kita tidak bisa berbahasa Inggris dengan lancar, meskipun kita mulai belajar bahasa sejak SMP, bahkan beberapa dari sekolah dasar, dan juga mengambil kursus bahasa Inggris.
Karena tak punya keberuntungan untuk tinggal di luar negeri, maka saya harus belajar bahasa sendiri. Setelah menyadari fakta-fakta di atas, saya mulai membiasakan setiap hari berbincang dalam bahasa Inggris dengan para kolega ketika masih di BD. Berlangganan koran lokal dan bahasa Inggris, tapi kemudian berhenti berlangganan koran lokal untuk memaksa saya hanya membaca yang berbahasa Inggris. Namun kadang masih baca koran lokal, setidaknya pada hari Sabtu dan Minggu.
Buku asli mulai saya beli daripada yang terjemahan. Meskipun cukup mahal untuk kantong saya, tapi itu meningkatkan penguasaan kosakata dengan cepat.
Di perusahaan, saya mengambil inisiatif untuk berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan manajer, dan dengan kepala divisi lain juga, setiap hari. Sepertinya saya berhasil meyakinkan mereka pentingnya melakukan praktek percakapan setiap hari.
Sementara itu, pemerintah dan pemilik perusahaan swasta termasuk para baron media perlu memberi dukungan, dorongan dan fasilitas agar orang bisa berlatih bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari. Kita perlu stasiun TV dan radio reguler yang sepenuhnya disiarkan dalam bahasa Inggris. Kursus bahasa Inggris berkualitas baik yang ongkosnya lebih terjangkau juga harus disediakan.
Kita membutuhkan jumlah massa kritis untuk pembentukan masyarakat yang pintar berbahasa Inggris, terutama di kalangan profesional dan pekerja, untuk meningkatkan daya saing. Mari kita mulai menggulirkan bola dengan menjual ide untuk seorang teman di kantor, dan mulai bercakap-cakap dalam bahasa Inggris dengan dia, hari ini. (Terbit 8 Oktober 2006)
Label:
Blog,
Percikan
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.