Oktober 29, 2017

Sumpah Aroengbinang

Sejak Sumpah Pemuda dinyatakan pada tanggal 28 Oktober 1928, tidak ada sumpah lain yang pernah terdaftar dalam ingatan saya, setidaknya yang sekuat Sumpah Pemuda. Ada Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat, pada awal rezim Orde Baru), tapi itu bukan sumpah.

Sumpah Pemuda sederhana tapi kuat. Para pemuda berjanji: "satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa: Indonesia". Sumpah Pemuda masih relevan sampai sekarang, dan akan tetap relevan tahun-tahun mendatang. Saya membutuhkan sumpah lain. Mari kita sebut saja Sumpah Aroengbinang.

Alasan mengapa saya menyebutnya Sumpah Aroengbinang karena itu hanya sumpah individu, belum sumpah yang dideklarasikan oleh sekelompok orang yang berbagi ide. Sumpah tersebut mengatakan satu tanah air: Indonesia, dua negara: Indonesia dan Dunia, tiga bahasa: Bahasa Ibu, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris (atau bahasa asing lainnya).

Negara tempat paspor atau kartu identitas saya dikeluarkan, dan karenanya saya diakui sebagai salah satu warganya, adalah tanah air saya. Tanah dimana tugas saya sebagai warganegara akan ditunaikan. Kota tempat saya hidup dan bekerja untuk mencari nafkah adalah tanah tinggal saya, dan saya memiliki kewajiban untuk menyumbangkan sesuatu ke tanah itu, dan kepada masyarakat. Jika misalnya saya sekarang bekerja di New York, maka itu akan menjadi tanah tinggal saya.

Saya lahir dari seorang ibu dan ayah asal Jawa. Saya menerimanya. Namun, kesetiaan saya adalah kepada orang Indonesia, identitas nasional saya. Bisa saya katakan, saya orang Indonesia asal Jawa. Saya baik-baik saja dengan itu. Namun saya juga warga Dunia, tidak hanya bumi. Ada kewajiban dan hak yang akan saya tunaikan dan dapatkan sebagai warga Dunia. Pemanasan global hanya bisa mempengaruhi bumi, namun eksplorasi luar angkasa dan uji coba nuklir, dapat mempengaruhi seluruh alam semesta.

Saya berbicara bahasa Jawa, meski jarang. Itu bahasa ibuku. Saya akan terus menggunakannya. Saya telah mempelajari aksara Jawa, "hanacaraka". Saya harus menjaganya agar tetap hidup. Bahasa dan alfabet harus dijaga. Ini adalah warisan yang sangat berharga.
Saya menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu pertiwi, dan menggunakannya untuk berkomunikasi dengan sesama warga di tempat kerja dan dalam acara sosial lainnya. Sebagai warga negara Semesta, saya juga mengakui bahasa Inggris sebagai bahasa utama untuk menghubungkan saya dengan sesama warga Dunia.

Ketiga bahasa tersebut harus digunakan setiap hari, karena bahasa bisa dikuasai jika dipraktekkan setiap hari. Saya membutuhkan stasiun TV dan radio yang disiarkan secara penuh dalam bahasa Jawa tanpa perlu terbang ke Jogja. Bagi mereka yang bukan berasal dari Jawa, ganti saja "orang Jawa" dengan lidah ibumu, kamu butuh hal yang sama. Stasiun TV di setiap provinsi yang menggunakan bahasa lokal oleh karena itu harus disiarkan secara nasional. Kami memiliki begitu banyak bahasa dan dialek di Indonesia, dan semua warisan berharga itu akan tetap hidup dan tumbuh.

Saya juga membutuhkan saluran TV dan stasiun radio yang disiarkan secara penuh dalam bahasa Inggris, atau bahasa asing lainnya. Ini tentu akan sangat membantu orang seperti saya. Saya bisa membeli buku yang ditulis dalam bahasa Inggris dengan mudah, tapi harganya tetap mahal untuk orang biasa. Saya bisa menonton berita dan acara malam dalam bahasa Inggris, tapi saya masih harus berlangganan TV kabel, atau hanya puas dengan berita singkat di beberapa stasiun lokal. Koran dan majalah lokal yang ditulis dalam bahasa Inggris tersedia, namun masih jarang untuk alasan yang mudah dipahami.

Nah, saya hanya bertanya-tanya apakah ada sesama warga negara Indonesia yang bersedia bergabung dengan saya untuk membuat sebuah deklarasi. Jika semua etnis diwakili, maka saya akan mengusulkan untuk menyebutkannya Sumpah Indonesia. (Terbit 4 November 2007).
Label: Blog, Percikan
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.

aroengbinang, seorang penyusur jalan.
Traktir BA secangkir kopi? Scan via 'Bayar' GoPay.