Ketika masih kecil hingga menjelang dewasa saya hidup di lingkungan keluarga NU (Nahdlatul Ulama, Kebangkitan Ulama) dari pihak ibu yg kebetulan merupakan salah satu puteri dari mendiang KH Abdul Djamil, pendiri pondok pesantren di Mersi Purwokerto Wetan. Mendiang ibu adalah juga cucu alm KH RM Muhammad Ilyas, mursyid tarekat Naqsabandiyah-Kholidiyah Sokaraja dan buyut Diponegoro.
Meski mbah Dul Jamil, begitu kami biasa menyebut namanya, wafat pada sekitar tahun 1945 dan pesantrennya di Mersi meredup bersama kepergiannya, namun ada mbah Dul Malik (kakak kandung mbah Dul Jamil puteri) di Kedungparuk yang kemudian menjadi sesepuh keluarga. Sementara di Sokaraja ada putera keturunan mBah Ilyas dengan lain ibu (puteri Syekh Abubakar) yang meneruskan garis tarekatnya.
Mendiang Mbah Dul Malik, yang semasa hidupnya sering mampir ke rumah kami di Mersi untuk berbincang dengan ayah yang waktu itu telah pensiun, dikaruniai usia panjang hingga 99 tahun. Beliau disebut sebagai salah satu guru dari Habib Luthfi, Pekalongan. Menurut cerita bulik Nur, adik ibu yang paling bungsu, Habib Luthfi ketika masih kecil sering dipangku mbah Dul Malik sambil beliau tertawa-tawa menikmati hisapan rokoknya.
Latar belakang ibu yang kuat aliran darah NU-nya dan membuat saya hafal puluhan wirid dan khatam Quran sejak SD diimbangi oleh ayah yang berpandangan lebih terbuka dan luas wawasannya. Ayah yang pensiun sebagai Wedana dan keturunan keempat Aroeng Binang I, adalah penganut Islam yang tidak masuk dalam kotak-kotak keagamaan. Ia nyaman bergaul dengan orang NU, Muhammadiyah, dan Ahmadiyah.
Penyebutan keturunan itu sekadar sebagai latar sejarah pikir, tak hendak mengklaim status yang mereka semua pernah toreh semasa hidupnya. Karena itu ketika masih sekolah di SD, selain membaca Qur'an standar, saya juga membaca Qur'an Jarwo Jawi yang diterbitkan Ahmadiyah Lahore, dan juga membaca dua kitab perjanjian dengan gambar-gambar memikat yang menjadi koleksi ayah.
Mengapa ayah memiliki koleksi buku-buku itu mungkin lantaran saudara-saudara ayah ada sebagian yang menjadi tokoh Ahmadiyah, NU, Muhammadiyah dan tokoh agama lainnya. Kepercayaan yang berbeda-beda itu sepertinya tak berpengaruh pada hubungan persaudaraan ayah dengan mereka. Sewaktu kecil saya sering diajak berkunjung ke rumah saudara-saudara ayah itu, dan semuanya kini tinggal menjadi kenangan.
Begitupun pada masa kecil saya itu perselisihan antara pengikut NU dan Muhammadiyah di tingkat akar rumput masih tajam. Sikap curiga dan sinis satu dengan yang lainnya sangat terasa.
NU yang mengakomodasi budaya Jawa untuk menyampaikan pesan dan ajaran kebaikan, dan Muhammadiyah yang ingin memurnikan dengan menghilangkan kebiasaan lama, seperti minyak dan air. Tak bisa bercampur, selalu memisah. Salah satu yg sering menjadi titik perselisihan adalah soal ada tidaknya bacaan qunut ketika shalat subuh, bacaan shalat standar, selain soal ziarah kubur, selamatan dll.
Namun kemudian, entah kapan dan siapa yang menghembuskannya, mulai muncul pesan sejuk menyebar ke akar rumput yang pelan tetapi pasti mampu mendinginkan dan mencairkan kebekuan hubungan pengikut kedua ormas Islam terbesar di tanah air itu. Jembatan penghubung telah dibuat dengan menemukan persamaan, ketimbang membesar-besarkan perbedaan.
Titik temu perbedaan shalat Subuh dengan membaca qunut atau tidak antara NU dg Muhammadiyah adalah kedua-duanya sama-sama mendirikan shalat. Sehingga kemudian muncul semacam kesepakatan tak tertulis bahwa masih jauh lebih baik shalat daripada tidak sama sekali, baik membaca qunut atau pun tidak. Toh pada akhirnya yang memutuskan diterima tidaknya shalat seseorang bukanlah manusia.
Lalu mulai muncul sikap lebih toleran, orang NU yang menjadi imam shalat jamaah Muhammadiyah dengan sengaja tak membaca qunut. Juga ada orang Muhammadiyah yang sengaja membaca qunut jika jamaahnya banyak yang orang NU. Bacaan shalat yang ada sedikit perbedaan diantara keduanya pun tak lagi menjadi isu besar. Perbedaan pandang dan praktik keseharian pada hal yang tak mendasar dibuat jembatan penghubung, karena kebenaran manusia tidak akan pernah bersifat mutlak.
Dengan alur pikir yang sama, bisa dikatakan bahwa titik temu ritual dan keimanan setiap agama dan aliran kepercayaan adalah pada ajaran untuk berbuat kebaikan, dan untuk tidak membuat kerusakan di bumi, termasuk pada umat manusia. Jembatan penghubungnya adalah lebih baik beragama dan menganut kepercayaan yang memberi pedoman pada perilaku ketimbang tidak sama sekali.
Berdakwah atau mengabarkan pesan kebenaran dan kebaikan tidaklah semata bertujuan agar orang memeluk agama yang dianut pendakwahnya, karena keyakinan untuk memeluk agama, jika bukan karena faktor keturunan, adalah hidayah, petunjuk gaib dari yang Mahakuasa. Hidayah pada iman adalah urusan Tuhan, dan kita sepakat bahwa tak ada paksaan dalam beragama. Kepercayaan ada di dalam hati, yang mustahil untuk orang bisa masuk ke dalamnya.
Namun kepercayaan bisa dibangun dengan ketelatenan dalam menebar kasih sayang, menanam pesan damai dan kebaikan. Wajah teduh, tutur lembut, sikap pemaaf, lebih mungkin masuk ke dalam hati manusia ketimbang kata-kata yang mengancam, wajah yang beringas menindas atau secara keras mengkofir-kafirkan orang yang tak seagama dan tak sefaham.
Indonesia adalah bangsa majemuk, dengan berbagai suku, kepercayaan, dan agama, begitu pun dunia ini. Memperbesar perbedaan dan sikap intoleransi hanya akan menciptakan jurang pemisah yang langgeng. Hidup berbangsa karenanya harus bisa menghargai perbedaan pandang dan kepercayaan, serta membuat lebih banyak jembatan yang menghubungkan persamaan sebagai perekat kebangsaan.
Dalam film All the Way, Lyndon B. Johnson, presiden Amerika Serikat pengganti John F Kennedy yang dibunuh, dalam puncak frustrasinya mengatakan bahwa "Clausewitz said 'Politics is war by other means'... Bullshit. Politics is War... Period" (terjemahan Inggris tulisan Clausewitz aslinya adalah "War is the continuation of politics by other means."). Realitas politik kita saat ini tampaknya seperti yang disebut Lindon, lebih merusak tatanan kebangsaan ketimbang membangun jembatan yang menyatukan bangsa.
Namun kita bersyukur masih ada tokoh sepuh seperti Buya Syafii Ma'arif serta sejumlah tokoh sepuh dan muda lainnya di negeri ini yang masih berpikir jernih, menyejukkan diantara kabut beracun yang menyulut permusuhan dan menggelapkan pikir. Kepada para guru, ulama, dan cendekiawan yang arif bijaksana itu kita panjat doa keselamatan, semoga panjang usia agar bisa terus menjadi panutan dan penerang bagi sikap umat dalam berbangsa dan bernegara.
Kita tidak boleh membiarkan negeri ini dipecah belah oleh para petualang politik dan penjual surga yang hendak merebut kekuasaan dengan cara-cara yang mencederai proses demokrasi dan kemanusiaan. Kita harus membangun lebih banyak jembatan NKRI yang mampu menciptakan suasana damai, sejuk, dan kondusif, agar rakyat tenang tenteram dan pemerintah kembali bisa fokus bekerja untuk mempercepat pembangunan negeri yang sudah terlalu lama salah urus karena korupsi ini. (Terbit pertama kali 12 November 2016)
Label:
Blog,
Percikan
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.