Beberapa menit sebelumnya, Rangga dan saya sempat mampir ke sebuah toko buku dipojokan gedung GBB. Toko itu menjual buku baru maupun bekas, namun kebanyakan bekas. Di sana untuk pertama kali dalam hidup saya membeli Horison, sebuah majalah sastra yang dihormati. Mungkin saya bukan satu-satunya.
Setelah kami duduk di dalam ruang pertunjukan, jam 8 malam tepat terdengar bunyi gong yang suaranya terdengar akrab di telinga, dan Novia Kolopaking tiba-tiba muncul dari arah pintu masuk, tepat di sebelah kanan saya yang telat sejenak untuk menyadarinya, diapit sepasang anak kecil. Ia pun menyanyikan lagu tema Tikungan Iblis, sambil berjalan pelan ke arah sisi kanan panggung dimana ia terlibat dalam obrolan singkat dengan kedua anak itu.
Tubuh Khabal yang terkapar, dibunuh secara pengecut oleh Khabil dengan sebongkah batu besar. Keduanya adalah anak laki-laki Adam, ayah dari semua manusia. Itu adalah peristiwa pembunuhan pertama yang terjadi dalam sejarah peradaban manusia, dan berlanjut sampai detik ini. Seiring lewatnya waktu, pembunuhan kini dilakukan dengan cara-cara lebih brutal, massal, dan rumit.
Sepinya hati Garuda, dijunjung tanpa jiwa. Menjadi hiasan maya, oleh hati yang hampa. Dendam rindu tiada tara, sangat mendalam perih luka. Disayang tanpa cinta, dipuja dan dihina. Garuda adalah simbol negara dan kebanggaan rakyat Indonesia. Lagu itu mencerminkan perasaan rakyat tentang apa yang sekarang tengah terjadi dengan negara sakit ini. Di suatu masa, Garuda adalah seekor burung perkasa yang sangat dihormati baik oleh kawan maupun lawan. Terbang di angkasa ke daratan yang jauh, namun kemudian Garuda dikandangkan dan ditindas untuk waktu yang sangat lama, dan akhirnya menjelma menjadi seekor emprit kecil.
Ada tiga malaikat, Maula Hasarapala (diperankan Fajar Suharno), Maula Hajarala (Bambang Sosiawan) dan Maula Jabarala (Tertib Suratmo) yang merasa kecewa dengan apa yang terjadi pada Khabal. Mereka mempertanyakan keputusan Tuhan menciptakan manusia yang hanya bisa melakukan pengrusakan di muka bumi, saling bunuh, dan melakukan perbuatan-perbuatan jahat lainnya. Tetapi Smarabhumi, sang Iblis (diperankan dengan sangat baik oleh Joko Kamto), mencela para malaikat itu.
Kisah tentang Garuda yang perkasa tengah dibeberkan. Sebelumnya Prawiro (diperankan mengesankan oleh Novi Budianto) murka ketika mengetahui bahwa Garuda telah menjelma menjadi seekor burung emprit kecil.
Garuda telah kehilangan warisan genetiknya. Pada segmen berikutnya Smarabhumi, si Iblis, menentang dan menolak perilaku rakyat yang patut dikasihani lantaran selalu menimpakan kesalahan kepadanya untuk setiap kesalahan yang mereka perbuat. Semua pengrusakan dan pembusukan yang terjadi di muka bumi bukanlah pekerjaan Iblis, namun karena kebodohan manusia sendiri yang tidak bisa mengendalikan keinginannya.
Babak selanjutnya memperlihatkan Prawiro yang tengah mendapat saran ketika memilih keris paling ampuh untuk memusnahkan Smarabhumi. Muncul dialog menyegarkan, diantaranya menyindir secara getir perilaku anggota DPR yang busuk. Prawiro berkata bahwa manusia itu menyerupai bilah keris dan warangkanya. Jiwa keris terletak pada gurat pamor logamnya, sedangkan warangka adalah baju yang perannya kurang penting. Banyak orang, sayangnya, melupakan pamor dan hanya memperhatikan baju yang elok, dan karenanya kehilangan jiwa, kehilangan alasan hak mengapa mereka ada dan menjadi ada, dan karenanya menjadi lemah. Manusia berubah menjadi tapel, sebuah istilah yang berarti tampak permukaan atau wujud fisik semata.
Maula Hajarala, salah seorang malaikat yang diperankan oleh Bambang Sosiawan yang tengah berdebat dengan si Iblis Smarabhumi, dengan akting panggung yang sangat meyakinkan. Smarabhumi perdebatan kontemplatif dengan ketiga malaikat tentang peran manusia sebagai Khalifatullah - penguasa dunia, atas nama Allah. Smarabhumi yang sejak awal tidak percaya bahwa manusia bisa menjadi khalifah merasa telah membuktikan kebenaran pendapatnya itu. Kehidupan manusia hanya berputar pada tiga kata: ketamakan, penghancuran, dan pembunuhan.
Berikutnya Novia Kolopaking muncul dalam balutan kostum terang warna-warni berperan sebagai Siti Majenuna, yang secara harafiah berarti wanita edan. Ia yang dikirim oleh Smarabhumi namun kemudian menyuarakan nilai-nilai filosofis kehidupan.
Lalu ada adegan dimana para tapel bisa dikendalikan dengan mudah oleh Smarabhumi lantaran mereka telah kehilangan kesadaran diri dan jiwanya. Namun ketika kesadaran muncul, maka dibuatlah deklarasi rakyat jelata yang merupakan kritik terhadap para politisi dan orang-orang terdidik yang selalu berpikir bahwa mereka tahu segala.
Prawiro akhirnya menyadari bahwa selama ini ia telah dikelilingi oleh antek-antek Iblis, dan ia dikalahkan dengan mudah oleh Smarabhumi karena keris ampuh yang ia pilih dengan seksama itu tak berarti apa pun buat Iblis.
Smarabhumi terlibat dalam monolog kontemplatif yang dalam. Bagian ini merupakan penampilan paling menginspirasi dari keseluruhan pertunjukan malam itu. Iblis begitu frustrasi karena tidak ada lagi tantangan tersisa buatnya. Manusia tidak memerlukannya lagi, lantaran mereka telah berada dalam perjalanan menghancurkan diri mereka sendiri. Tidak ada lagi orang besar di dunia ini setelah Muhammad, damai untuknya, yang secara tulus ia hormati.
Di potongan lakon yang menggetarkan hati, Smarabhumi meggumamkan shalawat Nabi: Ya nabi salaaam 'alaika (Salam padamu, O Nabi), Ya rasul salaam 'alaika (Salam padamu, O Utusan Allah), Ya habib salaaam 'alaika (Salama padamu, O yang Tercinta), Sholawaatullah 'alaikaa (Kemuliaan Allah untukmu)
Dalam kondisi emosional yang sangat dalam, Smarabhumi membuang semua atribut yang selama ini dibanggakannya, lalu merintih, menangis, meraung, menghiba kepada Tuhan untuk dipensiunkan saja sebagai penjerumus manusia. Smarabhumi akhirnya bersujud, keningnya menyentuh bumi sebagai tanda penyerahan diri pada Allah, laku yang kemudian ditiru oleh para tapel. Naskah lakon ini dibuat secara cemerlang oleh Emha Ainun Nadjib, budayawan religius membumi yang barangkali telah ada di jalan para Sufi. Sutradara dipegang oleh Jujuk Prabowo dan Fajar Suharno.
Teater Dinasti didirikan pada 1977 oleh Fajar Suharno, Tertib Suratmo dan Gajah Abiyoso di Yogyakarta dengan anggota berlatar campuran, mulai dari kalangan intelektual sampai tukang parkir, dari pelaku bisnis sampai maling, dan banyak lagi. Tikungan Iblis merupakan sebuah karya inspirasional yang saya kira bisa bertahan sangat lama di ingatan dan sanubari mereka yang menontonnya. Sungguh saya berharap agar lebih banyak orang di negeri ini, dan juga mereka yang mukim di luar negeri, berkesempatan melihat pertunjukan hebat ini. Empat setengah dari lima bintang.
Tikungan Iblis Teater Dinasti
Alamat : Teater Dinasti, Graha Bhakti Budaya, TIM, Jakarta Pusat. Lokasi GPS : -6.1892033, 106.8397692, Waze ( smartphone Android dan iOS ). Rujukan : Tempat Wisata di Jakarta, Peta Wisata Jakarta Pusat, Peta Wisata Jakarta, Hotel di Jakarta Pusat.Label: Hiburan
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.