Adalah Makam Pangeran Cakraningrat yang disebut oleh si mas itu. Sayangnya nama itu tidak dikenali penduduk ketika kami berada di sekitar tempat yang ia sebut. Berdasar informasi seorang warga akhirnya kami ke kompleks Makam Cepokosari. Alih-alih menemukan makam sang pangeran, saya justru menemukan Makam Ki Ageng Suryomentaram. Di bagian depan kompleks Makam Cepokosari terdapat masjid khas Jawa. Pada tembok depan menempel tulisan Jawa. Tidak terlihat istimewa, namun ternyata Masjid At Taqorrub ini adalah peninggalan Sultan Agung yang masih tersisa.
Seperti diketahui Sultan Agung memindahkan Keraton Mataram dari Kotagede ke Kerto di daerah Pleret. Setelah menunggu di samping masjid dimana terdapat lingga yang sangat menarik perhatian, sesaat kemudian muncul seorang pria bernama Iskandar yang menjadi kuncen Makam Cepokosari. Bersamanya kami berjalan kaki masuk ke dalam kompleks makam yang luas dan asri. Nama Pangeran Cakraningrat juga tidak dikenal oleh Iskandar.
Lingga ini diletakkan di atas tugu dalam kondisi yang sangat baik dan indah, dengan ukiran aksara Jawa di badannya. Lokasi Lingga berada di sebelah kanan masjid, pada jalur lintasan menuju ke area kompleks Makam Cepokosari Pleret. Pelestarian lingga di samping masjid ini manjadi sebuah simbol penghormatan pada warisan budaya Hindu.
Nama dan sosok Ki Ageng pertama saya lihat di Museum Peta Bogor. Uniknya, Soekarno, Gatot Mangkupradja, Ki Hajar Dewantara, dan Hatta memakai jas lengkap, Mas Mansyur berpakain santri, maka Ki Ageng memakai sandal, celana cingkrang, bertelanjang dada dengan selembar kain batik membelit leher.
Ki Ageng Suryomentaram lahir dengan nama BRM Kudiarmadji pada 20 Mei 1892 sebagai putera ke-55 dari 79 putera-puteri Hamengku Buwono VII. Ibundanya BRA (Bendara Raden Ayu) Retno Mandoyo, putri Patih Danurejo VI. Ternyata Patih Danurejo VI inilah yang kemudian bernama Pangeran Cakraningrat, nama yang disebut si mas itu.
Suasana di Makam Cepokosari Pleret ini terlihat asri, dengan tanaman dan pepohonan yang masih berumur tanggung. Sejumlah kijing bermotif dan berwarna mirip, namun banyak juga yang dibuat sesuka pemiliknya tanpa standar yang jelas. Tempat ini agak jauh dari jalan besar, sehingga suasanya cukup lengang.
Makam Cepokosari Pleret terbagi menjadi dua bagian oleh jalan di tengahnya. Keadaan makam cukup terawat, meskipun di beberapa tempat perlu perawatan. Di ujung kompleks terdapat cungkup yang terpisah dari makam lain. Setelah Iskandar membuka pintu cungkup, barulah saya bisa melihat jasad siapa yang disemayamkan di dalamnya.
Iskandar menyebutkan bahwa di tempat ini juga terdapat makam Kyai Kategan yang menjadi pekatik Sultan Agung, namun tidak saya temukan makamnya meski telah berkeliling karena Iskandar sudah pergi. Makam Cepokosari menjadi menarik untuk dikunjungi dengan adanya masjid peninggalan Sultan Agung, Lingga yang indah, serta Makam Ki Ageng Suryomentaram yang berada di ujung area makam.
Pada nisan di sebuah cungkup di ujung Makam Cepokosari Pleret itulah saya menemukan tulisan yang berbunyi "K.K.A. Surjomentaram, Seda Ahad Pon, 11 Sawal Djemawal 1893 (18 Maret 1962)", dan "Kasekar Rebo Wage, 10 Besar Dal 1903 (25 Djanuari 1972)." Di sebelahnya adalah Makam BRAY Suryomentaram, istri keduanya yang dinikahinya pada 1925, 10 tahun setelah istri pertamanya wafat.
Di sebelah kanan cungkup makam Ki Ageng Suryomentaram terdapat cungkup makam BRA Retno Mandoyo, ibundanya. Sedangkan di bagian depan kompleks Makam Cepokosari Pleret, di belakang masjid, terdapat makam Raden Tumenggung Nitinegoro I dan II. Raden Tumenggung Nitinegoro adalah Bupati Bantul yang ketiga.
BRM Kudiarmadji diangkat menjadi pangeran dengan gelar BPH (Bendara Pangeran Harya) Suryomentaram saat berusia 18 tahun. Namun kehidupan keraton yang datar membuatnya tidak betah dan merasa tertekan. Derita pun susul menyusul menimpa. Sang kakek yang memanjakannya dicopot jabatannya oleh ayahnya, dan tidak lama kemudian wafat.
Permohonan BPH Suryomentaram agar kakeknya dimakamkan di Makam Raja-Raja Mataram Imogiri ditolak oleh ayahnya dengan kata-kata yang menyakitkan. Ibundanya diceraikan oleh ayahnya dan dikeluarkan dari lingkungan keraton. Diceraikannya ibunda Ki Ageng Suryomentaram oleh HB VII tampaknya ada keterkaitan dengan diberhentikannya sang kakek Patih Danurejo VI yang tak jelas apa sebab musababnya.
Belum cukup derita yang ditanggungnya, istri tercintanya mati meninggalkan putranya yang masih berumur 40 hari. Ketika kekecewaan dan ketidakpuasannya memuncak, ia memohon kepada sang ayah untuk mencopot gelar pangerannya, tetapi ditolak. Permohonannya untuk naik haji juga tidak dikabulkan. Akhirnya ia diam-diam minggat dari kraton, tinggal di Cilacap, menyambung hidup sebagai pedagang kain batik dan setagen, dan berganti nama Notodongso.
Mengetahui puteranya kabur, HB VII memerintahkan KRT Wiryodirjo dan R.L. Mangkudigdoyo untuk mencari dan membawanya kembali ke kraton. BPH Suryomentaram ditemukan di Kroya saat memborong pekerjaan menggali sumur.
Kembali ke keraton, kegelisahan terus mengusiknya. Untuk melepaskan diri dari ikatan harta benda maka semua isi rumah dijualnya. Hasil penjualan mobil diberikan ke supir, hasil penjualan kuda dihibahkan ke gamel (perawat kandang kuda), dan pakaiannya dibagi-bagikannya kepada para pembantu. Ia sering keluyuran, bertirakat di tempat-tempat keramat, berguru pada kiai-kiai terkenal, sempat pula belajar agama Kristen dan theosofi, namun tidak menghilangkan kegelisahannya.
Saat ayahnya meninggal dan digantikan HB VIII, permohonan pencabutan gelar kepangeranannya dikabulkan. Suryomentaram lalu tinggal di Desa Bringin, Salatiga, menjadi petani, kadang dianggap dukun dan dimintai berkah, dan dikenal sebagai Ki Gede Bringin. Nama Ki Ageng Suryomentaram baru kemudian diberikan oleh Ki Hajar Dewantara.
Waktu itu keduanya aktif terlibat dalam Sarasehan Selasa Kliwon, membahas isu-isu sosial politik tanah air yang menjadi cikal bakal Perguruan Taman Siswa. Ki Ageng Suryomentaram mendapatkan pencerahan pada sebuah malam di tahun 1927. Nyi Ageng Suryomentaram yang lelap tidur dibangunkannya, dan dimuntahkanlah kegembiraannya.
Yang dikatakan Ki Ageng adalah "Bu, sudah ketemu yang kucari. Aku tidak bisa mati! Ternyata yang merasa belum pernah bertemu orang, yang merasa kecewa dan tidak puas selama ini, adalah orang juga, wujudnya si Suryomentaram. Diperintah kecewa, dimarahi kecewa, disembah kecewa, dimintai berkah kecewa, dianggap dukun kecewa, dianggap sakit ingatan kecewa", kemudian "... menjadi pangeran kecewa, menjadi pedagang kecewa, menjadi petani kecewa, itulah orang yang namanya Suryomentaram, tukang kecewa, tukang tidak puas, tukang tidak kerasan, tukang bingung. Sekarang sudah ketahuan. Aku sudah dapat dan selalu bertemu orang, namanya si Suryomentaram, lalu mau apa lagi? Sekarang tinggal diawasi dan dijajagi."
Pada 1928 hasil "mengawasi dan menjajagi"-nya itu ditulis dalam bentuk tembang "Uran-uran Beja". Beberapa waktu lalu saya membeli buku Muhaji Fikriono, "Puncak Makrifat Jawa: Pengembaraan Batin Ki Ageng Suryomentaram".
Makam Ki Ageng Suryo Mentaram Cepokosari Pleret Yogyakarta
Alamat : Desa Kanggotan, Pleret, Bantul, Yogyakarta. Lokasi GPS : -7.87028, 110.39599, Waze. Tempat Wisata di Bantul, Peta Wisata Bantul, Hotel di Yogyakarta.Label: Bantul, Ki Ageng Suryo Mentaram, Makam, Pleret, Wisata, Yogyakarta
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.