Muhammad Yamin yang dilahirkan pada 23 Agustus 1903 dan meninggal di Jakarta pada 17 Oktober 1962, adalah seorang pakar hukum, sastrawan, politikus, konseptor dasar negara, pencetus sumpah pemuda, pemikir, ahli bahasa, penggali sejarah, orator, dan juga dikenal sebagai pencipta lambang Polisi Militer.
Pada tahun 1922, Muhammad Yamin menerbitkan kumpulan puisi Melayu berjudul "Tanah Air", namun yang ia maksud saat itu adalah Sumatera. Baru pada 28 Oktober 1928 terbit kumpulan puisinya yang berjudul "Tumpah Darahku", dan pada saat inilah Muhammad Yamin dan para pejuang kebangsaan berikrar memiliki satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, Indonesia. Muhammad Yamin juga menulis naskah drama, esei, novel sejarah, dan menterjemahkan karya William Shakespeare dan Rabindranath Tagore.
Makam Muhammad Yamin di Talawi Sawahlunto berada di dalam sebuah bangunan terbuka berbentuk gonjong beratap ijuk yang disangga dua belas buah tiang kayu kokoh, beralaskan bilah-bilah papan. Pilar makamnya dibalut lempengan kuningan dengan ornamen bunga berwarna merah, kuning, hijau dan biru, yang ikut mempercantik penampilan bangunan. Ornamen ukiran kayu khas Minangkabau dengan warna dominan merah tua dan hitam menghiasi bagian sisi bangunan makam. Makam ini dikelilingi pagar kayu rendah dengan langit-langit yang terbuat dari susunan bilah kayu.
Sejak muda Muhammad Yamin giat dalam berbagai pergerakan politik, diantaranya menjadi Ketua Jong Sumatranen Bond (1926-1928), Ketua Indonesia Muda (1928), dan salah satu pencetus Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Sebagai politikus, Muhammad Yamin adalah tokoh Partindo (1932-1938), Gerindo dan kemudian Perpindo, serta anggota Volksraad (1938-1942). Pendidikan terakhir Muhammad Yamin adalah tamat Rechtshogeschool di Jakarta tahun 1932.
Penanda di bagian depan di atas tembok yang mengelilingi Makam Muhammad Yamin di Talawi, Sawahlunto. Karena jasa-jasanya yang dinilai sangat besar bagi negara, Pemerintah Indonesia memberikan anugerah gelar Pahlawan Pergerakan Nasional kepada Muhammad Yamin pada tahun 1973. Meski jasa-jasanya telah diakui negara, namun jalan hidup dan karir Muhammad Yamin bisa dibilang cukup dramatis.
Sewaktu pendudukan Jepang, Muhammad Yamin menjadi anggota Dewan Penasehat Departemen Penerangan dan Putera (Pusat Tenaga Rakyat). Setelah Indonesia merdeka, Muhammad Yamin masuk Persatuan Perjuangan di bawah Tan Malaka yang beroposisi keras terhadap Kabinet Syahrir. Pergaulan dengan Tan Malaka kemudian melibatkannya dalam percobaan kudeta yang dikenal sebagai Peristiwa 3 Juli 1946.
Makam Muhammad Yamin yang bentuknya relatif sederhana. Jika melihat ejaan lama yang digunakan pada tulisan yang ada pada makam, tampaknya makam ini masih asli sebagaimana pertama kali ia dibuat. Makam terlihat agak kotor, mungkin karena pada saat itu masih dalam tahap akhir renovasi. Di sebelah kiri Makam Muhammad Yamin adalah makam ayahandanya yang bernama Usman Gelar Baginda Chatib. Ketika Presiden Joko Widodo berkunjung ke makam ini beberapa waktu yang lalu, kondisi makam mestinya sudah jauh lebih baik dibanding ketika saya kunjungi.
Masih terkait kisah tentang Muhammad Yamin, Persatuan Perjuangan yang terbentuk di Purwokerto pada 5 Januari 1946 menghimpun 141 organisasi politik, termasuk Masyumi, PNI, dan lasykar, yang bertujuan mencapai kemerdekaan penuh, sedangkan kabinet Syahrir yang berkuasa waktu itu hanya menuntut pengakuan kedaulatan atas Jawa dan Madura.
Di dalam Persatuan Perjuangan ini ada Jendral Sudirman sebagai anggota sub-komite yang mewakili TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Pada 17 Maret 1946 tokoh-tokoh Persatuan Perjuangan seperti Tan Malaka, Achmad Subardjo, Iwa Koesoema Soemantri dan Sukarni ditangkap dengan tuduhan berencana menculik anggota-anggota Kabinet Sjahrir II.
Makam Muhammad Yamin dilihat dari sisi depan, dengan sebuah tiang bendera yang masih kosong. Putera kebanggaan Talawi Sawahlunto itu telah beristirahat dengan tenang disamping jasad ayahandanya. Keinginannya untuk dimakamkan di Talawi tentu tidak hanya karena alasan romantisme dan kecintaannya pada tanah kelahiran, namun barangkali juga dimaksudkan agar bisa menginspirasi putera-putera Talawi untuk belajar dan bekerja keras, sehingga menjadi tokoh-tokoh bangsa yang besar sebagaimana dirinya.
Sejarah mencatat bahwa tanggal 27 Juni 1946, perwira Abdul Kadir Jusuf dengan sepengetahuan MayJen Sudarsono (Panglima Divisi Yogyakarta) menculik PM Syahrir, Menkes Dr. Darma Setiawan, MayJen Soedibjo dll karena dianggap mengkhianati revolusi melalui perundingan dengan Belanda yang merugikan Indonesia. Hari berikutnya Presiden Soekarno menyatakan keadaan bahaya dan seluruh kekuasaan pemerintahan diserahkan kembali kepada Presiden.
Atas permintaan Soekarno, beberapa hari kemudian seluruh korban penculikan dibebaskan. Namun pada 2 Juli 1946, MayJen Sudarsono dan M. Yamin membebaskan 14 tahanan politik di Penjara Wirogunan, Yogyakarta, antara lain Achmad Subardjo, Iwa Kusuma Soemantri dan Adam Malik, kemudian membawa mereka ke markas resimen Wiyoro. Tanggal 3 Juli 1946, MayJen Sudarsono menghadap Soekarno bersama Achmad Subardjo dan Iwa Koesoema Soemantri.
Mereka menyodorkan empat maklumat untuk ditandatangani presiden, yang menuntut agar: Presiden memberhentikan seluruh Menteri dalam kabinet Sjahrir dan Amir Syarifuddin; Presiden menyerahkan kekuasaanya di bidang militer kepada Panglima Besar Angkatan Perang, serta di bidang politik, ekonomi dan sosial kepada Dewan Pimpinan Politik yang anggota-anggotanya akan diumumkan; Presiden mengangkat 10 anggota Dewan Pimpinan Politik yang nama-namanya dicantumkan dalam maklumat; Presiden mengangkat 13 menteri negara yang nama-namanya dicantumkan dalam maklumat.
Namun Soekarno menolak dengan tegas dan segera memerintahkan penangkapan para pengantar maklumat berikut komplotannya. M. Yamin, MayJen Soedarsono, Achmad Subardjo sempat melarikan diri ke luar Jakarta, namun ditangkap pada 7 Juli 1946. Tujuh belas orang yang diduga terlibat dalam upaya kudeta diajukan ke Mahkamah Tentara Agung dan pidana dijatuhkan pada 27 Mei 1948. Tujuh orang dibebaskan, Achmad Subardjo dihukum 3 tahun, MayJen Soedarsono dan Muhammad Yamin dijatuhi hukuman 4 tahun penjara. Pada 17 Agustus 1948, seluruh tahanan Peristiwa 3 Juli 1946 dibebaskan dengan pemberian grasi oleh presiden.
Peristiwa 3 Juli 1946 tidak mematikan karir politik Muhammad Yamin. Setelah bebas ia diangkat sebagai penasehat delegasi Indonesia ke Konferensi Meja Bundar (1949), menjadi Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (1953-1955), Wakil Menteri Pertama Bidang Khusus, Menteri Penerangan, Ketua Dewan Perancang Nasional (Depernas) yang menghasilkan rencana dan pola Pembangunan Semesta Berencana, menjadi anggota DPR-RIS (sejak 1950), anggota DPR-RI dan Badan Konstituante hasil pemilihan umum 1955, anggota DPR-GR dan MPRS setelah Dekrit Presiden 1959.
Jabatan lain yang pernah disandang Muhammad Yamin adalah sebagai penasehat Lembaga Pembinaan Hukum Nasional, anggota Dewan Pertahanan Nasional, anggota Staf Pembantu Panglima Besar Komando Tertinggi Operasi Ekonomi Seluruh Indonesia, anggota Panitia Pembina Jiwa Revolusi, dan Ketua Dewan Pengawas LKBN Antara (1961-1962).
Makam Muhammad Yamin
Alamat: Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat. Lokasi GPS: -0.58870, 100.73561, Waze. Rujukan : Hotel di Sawahlunto, Peta Wisata Sawahlunto, Tempat Wisata di Sawahlunto.Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.