Ketika masih kecil mendiang ibu sering menasihati agar "boleh prihatin, tapi jangan sedih". Konsep prihatin mungkin tak banyak dikenal sekarang, terutama di kota-kota besar. Kata prihatin malah pernah menjadi bahan tertawaan orang ketika sering diumbar oleh pemimpin terdahulu saat merespons sebuah kejadian atau berita, karena berkonotasi sedih, keluh dan negatif.
Barangkali itu karena prihatin sang mantan adalah rasa hatinya yang ia tujukan kepada orang lain atau peristiwa yg terjadi di luar dirinya, dan prihatin tentang apa yang orang lain katakan tentang dirinya. Sedangkan prihatin yg dimaksud mendiang ibu, dan konsep Jawa umumnya, adalah pada laku dan sikap diri, bukan soal sikap atau perbuatan orang lain.
Prihatin dalam konsep Jawa ini mendekati arti tirakat, berpayah-payah sekarang untuk kebaikan dan kejayaan di kelak kemudian hari. Jika pun tidak dirasakan sendiri maka manfaatnya akan dirasakan oleh generasi mendatang. Konsep prihatin memberi landasan kokoh bagi pikir rasa jiwa untuk siap dan tabah menghadapi kesulitan, tanpa keluh, tanpa sedih.
Kesadaran penuh pada tujuan mulia membuat laku prihatin akan terasa lebih ringan karena dilakukan dengan kerelaan, tidak tergantung pada dan tidak reaktif terhadap pandangan orang. Laku prihatin selain buat kebaikan diri, juga sering dilakukan untuk kepentingan dan kebaikan keluarga, lingkungan, dan bahkan bangsa.
Dalam olah kedigdayaan, sebuah laku biasa dilakukan dengan berpantang makan, mutih, dan pati geni. Ada yang bertapa di bawah pohon besar atau gua, ngalong, kungkum atau mengambang mengikuti alir air, atau cara lain yang intinya agar orang bisa memusatkan nalar budi rasa jiwa untuk membangkitkan kekuatan mujijat tubuh yang tersembunyi.
Dalam kehidupan laku prihatin dilakukan dengan berhemat pengeluaran makan, sandang, listrik, air dsb agar bisa menabung untuk membiayai pendidikan anak atau adik kakak, atau untuk bisa membeli dan memiliki aset produktif ketimbang menghabiskan uang secara konsumtif yang habis lenyap tanpa bekas untuk kesenangan dan kenikmataan hari ini.
Laku prihatin dalam sikap kerja adalah bekerja lebih keras, lebih panjang, lebih pagi, lebih larut, lebih jauh, atau ikut kursus dan sekolah malam untuk kemajuan diri dan perusahaan tempat ia menggantungkan hidup. Prihatin adalah kesadaran diri untuk rela menjalani hidup dengan sandang pangan papan terbatas dan sikap kerja keras untuk kemuliaan nanti.
Dalam konteks kebangsaan, prihatin adalah sikap dan laku pribadi untuk mendukung kemuliaan negri, terutama bagi kebaikan generasi yang lahir kemudian. Kita menyadari bahwa korupsi menyebabkan bangsa ini tertinggal puluhan tahun dalam pembangunan infrastruktur, selain harus menanggung hutang dalam jumlah besar yang membebani keuangan negara.
Kemampuan keuangan negara yang terbatas membuat pemerintahan Jokowi masih harus berhutang untuk menutupi defisit anggaran. Jokowi juga berusaha keras mengundang investor swasta dan luar negeri untuk mengerjakan proyek infrastruktur, juga menggenjot penerimaan pajak termasuk lewat program Amnesty Tax, dan membatasi subsidi.
Kita percaya bahwa bangsa yang terlalu dimanjakan dengan subsidi akan menjadi bangsa lembek, manja, mudah patah oleh kesulitan, dan mudah dihasut. Bangsa manja seperti ini hanya berpikir untuk kesenangan hari ini, tanpa peduli pada apa yang mereka akan wariskan bagi anak keturunan mereka nanti.
Bangsa petarung tak takut menderita, jika itu baik buat kelangsungan negri. Jangankan menderita hanya beberapa tahun, mempertaruhkan nyawa pun siap. Ketika subsidi dikurangi untuk membiayai pembangunan, publik juga harus yakin dan ikut mengawasi agar pengorbanan mereka sepadan dengan hasilnya.
Kita percaya bahwa pemerintahan Presiden Jokowi telah dan sedang bekerja sangat keras untuk mempercepat pembangunan infrastuktur di seluruh wilayah NKRI, dan berupaya agar tepat sasaran, tepat waktu (lebih cepat bahkan), dan tak ada anggaran yang dikorupsi oleh jajaran di kementriannya. Hasilnya pun sudah mulai terlihat dan bisa dirasakan.
Menjadi menteri di kabinet Jokowi sekarang ini bukan lagi jabatan bergengsi yang enak. Menteri dituntut bekerja keras untuk mencapai target yang ditetapkan presiden. Setiap kali melihat wajah para menteri di TV saya jarang melihat kebanggaan atau keriangan seorang petinggi, namun wajah-wajah letih yang serius karena mereka dipacu harus mengejar capaian yang tak mudah. Namun inilah esensi kabinet kerja.
Bukan empuknya jabatan menteri lagi yang mereka pikir atau nikmati, namun sepanjang waktu para menteri harus fokus pada tugas berat membangun negeri yang harus berhasil dilaksanakan secepatnya. Jangan harap bertahan lama menjadi menteri jika seseorang lebih sibuk berpolitik dan bermain-main dengan anggaran untuk tujuan pribadi dan kepentingan kelompoknya.
Bilamana presiden dan para pembantunya menjadi contoh dalam menjalani laku bagi kemuliaan negeri dengan kerja keras dan kejujuran, maka rakyat pun rela mengikuti pemimpinnya. Kepercayaan yang terbangun kuat itu dibutuhkan untuk menangkal fitnah keji dan berita bohong yang disebar petualang politik dan orang bayarannya, yang semata bertujuan memperlemah kepercayaan rakyat pada pemerintah, bukan untuk kebaikan negri. Mari prihatin, tapi jangan sedih. (Terbit 26 Januari 2016)
Label:
Blog,
Percikan
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.