Kemarin sore kami mampir ke Taman Budaya Tionghoa di TMII. Selain patung-patung dengan detail menarik, termasuk "Perjalanan ke Barat" dan patung perjuangan keturunan Tionghoa dalam melawan penjajah, di ujung belakang ada museum yang berada di dalam gedung bundar 3 lantai. Lantai 2 adalah Museum Tionghoa dan di atasnya lagi Museum Hakka. Di sebelahnya ada gedung Museum Cheng Ho.
Ada banyak koleksi menarik dan bersejarah di lantai 2. Salah satunya adalah deret foto keturunan Tionghoa, ditempel di atas dinding warna dasar merah dan putih memanjang (bukan ukuran bendera Merah Putih), berjudul "Indonesia Kepadamu Kami Berbakti". Ada lambang Garuda Pancasila warna keemasan, dan gunungan wayang kulit berukir elok di bawahnya.
Banyak nama terkenal dan wajah akrab mata terlihat di sana, berasal dari berbagai kalangan dan profesi. Ada penulis cerita silat kenamaan Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo, pengusaha, politisi, pengacara, artis, produser film, pelawak, dalang, atlet olah raga, pelatih, ahli kue, pakar kuliner, pendidik, sastrawan, tokoh Islam, pelukis, sutradara, jurnalis, sejarawan, pejabat sipil, petinggi militer, sampai tokoh Tahu Sumedang.
Diantara mereka banyak yang pernah dan masih menjadi kebanggaan rakyat Indonesia karena berhasil mengharumkan nama bangsa di kancah dunia.
Tentu saja ada foto Ahok. Namun yg membuat saya agak terperangah adalah ada foto Ignasius Jonan di sana. Bahwa ia Katolik orang bisa menduga dari namanya, namun bahwa ia keturunan Tionghoa baru saya ketahui di museum ini.
Kita semua tahu bangsa ini hilang salah satu aibnya berkat jasa Jonan dalam merevolusi sistem dan sarana prasarana PT KAI. Tak ada lagi pemandangan memalukan orang duduk di atas gerbong KRL setiap pagi dan petang. Tak ada lagi stasiun semrawut. Tak ada lagi gerbong sesak penumpang. Tak ada pemandangan memilukan di stasiun dan gerbong kereta saat mudik lebaran. Ini perubahan luar biasa. Sangat hebat.
Pertanyaannya apakah Jonan mampu merubah PT KAI karena ia Katolik dan keturunan Tionghoa? Tentu saja bukan. Ia mampu karena ia Jonan, karena kemampuan dan karakter pribadi yang terekam dalam rekam jejaknya .
Sama halnya, apakah Ahok mampu merubah DKI Jakarta karena ia Kristen Protestan dan keturunan Tionghoa? Bukan pula. Ia mampu karena ia Ahok, dan itu terekam dalam rekam jejaknya yang kuat.
Karena itu baiknya berhenti menilai, menghakimi, membenci, atau menjunjung orang, hanya karena agama dan keturunannya. Lebih baik menimbang secara adil dan kritis karakter, perilaku dan kemampuan, khususnya jika pejabat publik, dari rekam jejaknya.
Orang baik, lurus, cakap, dan berani, taat hukum, taat pajak, melayani, bisa datang dari agama dan keturunan apa saja.
Di kompleks Taman Budaya Tionghoa TMII itu ternyata juga ada rumah bergaya oriental yang digunakan sebagai Perpustakaan Gus Dur.
Di sana saya baca lagi kata-kata Gus Dur yang mestinya menjadi rujukan agar kita menjadi bangsa bersatu yang kuat, dan saling menghargai:
"Tidak penting apa pun agama atau sukumu… Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu…"
"Marilah kita bangun bangsa dan kita hindarkan pertikaian yang sering terjadi dalam sejarah. Inilah esensi tugas kesejahteraan kita, yang tidak boleh kita lupakan sama sekali."
"Inilah makna sebenarnya dari semboyan nasional: Bhinneka Tunggal Ika, yaitu Persatuan dalam Keragaman."
Di sana juga ada poster yang mengutip kata-kata Gus Dur yang diucapkannya pada 20 Januari 2008: "Saya ini orang China tulen sebenarnya, tapi yah sudah campur deh. Nenek moyang saya orang Tionghoa Asli."
Di poster itu juga ditulis bahwa nenek moyang Gus Dur bernama Tan Kim Han, seorang muslim, lahir tahun 1383 di Jin Jiang, Fujian, Tiongkok.
Pada masa Dinasti Ming, tahun 1405 bersama Laksamana Cheng Ho, juga seorang muslim, ia berlayar ke Nusantara. Makam Tan Kim Han berada di Trowulan, Mojokerto, dengan gelar Syekh Abdul Qadir Al-Shini.
Sempatkan berkunjung ke Taman Budaya Tionghoa sebagai inspirasi, bahwa Indonesia dibangun dan besar karena sumbangan semua suku, ras, etnik, agama, dan golongan yang hidup di bumi Nusantara ini.
Karena itu baiknya berhenti menanam dan menebar kebencian karena suku dan agama, baik karena pilkada atau sebab apa pun juga. Hidup tak akan damai dengan itu.
Raih surga dengan memuliakan kemanusiaan. Tak ada yang dituai dengan kebencian selain kekacauan dan kekejian pada sesama.
Bela agama dengan memperbaiki ahlak diri, meningkatkan amal baik, menebar kasih sayang, memupuk sifat saling menghargai, membuka pintu maaf, sehingga menjadi rahmat bagi alam dan semua mahluk di dalamnya.
Agama adalah petunjuk jalan untuk memuliakan Tuhan dengan cara memuliakan manusia dan kemanusiaan. Karena setiap orang bisa melihat dan memaknai petunjuk secara berbeda, maka baiknya hargai perbedaan.
Jangan mengangkat diri menjadi Tuhan yang mengadili dan menghukum setiap pendapat yang berbeda.
Dalam pilkada DKI, tak mengapa jika tak pilih Ahok jika menganggap ia gubernur buruk. Meski jika diteliti dan dipelajari lagi maka yang dianggap buruk itu tak seperti yang disangka. Semua ada jawabnya, jika mau mencari dari sumber kredibel, atau bicara langsung ke Ahok.
Namun janganlah tak pilih Ahok karena sentimen SARA.
Pilih Ahok jika benar-benar percaya ia orang terbaik yang sanggup merubah Jakarta menjadi kota yang kalian bisa banggakan, dengan birokrasi yang bersih korupsi. Kota yang bisa dinikmati layanan publiknya dari lahiran sampai kuburan tanpa pungli, yang bisa membawa Jakarta bebas banjir dengan sungai-sungai bersih dan lebar, yang transportasi publiknya terus membaik dengan TransJakarta - MRT - LRT, serta sarana prasarananya publiknya yang bermanfaat dan semakin menyebar.
Masa depan Jakarta, dan Indonesia, ada pada kertas suara. Pilih calon terbaik untuk mengelola Jakarta, buang sentimen SARA karena itu membuat orang menjadi tak adil.
Akhir kalam, manusia wajib berusaha memilih yang terbaik, namun kehendak Tuhan jua yang berlaku. Damai.
Label:
Blog,
Inspirasi,
Percikan,
Politik
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.