Oktober 28, 2017

Sebuah Refleksi Tentang Waktu

Sekitar 23 tahun yang lalu, pada tahun 1983 tepatnya, saya menjadi ketua kegiatan Studi Lapangan Mahasiswa Farmasi ITB ke beberapa tempat di sekitar Jawa Timur, dan juga menjadi editor buku berjudul "Tentang Profesi" yang diterbitkan oleh panitia dengan tujuan untuk mencari dana dari sponsor.

John S. Nimpoeno menyumbang tulisan "Profesionalisme di Negara Berkembang", S. Lumbantoruan menulis tentang "Apoteker sebagai Profesi Kesehatan", Syamsir Alam menyumbang tulisan "Pikiran untuk Prinsip-Prinsip Profesi", Wim Kalona dengan "Masyarakat, Pemerintah, Universitas dan Industri Farmasi: Membangun Jembatan Emas".

Juga Permadi menulis tentang "Ekspektasi Konsumen untuk Produk Farmasi Tahun 2000". Mereka semua orang-orang hebat di masanya. Buku ini pasti memberi saya salah satu kenangan manis selama tahun-tahun kuliah di ITB.

Sebuah Refleksi Tentang Waktu
Ketika tengah mengawasi pencetakan buku di rektorat, saya menemukan bahwa ada setengah halaman yang masih kosong, tanpa isi. Saya memutuskan untuk memasang foto seorang anak kecil, anak pembantu rumah teman saya . Foto itu diambil dari atas. Anak itu tersenyum gembira dan melihat langsung ke kamera. Di bawah gambar saya buat tulisan: “Melihat masa lalu dengan kearifan, menghidupkan hari dengan kecintaan, melihat hari esok dengan penuh kepercayaan”. Di sebelah kanan gambar itu, saya letakkan kartun lucu seekor katak kecil yang tengah duduk dan tangan kirinya menunjuk si anak dengan mulutnya terbuka lebar.

***

Sementara kata bijak itu masih tetap berlaku hari ini tapi, 23 tahun setelah saya menulis itu, saya masih terus berjuang untuk menerima hari kemarin; sering lupa menghidupkan waktu yang sangat berharga yang saya miliki saat ini; dan gugup mengantisipasi hal-hal yang mungkin salah dalam kabut masa depan. Hal yang buruknya adalah bahwa saya tidak sendirian. Kebanyakan orang melakukan hal yang sama.

Sulit untuk memiliki ketenangan pikir dengan masa lalu, terutama yang buruk. Ada saat-saat dimana kita membuat keputusan salah yang menyebabkan bencana; kehilangan orang-orang tercinta; dikhianati teman, pasangan atau bawahan; memilih rute salah yang menyebabkan kena kemacetan lalu lintas parah; bekerja di sebuah perusahaan yang salah atau atasan egois; menghadapi perceraian; kehilangan keperawanan; melakukan aborsi; dibesarkan dalam keluarga yang berantakan; hanya contoh beberapa saja.

***

Sangat sering kita memiliki masalah di waktu yang kita saat ini sedang bernapas. Kita menyia-nyiakan momen berharga yang tidak akan pernah kembali. Mari saya beri contoh. Ketika masih pengangguran, saya bingung karena tidak tahu ke mana harus pergi setiap pagi. Tidak memiliki kegiatan atau tantangan bisa membuat otak jadi kusam; tidak punya uang untuk dibelanjakan; tidak punya teman untuk diajak bicara; kehilangan martabat. Saya sangat butuh keluar dari rumah. Saya ingin pekerjaan.

Waktu saya mendapat pekerjaan yang baik dan memiliki kantor bagus, menariknya saya juga mengeluh karena saya benci lalu lintas yang parah di pagi hari; kehabisan tenaga dengan begitu banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan dan tumpukan masalah yang harus dipecahkan dan semua itu akhirnya bisa membuat otak saya meledak; menghabiskan terlalu banyak uang untuk hal-hal yang bodoh; frustrasi dengan bawahan yang tidak kompeten atau atasan rewel; bekerja berjam-jam atau pada akhir pekan. Saya kelelahan. Saya sangat butuh untuk tinggal jauh dari kantor. Saya ingin pensiun dini.
Apakah itu terdengar akrab bagi Anda juga?

Ada begitu banyak hal yang pada satu waktu kita sangat merindukannya, menghabiskan banyak waktu dan uang untuk memilikinya, dan ketika sudah memilikinya kita menjadi benci dengan yang dulu kita rindukan itu dan ingin sekali meninggalkannya. Pertimbangkan ini: pasangan hidup, anak-anak, makanan, seks, pacar, pemerintah.

Melihat ke masa depan .... Hmmm, itu sebab lain dari berubahnya rambut menjadi putih.

***

Untuk menghadapi hal-hal buruk di masa lalu adalah menerima kenyataan bahwa itu menyakitkan; untuk mengakui bahwa itu telah ditulis, tidak perlu ada penyangkalan, tidak ada kambing hitam; untuk menggali pelajaran, semakin pahit rasanya maka mungkin semakin berisi pelajarannya; membiarkan masa lalu beristirahat dalam damai.

Untuk menghadapi hari ini adalah untuk menerima hal-hal seperti apa adanya; untuk menghadapinya; untuk hidup dengan itu; untuk menunjukkan rasa terima kasih; untuk mengakui bahwa kita hidup di dunia yang tidak sempurna; untuk menerima bahwa tertawa dan menangis adalah dua wajah dari satu mata uang.

Untuk menghadapi masa depan adalah dengan menerima kemungkinan; menyadari bahwa apapun yang kita lakukan akan ada konsekuensi untuk dihadapi; untuk membayar tunai hanya ketika itu terjadi, tidak ada kekhawatiran sekarang, tidak ada angsuran sukacita di hari ini.

Dalam falsafah Jawa ada “cokro manggilingan”,dan bahwa kita harus “nrimo ing pandum, ben ora kemrungsung”. Mungkin Anda perlu datang keYogyakarta, pusat kearifan Jawa untuk belajar lebih lanjut tentangnya.

Buku seperti “Jangan Bersedih” yang ditulis oleh DR. 'Aidh bin Abdullah al-Qarni, juga bisa menawarkan sejumlah resep. Buku itu bermanfaat bagi saya, bermanfaat bagi teman saya, dan mungkin juga bermanfaat bagi jutaan orang lainnya.

Oleh karena itu, seperti yang saya tulis bertahun-tahun lalu, mari kita saling mengingatkan untuk “Melihat masa lalu dengan kearifan, menghidupkan hari dengan kecintaan, melihat hari esok dengan penuh kepercayaan”. May the Force be with us. (Terbit 14 Oktober 2006 di A Reflection of Time)
Label: Blog, Percikan
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.

aroengbinang, seorang penyusur jalan.
Traktir BA secangkir kopi? Scan via 'Bayar' GoPay.