Sebagaimana umumnya rumah potong di negeri ini, kerapihan dan keindahan belum terlihat menjadi sebuah hal yang penting untuk dijaga dan dipelihara. Maklum tempat seperti Rumah Potong Sawahlunto ini sangat jarang dikunjungi oleh para pejabat kota, sehingga tak ada dorongan untuk membuatnya terlihat lebih cantik dan asri.
Di kampung saya juga ada rumah potong, yang orang sebut sebagai abatoar, istilah yang diserap dari bahasa Perancis 'abattoir' lewat orang Belanda yang juga menyerapnya meski punya istilah 'slachthuis' atau rumah jagal. Kebersihan kerapihan dan buangan limbah juga menjadi masalah, hingga tempat itu ditutup dan dipindah ke desa lain.
Tampak depan Rumah Potong Sawahlunto yang dengan sedikit poles sana sini terlihat tak begitu buruk dari keadaan yang sebenarnya waktu itu. Namun boleh jadi kondisi bangunan sudah jauh lebih baik saat ini jika revitalisasi bangunan tua terus dilakukan dengan konsisten sebagai kota yang mempromosikan wisata heritage.
Rumah Potong ini letaknya persis di sebelah Museum Gudang Ransum, hanya saja nasibnya waktu itu belum sebaik gedung museum yang sudah lebih dulu diperbaiki. Sebagai bagian dari dapur umum yang melayani ribuan orang pekerja tambang dan pasien rumah sakit pada waktu itu, kedekatan jarak letak rumah potong memang akan sangat membantu.
Seorang pria berbadan tambun namun ramah yang saya temui di Rumah Potong Sawahlunto tengah menjelaskan mengenai alur pemotongan sapi yang dilakukan di bagian eksekusi yang berada di depannya itu. Corat-coret pada permukaan logam merupakan instruksi "Kalau siap motong alat ini harus dibersihkan", dan jadwal piket bagi para jagal.
Kebersihan lantai Rumah Potong Sawahlunto sendiri sebenarnya cukup terjaga, dan ada jadwal piket harian bagi petugas kebersihan, sebagaimana tertulis pada papan besi di atas. Namun banyak bagian yang telah memerlukan perbaikan dan pengecatan ulang, yang sebaiknya menggunakan jenis cat yang mudah dibersihkan.
Lorong utama Rumah Potong Sawahlunto yang lantainya masih basah setelah baru saja dibersihkan. Cipratan air pada waktu pembersihan lantai yang membawa bekas darah dan kotoran hewan itulah yang mengenai dinding dan tiang ruangan, menumpuk di sana selama bertahun-tahun. Tak saya tanyakan hewan apa saja yang dipotong di sana.
Abatoar yang ada di kampung saya itu selain sebagai tempat pemotongan kambing dan sapi, kadang kerbau, juga menjadi tempat pemotongan babi. Namun sampai abatoar ditutup tak pernah sekalipun saya melihat seekor babi dipotong, hanya mendengar cerita bahwa cara memotongnya berbeda, dan lebih 'mengerikan'.
Bak penampungan air, dan di ujung bangunan di sebelah sana adalah tempat penampungan sementara bagi sapi yang akan dipotong. Ketika tiba waktunya pemotongan, sapi-sapi itu akan dibawa melalui lintasan yang berada di sebelah kiri foto. Karena sapi pun rupanya punya perasaan, mereka bisa takut dan stres saat melihat atau mendengar sapi lain dipotong, sehingga tak jarang ada yang mengamuk.
Rel-rel penggantung daging potong dan langit-langit Rumah Potong Sawahlunto terlihat juga telah memerlukan perawatan dan perbaikan karena sudah terlihat menua. Semoga jika anda berkunjung ke sana, keadaannya sudah jauh lebih baik dari apa yang saya lihat ketika itu.
Rumah potong modern kini bisa dioperasikan oleh dua orang, bahkan satu orang pun bisa. Sapi masuk lorong antrian, didorong secara mekanik ke bilik potong dengan kepala masuk keranjang besi yang diselot agar tak bergerak. Bilik kemudian diputar hampir 180 derajat yang membuat posisi sapi telentang, dan hanya dalam beberapa detik jagal sudah memotong leher sapi dengan pisau tajam. Saya kira akan datang saatnya nanti Sawahlunto memiliki rumah potong seperti itu, dan rumah potong lama akan menjadi museum peninggalan masa lalu.
Rumah Potong Sawahlunto
Kota Sawahlunto, Sumatera Barat. Lokasi GPS : -0.67849, 100.78128, Waze. Rujukan : Hotel di Sawahlunto, Peta Wisata Sawahlunto, Tempat Wisata di Sawahlunto.Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.