Oktober 27, 2017

Maukah Saya Jika Jokowi Nyapres?

Dunia itu tak lengkap tanpa ironi, juga soal Nyapres. Ada yang menunjukkan hasratsnya secara terbuka, dengan mendeklarasikan diri, ikut konvensi dan coba menggenjot tingkat popularitas, elektabilitas, dan -tas2 lain, yang konon menjadi indikator posisi pacuan ke kursi RI-1.

Ada yang galau lantaran belum jelas partai pendukungnya, dan apakah jumlah kursi di pileg nanti mencukupi. Ada pula seorang Jokowi yang nggak mikir copras-capres, surva-survei, yang terus cemerlang di survei, sementara setumpuk besar di Jakarta masih menunggu diselesaikan.

Lantaran posisinya yang selalu teratas di banyak survei itu, dan tingkah polahnya yang selalu mendapat perhatian media dan masyarakat, mau tak mau Jokowi terus mendapat serangan, baik sistematis maupun sporadis, terselubung maupun frontal, halus maupun kasar, bahkan tebaran fitnah yang kotor pun kerap menerpanya.

Bagusnya, semua itu ditanggapinya dengan dingin, santai dan ringan, sehingga membuat semua serangan menjadi tumpul, tak mempan, dan tak jarang malah menciptakan gelombang serangan balik yang 'mematikan' si pembuat serangan.

Lalu, maukah saya jika Jokowi nyapres, seperti judul tulisan ini? Jawabnya: maunya nggak mikir saja, lha orang yang diomongin saja selalu bilang nggak mikir. Dan seperti yang dikatakannya ketika beranjangsana ke Sinar Harapan, pikiran tentang itu selalu ia nolkan sehingga tak ada beban dan hambatan psikologis ketika bertemu siapa saja.

Jadi jawaban Jokowi kalau dia nggak mikir soal copras-capres itu bukan sekadar basa-basi. Apa yang ia pikirkan adalah apa yang menjadi tanggung jawabnya hari ini. Perkara ia nyapres atau tidak tampaknya memang hanya Megawati, dan Tuhan yang tahu.

Namun mengenolkan pikiran nyapres itu bukan berarti Jokowi tidak mau menjadi presiden. Bukan pula berarti ia tidak mempersiapkan kualitas diri untuk sebuah jabatan presiden. Saya percaya ia mau ketika ditugaskan, mampu, dan akan berhasil. Jangankan menjadi Presiden RI, menjadi pemimpin regional atau dunia pun saya percaya ia bisa. Itu karena modal karakternya yang kuat, pendekatannya yang menukik langsung ke persoalan di lapangan dan solutif, serta bebas dari kepentingan pribadi dan politik dalam mengelola anggaran dan memilih aparat birokrasinya. Rekam jejaknya menunjukkan itu.

Jadi, sekali lagi, maukah saya Jokowi nyapres? Saya menjawabnya begini, karena pertanyaan itu tidak harus dijawab dengan ya atau tidak, mau atau tidak. Sebagai penduduk DKI, dan memilihnya pada pilgub, saya melihat hasil kerjanya fenomenal. Penanganan persoalan macet dan banjir ada pada arah yang benar, dan banyak hal lain yang sudah, sedang, dan akan ditanganinya, yang sangat membesarkan hati.

Jika saja Jokowi menjabat sebagai Gubernur DKI selama lima tahun penuh, seperti yang selalu dihembuskan oleh mereka yang merasa Jokowi sebagai pesaing para jagoannya, bisa saya bayangkan kemajuan apa yang akan saya lihat dan rasakan di Jakarta nanti. Jelas saya merasa senang jika Jokowi tetap menjadi Gubernur DKI, apalagi jika kalau menjabat sampai 10 tahun.

Tak bisa dipungkiri sayangnya, pun tak bisa tak senang, dan tak pula merasa dikhianati, jika Jokowi nyapres. Begini. Saya tak bisa berharap banyak pada kinerja DPR hasil pileg 2014, karena banyaknya muka-muka lama yang masih dipasang. Gambaran juga masih buram di lembaga peradilan, terkecuali KPK, termasuk buramnya MK yang telah hancur reputasinya.

Maka tak pelak lagi hanya lembaga kepresidenan yang menjadi tumpuan agar negara ini masih punya harapan untuk menjadi lebih baik. Lalu, apakah saya melihat harapan itu ada di Jokowi atau di calon-calon presiden lain yang sudah muncul di permukaan? Marilah kita coba menjawabnya dengan mengajukan pertanyaan berikut ini.

Siapakah calon presiden yang rekam jejaknya:
  • jujur, semua sumber hartanya bisa dipertanggungjawabkan
  • menerapkan transparansi anggaran sepenuh-penuhnya, dan mengelolanya dengan baik
  • bermitra secara positif dan mampu 'menghadapi' tekanan anggota legislatif dengan dingin
  • tidak memiliki kepentingan pribadi, golongan, dan bisnis
  • memilih pembantunya berdasarkan kompetensi, bukan SARA atau afiliasi politik
  • tegas dan terukur terhadap kinerja anak buahnya
  • menyelesaikan masalah secara solutif, tanpa kekerasan
  • membuka mendekatkan diri dengan rakyat, dan dengan cara itu ia menguasai masalah lapangan untuk membuat kebijakan.
  • memberi inspirasi pada setiap tindakannya
  • menggalang dukungan positif dari institusi terkait, termasuk kepolisian dan militer, karena karakter dan pendekatannya yang santun, dan tujuannya yang lurus
  • memberi ruang luas dan dukungan riil terhadap tumbuh kembangnya seni budaya
  • mendapat dukungan luas dan dicintai karena kinerjanya yang bisa dilihat dan dirasakan rakyat banyak

Masih banyak rekam jejak lain yang bisa ditambahkan pada daftar di atas, dan hemat saya semua pertanyaan tentang rekam jejak itu bagian besarnya, jika tidak semuanya, mengarah pada satu nama: Jokowi.

Amin Rais benar ketika mengatakan bahwa jangan memilih Jokowi hanya karena popularitasnya. Yang seharusnya ia dan orang lakukan adalah melihat rekam jejaknya secara obyektif, tanpa dibaluti kepentingan, tanpa ditunggangi prasangka, dan tidak pula menebar tuduhan yang tak bisa dibuktikan.

Jika kemiskinan Solo diungkit, ia mungkin lupa bahwa Jokowi lebih memilih memakai indikator kemiskinan yang lebih mencerminkan kondisi riil masyarakatnya agar bisa lebih baik menanganinya, ketimbang memanipulasi data kemiskinan agar terlihat lebih rendah hanya untuk kepentingan politik dan pencitraan.

Lalu, sekali lagi, maukah saya jika Jokowi nyapres? Jawabnya berupa sebuah pertanyaan: begitu egoiskah saya sehingga tak rela melepaskan Jokowi sebagai gubernur untuk nyapres, menjadi presiden, dan menjadikannya sebagai tumpuan harapan bagi rakyat Indonesia yang demikian rindu pada pemimpin jujur, dan benar-benar bekerja untuk kepentingan mereka?
Label: Blog, Inspirasi, Jokowi, Percikan, Politik
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.

aroengbinang, seorang penyusur jalan.
Traktir BA secangkir kopi? Scan via 'Bayar' GoPay.