Perhelatan konser musik massal Java Jazz Festival pada Jumat hari itu cukup mengesankan di hati. Saya tiba di Jakarta Convention Center sekitar jam 4 sore, setelah mengambil cuti setengah hari dari kantor untuk mendapatkan tempat parkir yang baik, dan untuk menghindar dari jebakan macet yang bisa menggila bila terlambat datang.
Pintu masuk ke Java Jazz Festival diatur berada tepat setelah area parkir, tidak di gedung utama, yang membuat para penikmat musik jazz bisa menemukan banyak pilihan kedai yang menjual berbagai jenis makan minum. Deretan lapak makan itu diatur dengan cantik dan ditutup tenda putih untuk berteduh jika hujan turun.
Ketika tengah menikmati potongan Papa Ron's Pizza dan sebotol air mineral di depan sebuah kedai, saya melihat Vina Panduwinata berjalan kaki lewat dengan suami dan puteranya, dan duduk di meja sebelah. Hmmm, kadang saya lupa bahwa saya tinggal di Jakarta, bukan di kampung saya yang jauh dari lalu-lalang selebriti.
Pertunjukan Java Jazz Festival pertama yang saya lihat adalah HyperSax N Co yang menggandeng Saunine. Saunine adalah quartet dari Yogyakarta yang didirikan oleh Oni Krisnerwinto pada 1993, begitu pula HyperSax.
Saya berjalan berkeliling area Java Jazz Festival dengan seorang fotografer muda dari sebuah majalah untuk melakukan pengenalan lokasi panggung pertunjukan, sebelum mengarah ke ruang Cendrawasih 2&3 untuk melihat pertunjukan Overload Romance.
Overload Romance, sebuah band lokal dari Bogor dengan Arie sebagai vokalis, Oggie pada gitar, Kay pada drum and Uthe -satu-satunya yang berparas cantik di kelompok ini- pada bas.
Musik techno-disco mereka dengan mudah dicerna dan dinikmati, meskipun mereka lebih suka musiknya dikelompokkan dalam musik pop. Penonton Java Jazz Festival memberi sambutan hangat ketika mereka memainkan komposisi Layang-layang. Musik yang indah, aksi panggung yang enak ditonton, dan interaksi yang bagus dengan penonton. Pergilah ke toko musik terdekat untuk membeli CD mereka.
Saya berpindah ke panggung pertunjukan berikutnya untuk melihat penampilan Sol Project. Grup lokal ini didirikan pada 2006, dan telah merilis album pertama berjudul ‘Indonesia…La Nueva Inspiracion’. Lagu-lagu etnik lokal dipermak habis dengan sentuhan musik salsa latin, seperti pada komposisi lagu Bajing Luncat yang begitu menggoda dan membuat penonton tak henti-hentinya menggoyang badan mengikuti irama musik. Dua jempol.
Akhirnya saya bisa melihat penampilan Balawan Trio di Java Jazz. Balawan didaulat sebagai pemain gitar tercepat dan paling berbakat di Indonesia.
Panggung berikutnya yang saya datangi adalah kelompok yang dikomandani Sadao Watanabe. Saya tahu nama Sadao Watanabe sudah sejak lebih dari 25 tahun lalu, tetapi tidak ingat satu pun komposisi musik yang dibuatnya. Orang tua ini masih bisa menggerakkan rasa saya di Java Jazz dengan permainan flute dan saxophone-nya. Permainan pria yang berada dibelakang perkusi juga sangat mengagumkan. Mereka bermain dengan mengesankan. Hmmm, pengeluaran lagi untuk membeli CD.
Penampilan hebat lainnya di Java Jazz dilakukan oleh John Scofield. Ekspresinya di panggung yang hidup dan bergairah mampu mencerahkan malam. Scofield adalah seorang gitaris jazz dan komposer Amerika yang memainkan jazz fusion, funk, blues, soul dan jenis musik lainnya.
Pertunjukan khusus Java Jazz Festival yang juga kami tonton malam itu adalah Sergio Mendez di plenary hall dan hampir penuh sesak.
Penampilan terakhir yang saya tonton malam itu di Java Jazz adalah Level 42, sebuah kelompok asal Inggris yang telah saya kenal sejak tahun 80-an. Ada sedikit kejadian menjengkelkan saat semua penonton diminta keluar ruangan karena band itu hendak melakukan cek suara. Beberapa saat kemudian tempat duduk di tribun dibuka kembali lebih cepat, seperti yang anda lihat ketika tribun hampir penuh, area di depan panggung tampak masih kosong.
Sayangnya di Java Jazz pada tahun 2007 ini saya tak bisa melihat Lisa Ono, tak juga bisa menonton Indra Aziz, dan banyak lagi yang lainnya. Hmmm, tampaknya saya berpindah tak cukup cepat ...
Pintu masuk ke Java Jazz Festival diatur berada tepat setelah area parkir, tidak di gedung utama, yang membuat para penikmat musik jazz bisa menemukan banyak pilihan kedai yang menjual berbagai jenis makan minum. Deretan lapak makan itu diatur dengan cantik dan ditutup tenda putih untuk berteduh jika hujan turun.
Ketika tengah menikmati potongan Papa Ron's Pizza dan sebotol air mineral di depan sebuah kedai, saya melihat Vina Panduwinata berjalan kaki lewat dengan suami dan puteranya, dan duduk di meja sebelah. Hmmm, kadang saya lupa bahwa saya tinggal di Jakarta, bukan di kampung saya yang jauh dari lalu-lalang selebriti.
Pertunjukan Java Jazz Festival pertama yang saya lihat adalah HyperSax N Co yang menggandeng Saunine. Saunine adalah quartet dari Yogyakarta yang didirikan oleh Oni Krisnerwinto pada 1993, begitu pula HyperSax.
Saya berjalan berkeliling area Java Jazz Festival dengan seorang fotografer muda dari sebuah majalah untuk melakukan pengenalan lokasi panggung pertunjukan, sebelum mengarah ke ruang Cendrawasih 2&3 untuk melihat pertunjukan Overload Romance.
Overload Romance, sebuah band lokal dari Bogor dengan Arie sebagai vokalis, Oggie pada gitar, Kay pada drum and Uthe -satu-satunya yang berparas cantik di kelompok ini- pada bas.
Musik techno-disco mereka dengan mudah dicerna dan dinikmati, meskipun mereka lebih suka musiknya dikelompokkan dalam musik pop. Penonton Java Jazz Festival memberi sambutan hangat ketika mereka memainkan komposisi Layang-layang. Musik yang indah, aksi panggung yang enak ditonton, dan interaksi yang bagus dengan penonton. Pergilah ke toko musik terdekat untuk membeli CD mereka.
Saya berpindah ke panggung pertunjukan berikutnya untuk melihat penampilan Sol Project. Grup lokal ini didirikan pada 2006, dan telah merilis album pertama berjudul ‘Indonesia…La Nueva Inspiracion’. Lagu-lagu etnik lokal dipermak habis dengan sentuhan musik salsa latin, seperti pada komposisi lagu Bajing Luncat yang begitu menggoda dan membuat penonton tak henti-hentinya menggoyang badan mengikuti irama musik. Dua jempol.
Akhirnya saya bisa melihat penampilan Balawan Trio di Java Jazz. Balawan didaulat sebagai pemain gitar tercepat dan paling berbakat di Indonesia.
Panggung berikutnya yang saya datangi adalah kelompok yang dikomandani Sadao Watanabe. Saya tahu nama Sadao Watanabe sudah sejak lebih dari 25 tahun lalu, tetapi tidak ingat satu pun komposisi musik yang dibuatnya. Orang tua ini masih bisa menggerakkan rasa saya di Java Jazz dengan permainan flute dan saxophone-nya. Permainan pria yang berada dibelakang perkusi juga sangat mengagumkan. Mereka bermain dengan mengesankan. Hmmm, pengeluaran lagi untuk membeli CD.
Penampilan hebat lainnya di Java Jazz dilakukan oleh John Scofield. Ekspresinya di panggung yang hidup dan bergairah mampu mencerahkan malam. Scofield adalah seorang gitaris jazz dan komposer Amerika yang memainkan jazz fusion, funk, blues, soul dan jenis musik lainnya.
Pertunjukan khusus Java Jazz Festival yang juga kami tonton malam itu adalah Sergio Mendez di plenary hall dan hampir penuh sesak.
Penampilan terakhir yang saya tonton malam itu di Java Jazz adalah Level 42, sebuah kelompok asal Inggris yang telah saya kenal sejak tahun 80-an. Ada sedikit kejadian menjengkelkan saat semua penonton diminta keluar ruangan karena band itu hendak melakukan cek suara. Beberapa saat kemudian tempat duduk di tribun dibuka kembali lebih cepat, seperti yang anda lihat ketika tribun hampir penuh, area di depan panggung tampak masih kosong.
Sayangnya di Java Jazz pada tahun 2007 ini saya tak bisa melihat Lisa Ono, tak juga bisa menonton Indra Aziz, dan banyak lagi yang lainnya. Hmmm, tampaknya saya berpindah tak cukup cepat ...
Java Jazz Festival Jakarta
Alamat JCC, Senayan, Jakarta. Rujukan : Hotel di Jakarta Selatan, Hotel Melati di Jakarta Selatan, Peta Wisata Jakarta Selatan, Peta Wisata Jakarta, Rute Lengkap Jalur Busway TransJakarta, Tempat Wisata di Jakarta, Tempat Wisata di Jakarta Selatan.Sponsored Link
Sponsored Link
Sponsored Link
Bagikan ke:
Facebook, Twitter, WhatsApp, Telegram, Email. Print!.