Oktober 29, 2017

Pelajaran di Jalan

Jalan-jalan di Jakarta kian hari kian menjadi semakin padat dengan sepeda motor lama dan baru, dan mobil pribadi pun terus meninggalkan ruang pamer setiap harinya untuk meluncur di jalanan kota. Untuk semakin memperburuk keadaan, beberapa jalan utama menjadi lebih sempit bukannya lebih luas, karena salah satu jalur digunakan untuk jalur Trans-Jakarta ditambah gencarnya pembangunan infrastrukur.

Data dari Indonesian International Motor Show 2007 mengungkapkan bahwa 6.025 mobil terjual selama pameran 10 hari yang berakhir Sabtu lalu, naik dari 5.405 mobil dari tahun lalu. Ini setara dengan Rp1,3 triliun penjualan. Bisnis mobil masih bagus di negeri ini.

Mobil baru memberi prestise bagi perusahaan dan individu yang memilikinya. Bagi orang lain, mobil baru juga memberi ketenangan pikir daripada memiliki risiko membeli mobil bekas yang tak jelas bagaimana riwayatnya, yang bisa merongrong uang dan waktu.

Sekalipun demikian, biaya prestise itu cukup mahal. Sebuah mobil baru dengan banderol Rp350 juta bisa kehilangan nilainya sebesar Rp100 juta hanya dalam satu tahun setelah pembelian. Mobil seharga Rp1,6 miliar mungkin kehilangan nilainya sebesar Rp400 juta dalam setahun, atau Rp1 miliar setelah 5 tahun.

Sudah lima tahun lalu sejak boss membelikan Mitsubishi Gallant V6 untuk saya gunakan. Saya membeli mobil itu saat keluar meninggalkan perusahaan, dan masih menggunakannya sekarang. Nilainya setelah lima tahun hanya 40% dari harga aslinya.

Mobil impian saya adalah Range Rover Vogue. Ini mimpi yang mahal, dan tidak mungkin saya membeli yang baru. Bahkan model tahun 2002 akan menghabiskan biaya di atas Rp500 juta, dan gagasan untuk merugi Rp200 juta selama dua tahun ini benar-benar membunuh selera. Berapa banyak pengemis dan orang miskin yang bisa disantuni dengan menggunakan uang sebanyak itu?

Sambil mencoba melepaskan diri dari mimpi bodoh itu, selama beberapa hari ini saya pergi ke kantor menggunakan taksi dan meninggalkan mobil di rumah. Beberapa pikiran terlintas dalam pikiran saya setelah mengangkat telepon untuk melakukan pemesanan taksi.

Memakai taksi benar-benar menghemat energi karena saya tidak perlu menyetir di jalanan Jakarta yang kacau ini. Itu juga menyumbang pada pengurangan jumlah mobil di jalan, meski hanya satu. Apakah itu penting? Tentu saja tidak. Tetapi bagaimana jika dua puluh lima ribu manajer di Jakarta meninggalkan mobil mereka di rumah sekali seminggu saja? Nah itu mungkin akan sangat berarti.

Saat meninggalkan mobil di rumah, saya juga bisa membagikan sebagian pendapatan kepada supir taksi. Selain itu juga memiliki kesempatan untuk mengobrol dengan supir dan mendapatkan beberapa pengetahuan baru yang menarik.

Tadi malam saya mengobrol dengan seorang supir taksi yang mengantar pulang dari kantor. Dia dua tahun lebih muda dari saya, tapi tampak seperti sepuluh tahun lebih tua dan rapuh. Saya mungkin salah, karena itu sebenarnya masalah terbesar saya: saya merasa selalu muda, hampir selalu begitu sepanjang waktu.

Ia tidak menyelesaikan tahun ke-3 di sekolah dasar, namun dapat berbicara banyak tentang politik dalam Pemilu Gubernur DKI Jakarta yang akan datang, tentang pendidikan, pengurangan kemiskinan dan bagaimana pembuat undang-undang dapat berkontribusi secara signifikan terhadap menurunnya jumlah kemiskinan itu, silang pendapat baru-baru ini antara Presiden dan seorang legislator yang dipecat partainya, dan tentang wanita Indonesia yang dia katakan termasuk wanita paling cerdas di dunia.

Mungkin ia belajar dari para penumpangnya, atau terinspirasi oleh mereka. Pengemudi taksi tentu memiliki banyak kesempatan untuk mengumpulkan pengetahuan dan kearifan yang baik dengan mendengarkan dan berbicara dengan pelanggan mereka, dan karena itu mendengarkan dan mengobrol dengan supir taksi bisa sangat mencerahkan. Tak heran kalau Taksi telah digunakan sebagai judul untuk lagu serta film, dan laku.

Saya percaya bahwa ada banyak pelajaran di jalanan yang bisa didapatkan dengan menggunakan sarana transportasi umum lainnya atau berbagi ruang kosong di mobil mereka dengan orang lain. Sayangnya, penggunaan layanan angkutan umum di Jakarta masih cukup menantang, melelahkan dan kadang belum sepenuhnya aman.

Pengelola bus Trans-Jakarta dari waktu ke waktu terus mengoperasikan lebih banyak armada bus yang diharapkan akan mengurangi sedikit rasa lelah penumpang terutama pada jam sibuk. Namun hal yang sangat baik itu belum akan bermanfaat selagi jalur TransJakarta belum juga bisa dibuat steril dari kendaraan pribadi dan sepeda motor.

Kita membutuhkan transportasi umum yang lebih efisien, lebih nyaman, aman, dan murah, agar lebih banyak orang akan didorong untuk meninggalkan sepeda motor atau mobil mereka di rumah sambil memiliki kesempatan untuk mempelajari kearifan jalanan. Jakarta sedang maju menuju arah itu, meski terasa sangat lambat.

Masih menjadi pertanyaan kapan kita bisa naik kereta ekspres untuk sampai ke Bandara Soekarno-Hatta dari pusat kota. Proyek Monorail menghadapi masalah pembiayaan, dan baru belakangan ini proyek akan dilanjutkan setelah dihentikan selama beberapa bulan. Sementara itu saya belum mendengar kabar tentang proyek kereta bawah tanah yang membeku sejak krisis keuangan (perbaruan, sekarang dalam proses).

Mari berharap agar orang-orang Jakarta memilih gubernur yang terbaik pada 8 Agustus yang bisa mempercepat transformasi Jakarta menjadi mega-kota modern, sehingga masyarakat dapat menikmati lebih banyak bepergian dengan kendaraan umum sambil belajar kebijaksanaan jalanan daripada terjebak dalam kemacetan setiap hari dan menjadi stres. (Terbit pertama kali 1 Agustus 2007).
Label: Blog, Percikan
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.

aroengbinang, seorang penyusur jalan.
Traktir BA secangkir kopi? Scan via 'Bayar' GoPay.