Meski ada cukup banyak pepohonan rimbun di Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan Bukittinggi namun jumlahnya masih kalah jauh jika dibandingkan dengan yang ada di Bukit Jirek dimana benteng berada, meski luas keduanya boleh dibilang hampir sama. Walau demikian ada yang menarik perhatian saya ketika memasuki kawasan taman margasatwa ini, yaitu sebuah pohon sangat tua dengan jumlah cabang tak terhitung banyaknya, dirimbuni oleh lumut dan paku-pakuan.
Saat melewati kandang gajah terlihat di dalamnya ada dua ekor gajah Sumatera berukuran sedang yang dipasangi rantai ketat pada kakinya. Gajah-gajah ini kabarnya memang tidak begitu jinak, dan bahkan kadang menyerang petugas pembersih sampai menimbulkan luka yang cukup serius. Mudah-mudahan saja kondisi gajah-gajah itu sekarang sudah jauh lebih baik dan tidak lagi perlu dirantai karena itu sama saja dengan menyiksa satwa.
Gerbang masuk utama ke dalam Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan yang diakses melalui Jalan Cindur Mato, Pasar Atas, dan sekaligus sebagai gerbang keluar jika kita masuk melalui kawasan Benteng Fort de Kock. Jika masuk dari gerbang ini maka pengunjung tinggal menyeberang melewati Jembatan Limpapeh untuk berkunjung ke Fort de Kock.
Di bagian tengah Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan ada Bangunan Museum Rumah Adat Baanjuang dengan tiang-tiang kayu tinggi penyangga bangunan rumah panggungnya. Dinding luar bangunan elok ini dipenuhi dengan detail ornamen indah, dengan bentuk atap meruncing tinggi menusuk langit. Terdapat Rangkiang, lumbung padi khas suku Minangkabau, serta patung beberapa orang gadis yang tengah menumbuk padi di depan rumah ini.
Dua buah rangkiang itu bernama Sibayau-Bayang dan Sitinjau Lauik. Untuk masuk ke museum ini pengunjung akan diminta membayar tiket masuk cukup murah agar bisa melihat koleksi museum yang dibagi ke dalam kelompok etnografi, numismatik, dan biologi. Sayang sekali karena hari sudah terlalu sore, maka Rumah Adat Baanjuang itu pintunya telah tertutup rapat ketika kami tiba, sehingga hanya bisa memotret bagian luar bangunannya saja.
Salah satu Rangkiang di Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan Bukittinggi yang masih terlihat elok. Keberadaan rangkiang menjadi pertanda bahwa pertanian menjadi salah satu sumber utama ekonomi masyarakat, dan ukuran besar kecilnya rangkiang serta jumlah bangunannya bisa memberi petunjuk tentang seberapa luas tanah pertanian yang dimiliki.
Di sebuah bangunan kecil di sebelah kanan Museum Rumah Adat Baanjuang ada bulatan yang dari jauh tampak seperti logam, membuat saya tertarik untuk mendekatinya. Bulatan itu ternyata terbuat dari kulit lembu yang menjadi ujung sebuah bedug yang badannya berukuran sangat panjang, bentuk unik yang baru pernah saya lihat di Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan ini.
Museum yang menjadi salah satu daya tarik utama di dalam kawasan wisata keluarga ini didirikan pada 1 Juli 1935 dengan nama Mondelar dan kemudian mengalami perubahan nama beberapa kali, mulai dari Museum Baanjuang, Museum Bundo Kanduang dan baru pada tahun 2005 berubah namanya manjadi Museum Rumah Adat Baanjuang.
Bangunan rumah adat dilihat dari arah pojok, memperlihatkan keelokan seni arsitekturnya, dan sekaligus menunjukkan kerapuhannya oleh sebab hampir seluruh bahan pembuatnya terbuat dari kayu dan atapnya pun dari ijuk yang semuanya mudah terbakar atau lapuk dimakan waktu.
Sekelompok Rusa Totol koleksi Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan, mengingatkan saya pada gerombolan rusa yang ada di halaman kompleks Istana Presiden Bogor. Jenis Rusa berbulu totol dan bertanduk indah ini jumlahnya cukup banyak, meski jauh lebih sedikit dibanding yang ada di Bogor. Satwa lain yang bisa dijumpai di tempat ini adalah rusa sambar, kangguru, dan berbagai macam unggas.
Mengelola kebun binatang tidaklah mudah, oleh sebab harus bisa memberi makan dan minum satwa dalam takaran cukup, memberi kenyamananan agar satwa tidak takut atau stres, menyediakan layanan kesehatan agar satwa bebas dari sakit dan penyakit, serta menyediakan lingkungan yang memadai agar satwa bisa berperilaku normal sebagaimana di habitat aslinya. Kebun binatang yang baik juga memusatkan kegiatannya pada konservasi dan pendidikan, bukan untuk mencari uang.
Binatang gurun pasir seperti Onta pun bisa dijumpai di Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan. Kompleks wisata di Bukit Cubadak Bungkuak ini dibangun tahun 1900 oleh Controleur Strom Van Govent sebagai kebun bunga yang dinamai Kebun Bunga "Strom Park". Pada tahun 1929 area ini dijadikan kebun binatang oleh Dr. J. Hock, seorang dokter hewan, dan menjadi satu-satunya kebun binatang di wilayah Sumatera Barat.
Lantaran Kota Bukittinggi ketika itu masih bernama Fort de Kock, maka tempat ini dinamakan Fort de Kocksche Dieren Park atau Kebun Binatang Fort de Kock. Untuk menambah koleksi hewan dari pulau lain di wilayah Indonesia Timur, dilakukan pertukaran dengan Soerabaiasche Planten-en Dierentuin (Taman dan Kebun Binatang Surabaya, didirikan 31 Agustus 1916) yang sebagai gantinya mendapatkan koleksi satwa asal Sumatera.
Jika kita memiliki cukup banyak waktu, Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan cocok untuk dinikmati sambil berjalan santai di pagi atau sore hari, sambil menikmati pemandangan Kota Bukittinggi dengan silir hawa perbukitan yang sejuk dingin.
Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan
Alamat: Bukit Cubadak Bungkuak, Jalan Cindur Mato, Pasar Atas, Bukittinggi, Sumatera Barat. Lokasi GPS : -0.3017149, 100.369361, Waze. Harga tiket masuk : Rp 10.000. Peta Wisata Buittinggi, Tempat Wisata di Bukittinggi, Hotel di BukittinggiLabel: Bukittinggi, Kebun Binatang, Sumatera Barat
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.