Ketika berkunjung ke kompleks Makam KA Loesoh Belitung Timur di daerah Parit Tebu ini, saya belum tahu siapa yang dimakamkan di tempat itu. Kami datang hanya berbekal sepotong informasi dari pemilik warung di pertigaan tempat saya membeli minum, bahwa ada makam tua di tempat itu dan pernah dikunjungi pejabat setempat.
Setelah melewati jalan menurun dari Kelenteng Sun Li San, kami berbelok ke kanan melewati jalan yang aspalnya masih lumayan mulus. Tidak lama kemudian kami sampai di sebuah area terbuka, dimana ada gapura di sisi sebelah kiri, dan ada gerumbul pepohonan di belakangnya.
Melihat gapura Makam KA Loesoh yang terlihat relatif masih baru, serta area parkir yang juga lumayan luas dan beraspal pula, saya berharap menjumpai kompleks pemakaman tua yang lumayan rapi, setidaknya seperti Situs Kota Tanah Cerucuk. Namun ternyata saya salah besar.
Gapura Makam KA Loesoh yang saat itu masih tampak relatif baru dan terlihat baik itu, meskipun cat temboknya sudah cukup banyak yang terkelupas. Bisa dimengerti, karena terpapar panas matahari dan hujan maka dalam setahun pun bangunan baru luar ruang sudah memerlukan perawatan.
Tidak ada tengara yang jelas di gerbang Makam KA Loesoh Belitung Timur ini, tidak pula ada tengara di tepi jalan besar yang bisa menarik perhatian pejalan untuk mampir berziarah. Rumput yang tinggi menandakan halaman ini sudah lama tidak dirawat, karena memang mungkin tak ada yang ditugaskan untuk merawatnya.
Agak lebih masuk ke dalam kompleks Makam KA Loesoh baru terlihat bekas-bekas jalan setapak sangat samar yang berada di samping makam yang sudah tidak jelas lagi batas-batasnya. Tonjolan nisan-nisan kayu yang terlihat sangat tua dan keriput terserak di beberapa tempat, menjadi tanda bahwa mereka sudah lama dilupakan oleh anak keturunannya.
Pemandangan belantara semak yang menyedihkan saya jumpai ketika baru saja memasuki kompleks Makam KA Loesoh. Tidak jelas lagi mana jalan masuk yang 'resmi', semuanya 'preman' karena bidang jalan sudah dipenuhi tumbuhan liar dan sampah-sampah dedaunan pepohonan yang menaungi kompleks Makam KA Loesoh ini. Sungguh menyedihkan.
Tak lama kemudian saya melihat salah satu dari sangat sedikit makam yang disemen di kompleks Makam KA Loesoh. Ukiran kayu pada nisan juga agak sedikit berbeda dengan nisan kayu yang lainnya. Sayang tidak ada tengara pemilik makam. Jika anak dan cucu penghuni makam ini sudah mangkat, maka terlupakanlah dia karena buyutnya mungkin tak lagi tahu moyangnya.
Memang tidak ada tengara sama sekali pada makam-makam yang tersebar di sekitar kompleks Makam KA Loesoh ini. Namun saya meneruskan saja langkah untuk melihat lebih ke dalamlagi, meskipun ada sedikit rasa was-was akan bertemu binatang melata berbisa. Saya bukan Mahesa Jenar yang kebal segala macam bisa, bahkan yang terkuat sekali pun.
Makam-makam terlantar di kompleks makam ini kebanyakan nisannya sudah tak beraturan dan sebagian sudah rompal. Jika makamnya saja sudah tidak ada yang mengurus, lalu entah siapa yang masih teringat untuk mendoakan mereka yang bermukim di kubur-kubur ini. Melangkah lebih jauh ada sebuah kelompok makam di salah satu sudut kompleks Makam KA Loesoh yang letaknya agak sedikit lebih tinggi dari makam-makam lain.
Tidak juga saya temui tengara di sekitar makam ini. Namun kaki terus melangkah ke arah ujung kompleks makam, berharap menemukan sebuah tengara di sana. Benar saja, di sebuah kubur di ujung kompleks kami menemukan tengara yang menandai pemilik kuburnya.
Ada rasa senang ketika akhirnya saya temukan juga sebuah kubur dengan tengara nama di sana. Tengara pada permukaan batu atau beton itu berbunyi "K.A. Loesoh", lalu di bawahnya ada angka tahun, yang kalau saya tak salah baca adalah 1864, dan ada tulisan "K.A. Muntai".
Tengara Makam KA Loesoh itu masih cukup jelas terbaca, meski sebagian betonnya telah rompal. Bentuk beton pada tengara ini mirip dengan tengara yang saya lihat di Situs Kota Tanah Cerucuk, sehingga saya menduga bahwa kedua makam itu ada kaitannya, dan belakangan saya ketahui bahwa memang benar adanya.
KA Loesoh, atau Ka Agoes Loesoh, adalah putera dari KA Munti dan Nyi Ayu Busu. KA Munti adalah putera dari KA Abudin (Depati Cakraningrat V, 1740-1755), sedangkan Nyi Ayu Busu adalah anak KA Usman (adik KA Abudin). KA Loesoh lalu menurunkan KA Jalil. Keturunan KA Munti kemudian dikenal sebagai keluarga bangsawan Gunong Petebu (sekarang Parit Tebu).
KA Usman inilah yang mendirikan pemukiman di Sungai Cerucuk lantaran tidak setuju dengan cara memerintah KA Abudin yang otoriter sehingga tidak disukai rakyat. KA Abudin kemudian dipanggil oleh Raja Palembang, tidak diperbolehkan pulang ke Belitung, sampai ia meninggal dan dimakamkan di Palembang.
KA Usman lalu menjadi raja bergelar Depati Cakraningrat VI. Ia membagi wilayah kekuasaan kepada anak-anak KA Abudin, diantaranya ke KA Munti yang mendapatkan wilayah di Gunong Petebu, serta menikahkan KA Munti dengan anak gadisnya sendiri untuk menyatukan kedua keluarga yang sempat berseteru.
KA Usman tewas di muara Sungai Cerucuk dekat Pulau Kalamoa ketika armada perahunya diserang oleh bajak laut, dan mayat tidak ditemukan. Anaknya yang bernama KA Hatam kemudian menjadi Depati Cakraninggrat VII, yang pada masanya didatangkan para pekerja tambang timah keturunan Cina di Johor melalui Tumasik. Inilah yang lalu membuat KA Hatam mengambil istri kedua seorang Cina yang diberi gelar Dayang Kuning.
Nama KA Loesoh muncul ketika ia berhasil menyelamatkan KA Rahad, putera KA Hatam yang masih muda, beserta beberapa saudara yang lainnya, ketika pada 1813 Belitung diserbu oleh pasukan Tengku Akil dari Siak, atas instruksi pemerintah kolonial Inggris yang dipimpin Sir Thomas Stamford Raffles. KA Hatam sendiri tewas dalam penyerbuan itu dengan kepala terpenggal.
Dengan dipimpin KA Loesoh yang terkenal sebagai Panglima Keris Berhulu Perak, pasukan kerajaan dan rakyat Belitung akhirnya berhasil mengusir pasukan Tengku Akil hingga Tengku Akil melarikan diri ke Pulau Lepar. KA Rahad kemudian menjadi raja bergelar Depati Cakraningrat VIII, meninggal tahun 1854 dan dimakamkan di Air Labu Kembiri. Kedudukannya digantikan oleh KA Mohamad Saleh (adik KA Rahad) sebagai Depati Cakraningrat IX, yang merupakan raja Islam terakhir yang berkuasa di Belitung.
Sudah sepantasnya jika pemerintah setempat memberi perhatian untuk memugar kompleks Makam KA Loesoh di Parit Tebu ini, serta memugar situs-situs bersejarah lainnya yang masih terlantar atau setengah terlantar, sehingga jejak sejarah Belitung tidak sampai terlupakan.
Setelah melewati jalan menurun dari Kelenteng Sun Li San, kami berbelok ke kanan melewati jalan yang aspalnya masih lumayan mulus. Tidak lama kemudian kami sampai di sebuah area terbuka, dimana ada gapura di sisi sebelah kiri, dan ada gerumbul pepohonan di belakangnya.
Melihat gapura Makam KA Loesoh yang terlihat relatif masih baru, serta area parkir yang juga lumayan luas dan beraspal pula, saya berharap menjumpai kompleks pemakaman tua yang lumayan rapi, setidaknya seperti Situs Kota Tanah Cerucuk. Namun ternyata saya salah besar.
Gapura Makam KA Loesoh yang saat itu masih tampak relatif baru dan terlihat baik itu, meskipun cat temboknya sudah cukup banyak yang terkelupas. Bisa dimengerti, karena terpapar panas matahari dan hujan maka dalam setahun pun bangunan baru luar ruang sudah memerlukan perawatan.
Tidak ada tengara yang jelas di gerbang Makam KA Loesoh Belitung Timur ini, tidak pula ada tengara di tepi jalan besar yang bisa menarik perhatian pejalan untuk mampir berziarah. Rumput yang tinggi menandakan halaman ini sudah lama tidak dirawat, karena memang mungkin tak ada yang ditugaskan untuk merawatnya.
Agak lebih masuk ke dalam kompleks Makam KA Loesoh baru terlihat bekas-bekas jalan setapak sangat samar yang berada di samping makam yang sudah tidak jelas lagi batas-batasnya. Tonjolan nisan-nisan kayu yang terlihat sangat tua dan keriput terserak di beberapa tempat, menjadi tanda bahwa mereka sudah lama dilupakan oleh anak keturunannya.
Pemandangan belantara semak yang menyedihkan saya jumpai ketika baru saja memasuki kompleks Makam KA Loesoh. Tidak jelas lagi mana jalan masuk yang 'resmi', semuanya 'preman' karena bidang jalan sudah dipenuhi tumbuhan liar dan sampah-sampah dedaunan pepohonan yang menaungi kompleks Makam KA Loesoh ini. Sungguh menyedihkan.
Tak lama kemudian saya melihat salah satu dari sangat sedikit makam yang disemen di kompleks Makam KA Loesoh. Ukiran kayu pada nisan juga agak sedikit berbeda dengan nisan kayu yang lainnya. Sayang tidak ada tengara pemilik makam. Jika anak dan cucu penghuni makam ini sudah mangkat, maka terlupakanlah dia karena buyutnya mungkin tak lagi tahu moyangnya.
Memang tidak ada tengara sama sekali pada makam-makam yang tersebar di sekitar kompleks Makam KA Loesoh ini. Namun saya meneruskan saja langkah untuk melihat lebih ke dalamlagi, meskipun ada sedikit rasa was-was akan bertemu binatang melata berbisa. Saya bukan Mahesa Jenar yang kebal segala macam bisa, bahkan yang terkuat sekali pun.
Makam-makam terlantar di kompleks makam ini kebanyakan nisannya sudah tak beraturan dan sebagian sudah rompal. Jika makamnya saja sudah tidak ada yang mengurus, lalu entah siapa yang masih teringat untuk mendoakan mereka yang bermukim di kubur-kubur ini. Melangkah lebih jauh ada sebuah kelompok makam di salah satu sudut kompleks Makam KA Loesoh yang letaknya agak sedikit lebih tinggi dari makam-makam lain.
Tidak juga saya temui tengara di sekitar makam ini. Namun kaki terus melangkah ke arah ujung kompleks makam, berharap menemukan sebuah tengara di sana. Benar saja, di sebuah kubur di ujung kompleks kami menemukan tengara yang menandai pemilik kuburnya.
Ada rasa senang ketika akhirnya saya temukan juga sebuah kubur dengan tengara nama di sana. Tengara pada permukaan batu atau beton itu berbunyi "K.A. Loesoh", lalu di bawahnya ada angka tahun, yang kalau saya tak salah baca adalah 1864, dan ada tulisan "K.A. Muntai".
Tengara Makam KA Loesoh itu masih cukup jelas terbaca, meski sebagian betonnya telah rompal. Bentuk beton pada tengara ini mirip dengan tengara yang saya lihat di Situs Kota Tanah Cerucuk, sehingga saya menduga bahwa kedua makam itu ada kaitannya, dan belakangan saya ketahui bahwa memang benar adanya.
KA Loesoh, atau Ka Agoes Loesoh, adalah putera dari KA Munti dan Nyi Ayu Busu. KA Munti adalah putera dari KA Abudin (Depati Cakraningrat V, 1740-1755), sedangkan Nyi Ayu Busu adalah anak KA Usman (adik KA Abudin). KA Loesoh lalu menurunkan KA Jalil. Keturunan KA Munti kemudian dikenal sebagai keluarga bangsawan Gunong Petebu (sekarang Parit Tebu).
KA Usman inilah yang mendirikan pemukiman di Sungai Cerucuk lantaran tidak setuju dengan cara memerintah KA Abudin yang otoriter sehingga tidak disukai rakyat. KA Abudin kemudian dipanggil oleh Raja Palembang, tidak diperbolehkan pulang ke Belitung, sampai ia meninggal dan dimakamkan di Palembang.
KA Usman lalu menjadi raja bergelar Depati Cakraningrat VI. Ia membagi wilayah kekuasaan kepada anak-anak KA Abudin, diantaranya ke KA Munti yang mendapatkan wilayah di Gunong Petebu, serta menikahkan KA Munti dengan anak gadisnya sendiri untuk menyatukan kedua keluarga yang sempat berseteru.
KA Usman tewas di muara Sungai Cerucuk dekat Pulau Kalamoa ketika armada perahunya diserang oleh bajak laut, dan mayat tidak ditemukan. Anaknya yang bernama KA Hatam kemudian menjadi Depati Cakraninggrat VII, yang pada masanya didatangkan para pekerja tambang timah keturunan Cina di Johor melalui Tumasik. Inilah yang lalu membuat KA Hatam mengambil istri kedua seorang Cina yang diberi gelar Dayang Kuning.
Nama KA Loesoh muncul ketika ia berhasil menyelamatkan KA Rahad, putera KA Hatam yang masih muda, beserta beberapa saudara yang lainnya, ketika pada 1813 Belitung diserbu oleh pasukan Tengku Akil dari Siak, atas instruksi pemerintah kolonial Inggris yang dipimpin Sir Thomas Stamford Raffles. KA Hatam sendiri tewas dalam penyerbuan itu dengan kepala terpenggal.
Dengan dipimpin KA Loesoh yang terkenal sebagai Panglima Keris Berhulu Perak, pasukan kerajaan dan rakyat Belitung akhirnya berhasil mengusir pasukan Tengku Akil hingga Tengku Akil melarikan diri ke Pulau Lepar. KA Rahad kemudian menjadi raja bergelar Depati Cakraningrat VIII, meninggal tahun 1854 dan dimakamkan di Air Labu Kembiri. Kedudukannya digantikan oleh KA Mohamad Saleh (adik KA Rahad) sebagai Depati Cakraningrat IX, yang merupakan raja Islam terakhir yang berkuasa di Belitung.
Sudah sepantasnya jika pemerintah setempat memberi perhatian untuk memugar kompleks Makam KA Loesoh di Parit Tebu ini, serta memugar situs-situs bersejarah lainnya yang masih terlantar atau setengah terlantar, sehingga jejak sejarah Belitung tidak sampai terlupakan.
Makam KA Loesoh Belitung Timur
Alamat : Parit Tebu, Kecamatan Gantung, Belitung Timur. Lokasi GPS : -2.98485, 108.09533, Waze. Tempat Wisata di Belitung Timur, Peta Wisata Belitung, Hotel di Belitung Timur, Hotel di Belitung.Sponsored Link
Sponsored Link
Sponsored Link
Bagikan ke:
Facebook, Twitter, WhatsApp, Telegram, Email. Print!.