Generasi yang lahir tahun 50-an, 60-an, dan bahkan 70-an sedikit banyak pernah mengenal dan menghisap rokok. Jaman tahun 60-an hingga awal 70-an masih gampang ditemui penjual tembakau, kertas papir, klobot, klembak dan menyan, untuk meramu rokok dan melinting sendiri. Kini toko seperti itu sudah sulit ditemui. Rokok klembak menyan sepertinya juga hilang ditelan jaman, tinggal rokok kretek dan rokok putih yang masih bertahan.
Tanah dimana bangunan Museum Kretek Kudus ini setidaknya berukuran 130 lebar x 200 meter ke dalam, atau seluas 2,5 ha. Selain bangunan utama museum, di sebelahnya juga ada bangunan untuk tempat pemutaran film dokumenter dan di sisi utara ada bangunan elok rumah tradisional Kudus. Di bagian belakang museum terdapat waterboom dengan lintasan kanal air, serta ember tumpah.
Tampak depan bangunan utama Museum Kretek Kudus yang nyaris berbentuk limasan tumpang namun lebih tepat disebut trapesium tumpang. Pada halamannya yang luas terdapat tengara nama dan patung yang menggambarkan suasana saat seorang ibu mengangsurkan segelas minuman pada seorang pria disaksikan anak laki-lakinya. Mungkin keluarga petani tembakau.
Di sebelah kanan halaman rumput luas ini terdapat area bermain anak-anak. Ada rumah panggung, ayunan, prosotan, kereta, dan sejumlah permainan lainnya. Suasana cukup ramai. Ada pula kios minuman dan jajanan. Sebuah Dokar Wisata Museum Kretek tampak tengah menunggu penumpang. Setelah puas melihat area sekitar kami pun masuk ke dalam ruang museum dengan logo daun tembakau dan cengkeh di atas pintunya.
Ada prasasti menempel dinding yang menandai peresmian oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam pada tanggal 3 Oktober 1986. Museum ini didirikan atas prakarsanya, terinspirasi saat berkunjung ke Kudus dan melihat kontribusi usaha rokok kretek pada perekonomian. Museum Kretek Kudus didirikan dengan dukungan biaya dari Persatuan Pengusaha Rokok Kudus.
Di tengah ruangan ada patung beberapa orang wanita dengan rambut disanggul yang tengah bekerja dalam rantai proses pembuatan rokok. Ada pula pajangan patung seorang bapak tua yang tengah menunggui rombong rokok miliknya. Rombong sederhana seperti itu menjadi salah satu ujung tombak pemasaran yang efektif dalam menjangkau konsumen.
Kotak pamer berisi bungkus semua merk rokok klobot yang pernah dibuat di Kudus dan kota lainnya. Klobot adalah kulit jagung yang sudah dikeringkan dan digunakan untuk melinting atau membungkus rokok. Diantaranya ada rokok Diponegoro dan Tjap Kaki Tiga buatan NV Moeria dan rokok klobot Tjap Bulatan Tiga (Bal Tiga) buatan M. Nitisemito.
Di dekatnya dipajang bungkus-bungkus rokok sigaret kretek mesin, mungkin termasuk isi rokoknya, diantaranya buatan Djarum, Sukun, Jambu Bol, HM Ali Asikin, Minak Djinggo, dan Delima. Dipajang pula sigaret kretek (lintingan) tangan, baik buatan pabrik rokok terkenal dan masih bertahan hingga sekarang, maupun yang sudah tutup dan tinggal namanya saja.
Perokok pertama di dunia konon adalah orang Indian di Amerika yang mereka pakai untuk ritual memuja roh. Pada abad 16, orang Eropa yang ke Amerika dan bertemu orang Indian mulai menghisap rokok. Mereka kemudian membawa tembakau ke Eropa dan menjadi populer di kalangan orang kaya dan bangsawan. Pada abad 17 para pedagang Spanyol mulai masuk ke Turki seraya memperkenalkan rokok, dan sejak itu rokok menyebar ke berbagai wilayah di dunia lewat perdagangan, termasuk Nusantara.
Museum Kretek Kudus merupakan satu-satunya museum rokok di Indonesia sebelum dibukanya House of Sampoerna Surabaya pada tahun 2003. Museum ini menyimpan 1.195 koleksi mengenai sejarah kretek, termasuk peralatan tradisional, rokok berbagai merk, foto dokumentasi dan benda bersejarah, benda promosi, patung serta contoh cengkeh dan berbagai grade tembakau asal sejumlah daerah. Ada pula gerai souvenir, mushola, kantin dan kios kuliner.
Meskipun umumnya orang tahu bahaya merokok bagi kesehatan, namun jumlah perokok aktif di Indonesia diperkirakan masih sekitar 60 juta orang, termasuk tertinggi di dunia. Harus diakui ada kenikmatan dalam menghisap merokok, apalagi dalam kondisi psikologis dan lingkungan udara tertentu. Jika pun tak bisa menghilangkan kebiasaan merokok, menguranginya bisa jadi pilihan, karena apa pun jika dikonsumsi secara berlebihan pasti ada dampak buruknya.
Salah satu diorama memperlihatkan kesibukan rakyat dalam proses pengolahan cengkeh sebagai salah satu bahan penyusun utama rokok kretek. Ada pula diorama pengolahan daun tembakau, dan diorama proses pengolahan bahan pembungkus rokok klobot. Dahulu daun tembakau cukup diiris dengan pisau atau alat pemotong sederhana dan lalu dijemur hingga kering. Untuk mendapat kualitas tembakau yang baik biasanya tembakau disimpan selama sekitar 3 tahun sebelum digunakan. Sedangkan cengkeh disimpan selama setahun sebelum dirajang dan dikeringkan.
Di Museum Kretek Kudus ada pula patung Nitisemito, perintis industri rokok kretek Kudus, yang lahir dengan nama Rusdi di Desa Janggalan, Kudus, pada tahun 1874. Ia anak bungsu H Soelaeman dan Markanah. Meski anak lurah ia tak pernah sekolah yang membuatnya tak bisa baca tulis, namun ia punya semangat kuat untuk maju. Pada usia 17 tahun ia merantau ke Malang dan bekerja sebagai buruh jahit yang perlahan berkembang menjadi pengusaha pakaian jadi.
Setelah usahanya bangkrut ia kembali ke Kudus menjadi pedagang kerbau dan membuat minyak kelapa. Bangkrut lagi ia pun menjadi kusir dokar sambil berjualan tembakau, dan saat itulah ia berkenalan dengan Mbok Nasilah. Di warungnya, Nasilah menyuguhkan rokok kretek klobot yang diraciknya (kini toko kain Fahrida di Jl Sunan Kudus) untuk menggantikan kebiasaan nginang para kusir dokar yang sering mampir ke warungnya agar tempatnya tidak kotor.
Rokoknya ternyata disukai pedagang keliling dan para kusir dokar, termasuk Nitisemito. Riwayat rokok kretek sendiri berawal dari Haji Djamari, penduduk asli Kudus. Suatu hari ia mengoleskan minyak cengkeh yang membuat sakit di dadanya mereda. Djamari pun mencoba merajang cengkeh, mencampurnya dengan tembakau dan dilintingnya menjadi rokok.
Setelah teratur menghisap rokok cengkeh buatannya dan merasa sakit dadanya hilang, Djamari pun memberitahu kerabatnya. Beritanya menyebar cepat dan Djamari pun sibuk melayani permintaan "rokok obat" ini. Karena cengkeh yang terbakar mengeluarkan bunyi "keretek" saat dihisap, rokok Djamari kemudian dikenal sebagai "rokok kretek". Djamari yang asal-usulnya samar itu kabarnya meninggal pada tahun 1890.
Ketika berusia 31 tahun Nitisemito menikahi Nasilah dan mereka sepakat untuk berjualan rokok kretek. Dimulai tahun 1906 Nasilah meracik rokok dari campuran tembakau, cengkeh, dan saus yang dibungkus klobot, sementara Nitisemito memasarkannya dengan merk Kodok Nguntal Ulo (katak telan ular). Karena menjadi bahan tertawaan dan dianggap tak membawa keberuntungan maka merk diubahnya pada 1908 menjadi Tjap Bulatan Tiga, yang populer sebagai Tjap Bal Tiga. Tahun 1914 merupakan puncak keberhasilan usaha rokok Nitisemito.
Ia membangun pabrik seluas 6 ha di Desa Jati, Kudus, dengan karyawan lebih dari 15.000 orang, belum termasuk tenaga kerja bon. Daerah pemasarannya menjangkau kota-kota di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, hingga ke negeri Belanda. Berbagai macam promosi kreatif digunakannya untuk memasarkan rokoknya, termasuk menyewa pesawat Fokker, memberi souvenir, menjadi sponsor tunggal pasar malam, pertunjukan tradisional, dll.
Pada 1938 usaha rokok Nitisemito mulai surut akibat perseteruan keluarga, diperburuk dengan masuknya tentara Jepang pada saat meletusnya Perang Pasifik. Meski pada 1953 Bal Tiga dinyatakan jatuh pailit, namun nama Nitisemito akan tetap dikenang sebagai perintis industri Rokok Kudus yang tangguh.
Museum Kretek Kudus
Alamat : Jl. Getas Pejaten No. 155, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Telepon: 0291 440545. Lokasi GPS : -6.8264344, 110.8378887, Waze ( smartphone Android dan iOS ). Jam buka : setiap hari 07.30 – 16.00. Harga tiket masuk : Minggu dan libur nasional Rp. 2.000, Senin s/d Sabtu Rp 1.500.Info Kudus
Hotel di Kudus, Hotel Murah di Kudus, Peta Wisata Kudus, Tempat Wisata di Kudus.Label: Jawa Tengah, Kudus, Museum, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.