Masjid dan Kelenteng Sijuk Belitung ini bukan hanya dekat secara fisik, namun dekat pula riwayatnya, karena keduanya dibangun hampir pada waktu bersamaan, dimana Kelenteng Sijuk didirikan pada 1815, hanya sekitar 2 tahun lebih awal dari berdirinya Masjid Al Ikhlas Sijuk.
Halaman Kelenteng Sijuk ini lumayan luas, dengan sisi kiri kanannya berupa kebun yang ditumbuhi pepohonan cukup rapat, sehingga bangunannya yang terkesan agak sederhana itu terlihat menjadi kecil. Suasana sepi ketika saya datang. Tidak terlihat ada orang bersembahyang, namun saya bertemu dengan pengurus Kelenteng Sijuk yang bernama Abok, dan seorang lagi penduduk yang tengah mampir di sana.
Tampak depan Kelenteng Sijuk diambil dari sisi yang berseberangan dengan jalan masuk. Dua buah Kim Lo, bangunan berbentuk pagoda untuk membakar kertas sembahyang, tampak terletak agak sedikit terpisah di depan. Bangunan utama yang berada di tengah memiliki atap yang ditutup seng, tanpa ornamen sepasang naga berebut mustika di tengah puncaknya, seperti lazimnya kelenteng yang lain. Namun ada ornamen sepasang naga berukuran besar melilit tiang depan teras kelenteng, dengan kepala saling berhadapan.
Bangunan terbuka berbentuk bujur sangkar di sayap sebelah kiri Kelenteng Sijuk yang terlihat pada foto berfungsi sebagai semacam pendopo. Tempat itu digunakan oleh pengurus dan pengunjung kelenteng untuk duduk-duduk setelah atau sebelum sembahyang.
Jauh agak ke depan, di halaman Kelenteng Sijuk, terdapat sebuah altar kecil tempat pemujaan bagi Dewa Langit (Thien Sin, atau Shien Tien Shang Tee). Dari sini bisa terlihat tiang-tiang jembatan yang melintang di atas Sungai Sijuk, yang jaraknya hanya sekitar 50 m di seberang Kelenteng Sijuk. Bangunan Kelenteng Sijuk ini menghadap ke arah Barat.
Ada sebuah hiolo tua di bagian depan patung Hok Tek Ceng Sin, yang berada di altar utama Kelenteng Sijuk di tengah dinding ujung ruangan. Dewa Bumi biasanya disembah oleh para pedagang dan petani untuk mendapatkan berkah rizki yang melimpah. Rizki, umur panjang, dan kesehatan adalah tiga hal yang paling dibutuhkan manusia, selain kebahagiaan tentunya.
Di ruang utama Kelenteng Sijuk Belitung terdapat empat buah patung menempel pada dinding di ujung ruangan, satu diantaranya adalah Kwan Kong (Guan Yu), seorang jenderal terkenal dari era Tiga Negara (Sam Kok). Tiga patung lainnya saya tidak mengenalinya, dan tidak pula ada tulisan di bawahnya. Bedug atau tambur berukuran sedang, serta genta berukuran cukup besar tampak menggantung di langit-langit ruangan, dengan sebuah lukisan klasik Cina menempel pada dinding di sampingnya.
Benda-benda perlengkapan sembahyang Kelenteng Sijuk Belitung yang berada di sekitar patung ini, seperti hiolo tua dengan ornamen singa itu, terlihat tua dan antik. Sementara itu di depan terdapat sepasang Ciok-say (singa) berwarna hijau di depan tiang naga, dan sepasang Ciok-say lagi berwarna putih dengan ukuran lebih kecil di masing-masing sisi luarnya.
Lebih ke sebelah kiri lagi di halaman samping Kelenteng Sijuk terdapat sebuah altar yang digunakan untuk menyembah Dewa Batu. Seingat saya nama Dewa Batu belum pernah saya temui di kelenteng lain, kecuali nama Gedung Batu di Kelenteng Sam Poo Kong Semarang. Mungkin saja sebenarnya ada, tetapi saya tidak memperhatikannya.
Di belakang altar Dewa Batu Kelenteng Sijuk ini, dimana pohon rimbun itu tumbuh, memang adalah batu gunung yang berukuran raksasa, sangat besar, memanjang ke belakang, yang bisa dilihat jika pengunjung naik ke atas bukit melewati undakan. Juga baru tahu bahwa hari ke 10 Tahun Baru Cina adalah hari ulang tahun Dewa Batu, dimana pada hari ini orang dilarang memindahkan batu, mengambil batu gunung, dan membangun rumah dengan batu, sehingga hari itu dikenal sebagai Shi Bu Dong (tidak ada batu yang bergerak). Jika pantangan ini dilanggar, akan terjadi hal-hal buruk pada tanaman.
Di halaman sebelah kiri Kelenteng Sijuk terdapat sebuah sumur tua yang berkedalaman 7 meter. Dasar sumur berupa batu tebal, sehingga tidak bisa diperdalam lagi. Namun di sisi kanan kiri dinding sumur tidak ada batunya, dan air sumur ini tidak pernah kering, meski pada musim kemarau sekalipun.
Setelah sempat berbincang dengan Abok, pria pengurus Kelenteng Sijuk berusia 77 tahun, berambut putih dan berjanggut putih lurus panjang rapi yang mengingatkan saya pada seorang teman di Bangka bernama Sinpo, saya pun meninggalkan Kelenteng Sijuk. Namun sekitar sepuluh menit setelah meninggalkan Kelenteng Sijuk Belitung, saya baru teringat bahwa Abok menyebut ada lagi sebuah kelenteng seumuran Kelenteng Sijuk yang terletak tidak jauh dari situ.
Setelah sempat berdebat dengan Bang Karna, lantaran ia yakin tidak ada kelenteng yang lain, akhirnya kami berbalik kembali ke Kelenteng Sijuk. Ketika kami tiba kembali di Kelenteng Sijuk, suasana sepi telah berubah agak ramai, dengan kedatangan beberapa orang yang bersembahyang. Batang-batang lilin menyala, hio disulut dan ditancapkan di atas hiolo, dan kertas dibakar. Kain dengan sulaman burung Hong dan Naga berwarna kuning keemasan berdasar merah tampak menjuntai di depan meja.
Abok saya sapa kembali untuk menanyakan tentang kelenteng yang satu lagi itu. Sial, ternyata yang ia maksud adalah Masjid Sijuk. Jadi Bang Karna yang benar, dan saya yang salah dengar lantaran ketika Abok berbicara saya mendengarkan sambil memotret, sehingga tidak berkonsentrasi. Begitulah, jika saja saya tidak salah dengar maka saya tidak akan bisa melihat suasana kelenteng ketika orang ramai bersembahyang di sana. Setidaknya itulah alasan untuk menghibur diri, lantaran kehilangan waktu berharga karena harus kembali lagi ke kelenteng. Sebagai penutup, Kelenteng Sijuk Belitung biasanya ramai dikunjungi orang untuk besembahyang pada tanggal 6 bulan 6 pada Kalender Cina.
Kelenteng Sijuk Belitung
Alamat : Desa Sijuk, Kecamatan Sijuk, Belitung. Lokasi GPS : -2.56324, 107.76611, Waze. Jam buka : sepanjang hari. Harga tiket masuk : gratis. Hotel di Belitung, Tempat Wisata di Belitung, Peta Wisata Belitung.Label: Bangka Belitung, Belitung, Kelenteng, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.