Tiga buah Silo berukuran raksasa yang letaknya berdekatan satu sama lain dan sempat saya lihat beberapa hari sebelumnya, akhirnya saya kunjungi juga sesaat setelah meninggalkan Museum Kereta Api Sawahlunto. Ketiga Silo ini berada di daerah Saringan, terpisah beberapa ratus meter dengan Sizing Plant, dihubungkan dengan rel yang menjulang tinggi di angkasa.
Meski umur silo di Sawahlunto itu sudah mendekati seratusan tahun, namun tampak masih kokoh kuat dan sangat mengesankan. Saya kira silo-silo itu masih akan terus bertahan perkasa hingga lebih dari seratus tahun lagi, kecuali jika ada gempa bumi atau peristiwa alam yang dahsyat lainnya.
Kemampuan arsitek dan insinyur Belanda dalam membuat bangunan yang kokoh kuat, dan memiliki citarasa, sudah tak diragukan lagi, seperti terlihat pada silo-silo itu. Arsitek dan insinyur Belanda juga mampu membuat tanggul laut raksasa di negaranya sana yang konon dananya berasal dari pemerintah Indonesia sebagai 'ganti rugi' karena mereka harus angkat kaki dari tanah jajahannya.
Ketiga buah Silo itu, dengan rel penghubung yang berada di atas, dan Sizing Plant di ujung sebelah sana, berlatar Bukit Barisan yang mengepung Kota Sawahlunto. Entah mengapa tak terpikir untuk melihat silo dari sisi sebelah sana, oleh sebab mestinya dari sisi itu ada pintu untuk mengeluarkan batu bara yang selanjutnya akan diangkut dengan lori ke Pelabuhan Teluk Bayur.
Dari puncak salah satu dari tiga silo tambang batu bara itu, sejak tahun 1930 tepat pada pukul 07:30 dan pukul 15.30 akan terdengar bunyi raungan sirine yang terdengar ke seluruh penjuru kota. Sirine itu merupakan pertanda dimulai dan berakhirnya aktivitas para buruh serta pegawai Perusahaan Tambang Batu Bara Ombilin (kemudian menjadi PT Bukit Asam - Unit Pertambangan Ombilin) Sawahlunto.
Rel pengangkut batu bara yang disangga tiang-tiang besi tinggi, menghubungkan ketiga Silo dengan Sizing Plant yang berada di ujung rel yang lain. Ketiga Silo yang tingginya sedikitnya 40 m ini dulu berfungsi untuk menyimpan batubara yang telah dibersihkan dan siap untuk diangkut ke Pelabuhan Teluk Bayur.
Namun itu cerita dulu ketika penambangan batu bara masih menjadi tumpuan ekonomi Kota Sawahlunto. Tampaknya semuanya kini tinggal menjadi sejarah, karena ketiga Silo itu telah kosong, tidak lagi digunakan sesuai fungsinya, dan tinggal sebagai tengara kejayaan masa lalu tentang berkah tambang batu bara di wilayah ini.
Ketiga silo dan rel pengangkut batu bara itu. Karena dulu pengangkutan batubara dari Kota Sawahlunto ke Teluk Bayur menggunakan jalur kereta api, maka tidak heran jika lokasi ketiga Silo ini berada tidak jauh dari Stasiun Kereta Api Sawalunto. Namun sejak tahun 2003 pengangkutan batubara sudah tidak lagi menggunakan kereta api.
Diantara ketiga silo dan sizing plant terdapat sebuah gardu listrik tua yang digembok dan dipalang kayu, tampak terlantar mengenaskan dengan tumbuhan perdu mulai meninggi di depan pintu. Entah cerita apa yang pernah terjadi di gardu itu pada jaman dulu, jika saja ada yang bisa menemukan orang yang pernah bertugas di sana.
Penampakan pada Sizing Plant yang merupakan tempat beroperasinya mesin-mesin pencuci batubara dan mengelompokannya, sebelum dikirim ke Silo untuk disimpan dan menunggu pengangkutan ke Pelabuhan Teluk Bayur. Menurut catatan, penambangan terbuka di Sawahlunto berlangsung hingga tahun 2002, dan sejak itu hanya dilakukan penambangan bawah tanah hingga terhenti operasionalnya.
Jalan darat dari Kota Padang ke Sawahlunto adalah sekitar 95 km yang sekarang harus ditempuh dalam waktu 2-2,5 jam oleh karena banyaknya tanjakan dan tikungan. Sedangkan jalur kereta api jauh lebih panjang dari jalan raya karena harus memutar untuk menghindari kawasan pegunungan Sitinjau Laut, yaitu 155 km dengan waktu tempuh 5 jam.
Kemegahan, keagungan, kejayaan, keindahan selalu bersifat fana, sementara. Sebagian ada yang bertahan lebih lama, sebagian lebih pendek, menyisakan keterlantaran dan puing-puing reruntuhan. Namun kemampuan membangun dan merusak yang luar biasa selalu ada pada manusia, dan alam pun merusak dan membangun dengan cara-caranya sendiri.
Meski umur silo di Sawahlunto itu sudah mendekati seratusan tahun, namun tampak masih kokoh kuat dan sangat mengesankan. Saya kira silo-silo itu masih akan terus bertahan perkasa hingga lebih dari seratus tahun lagi, kecuali jika ada gempa bumi atau peristiwa alam yang dahsyat lainnya.
Kemampuan arsitek dan insinyur Belanda dalam membuat bangunan yang kokoh kuat, dan memiliki citarasa, sudah tak diragukan lagi, seperti terlihat pada silo-silo itu. Arsitek dan insinyur Belanda juga mampu membuat tanggul laut raksasa di negaranya sana yang konon dananya berasal dari pemerintah Indonesia sebagai 'ganti rugi' karena mereka harus angkat kaki dari tanah jajahannya.
Ketiga buah Silo itu, dengan rel penghubung yang berada di atas, dan Sizing Plant di ujung sebelah sana, berlatar Bukit Barisan yang mengepung Kota Sawahlunto. Entah mengapa tak terpikir untuk melihat silo dari sisi sebelah sana, oleh sebab mestinya dari sisi itu ada pintu untuk mengeluarkan batu bara yang selanjutnya akan diangkut dengan lori ke Pelabuhan Teluk Bayur.
Dari puncak salah satu dari tiga silo tambang batu bara itu, sejak tahun 1930 tepat pada pukul 07:30 dan pukul 15.30 akan terdengar bunyi raungan sirine yang terdengar ke seluruh penjuru kota. Sirine itu merupakan pertanda dimulai dan berakhirnya aktivitas para buruh serta pegawai Perusahaan Tambang Batu Bara Ombilin (kemudian menjadi PT Bukit Asam - Unit Pertambangan Ombilin) Sawahlunto.
Rel pengangkut batu bara yang disangga tiang-tiang besi tinggi, menghubungkan ketiga Silo dengan Sizing Plant yang berada di ujung rel yang lain. Ketiga Silo yang tingginya sedikitnya 40 m ini dulu berfungsi untuk menyimpan batubara yang telah dibersihkan dan siap untuk diangkut ke Pelabuhan Teluk Bayur.
Namun itu cerita dulu ketika penambangan batu bara masih menjadi tumpuan ekonomi Kota Sawahlunto. Tampaknya semuanya kini tinggal menjadi sejarah, karena ketiga Silo itu telah kosong, tidak lagi digunakan sesuai fungsinya, dan tinggal sebagai tengara kejayaan masa lalu tentang berkah tambang batu bara di wilayah ini.
Ketiga silo dan rel pengangkut batu bara itu. Karena dulu pengangkutan batubara dari Kota Sawahlunto ke Teluk Bayur menggunakan jalur kereta api, maka tidak heran jika lokasi ketiga Silo ini berada tidak jauh dari Stasiun Kereta Api Sawalunto. Namun sejak tahun 2003 pengangkutan batubara sudah tidak lagi menggunakan kereta api.
Diantara ketiga silo dan sizing plant terdapat sebuah gardu listrik tua yang digembok dan dipalang kayu, tampak terlantar mengenaskan dengan tumbuhan perdu mulai meninggi di depan pintu. Entah cerita apa yang pernah terjadi di gardu itu pada jaman dulu, jika saja ada yang bisa menemukan orang yang pernah bertugas di sana.
Penampakan pada Sizing Plant yang merupakan tempat beroperasinya mesin-mesin pencuci batubara dan mengelompokannya, sebelum dikirim ke Silo untuk disimpan dan menunggu pengangkutan ke Pelabuhan Teluk Bayur. Menurut catatan, penambangan terbuka di Sawahlunto berlangsung hingga tahun 2002, dan sejak itu hanya dilakukan penambangan bawah tanah hingga terhenti operasionalnya.
Jalan darat dari Kota Padang ke Sawahlunto adalah sekitar 95 km yang sekarang harus ditempuh dalam waktu 2-2,5 jam oleh karena banyaknya tanjakan dan tikungan. Sedangkan jalur kereta api jauh lebih panjang dari jalan raya karena harus memutar untuk menghindari kawasan pegunungan Sitinjau Laut, yaitu 155 km dengan waktu tempuh 5 jam.
Kemegahan, keagungan, kejayaan, keindahan selalu bersifat fana, sementara. Sebagian ada yang bertahan lebih lama, sebagian lebih pendek, menyisakan keterlantaran dan puing-puing reruntuhan. Namun kemampuan membangun dan merusak yang luar biasa selalu ada pada manusia, dan alam pun merusak dan membangun dengan cara-caranya sendiri.
Silo dan Sizing Plant Sawahlunto
Kota Sawahlunto, Sumatera Barat. Lokasi GPS : -0.67950, 100.77576, Waze. Rujukan : Hotel di Sawahlunto, Peta Wisata Sawahlunto, Tempat Wisata di Sawahlunto.Sponsored Link
Sponsored Link
Sponsored Link
Bagikan ke:
Facebook, Twitter, WhatsApp, Telegram, Email. Print!.