Tidak puas menemukan kebun kosong bekas Situs Candi Ronggeng (GPS -7.33789, 109.26628), saya bertanya kepada beberapa orang tentang situs itu, namun tidak memperoleh jawaban memuaskan. Namun salah satu orang itu yang memberitahu keberadaan Situs Candi Ebeg. Berasa sedikit terhibur, kami pun meninggalkan Situs Candi Ronggeng. Setelah sekitar 400 meter turun dari lokasi Situs Candi Ronggeng, kami sampai di pertigaan dimana terdapat tanah lapang di sebelah kanan, dan sebuah gerumbul di sisi kiri. Setelah parkir kendaraan, kami melangkahkan kaki menuju ke gerumbul. Di pinggir gerumbul kami menjumpai pagar bambu, dengan pintu bambu yang bisa diselarak, dipindahkan ke samping untuk orang bisa masuk. Lantaran tidak melihat ada penjaga, kami pun membuka pintu bambu itu, dan melangkah masuk ke dalam gerumbul yang terlihat agak wingit. Ada banyak batuan dengan sebuah pohon besar menjulang tinggi tegak di hadapan kami.
Pohon besar itu, dikelilingi pohon-pohon kecil dan tumbuhan sejenis pakis atau pohon salak, yang membuat suasana gerumbul Situs Candi Ebeg menjadi teduh, namun juga agak seram. Keberadaan pohon sangat besar, dari jenis apa pun, menjadi semacam pemberi otoritas mistik bagi sebuah tempat, setidaknya memberi indikasi akan usia tempat itu, dan lazimnya ada saja cerita yang hidup di sekitarnya. Jika tidak mistik, kecil kemungkinan pohon besar itu bisa terus bertahan hidup. Bertahan dari mata lapar para pemburu kayu besar tua, dijadikan uang yang jumlahnya bisa sangat menggiurkan.
Selang beberapa saat kemudian, terlihat ada orang yang datang memasuki gerumbul. Seorang pria sepuh. Rupanya ia adalah kuncen atau penjaga tempat ini yang tidak selalu datang setiap harinya ke sana, sehingga saya menjadi merasa cukup beruntung bisa bertemu dengan si bapak itu. Sayangnya saya lupa untuk mencatat nama beliau.
Pada foto di atas, Bapak sepuh penjaga Situs Candi Ebeg itu duduk berhadapan dengan Tri yang tampak tercenung saat mendengar si babak berkisah tentang situs di bawah pohon besar itu. Dari Bapak itulah saya ketahui bahwa nama gerumbul ini disebut sebagai Candi Ebeg, lantaran konon orang yang memiliki usaha ebeg (bahasa Banyumasan untuk menyebut kuda lumping) akan datang ke tempat ini, meminta berkah agar usaha ebeg-nya laku.
Ketinggian posisi situs ini bisa diperkirakan dari dalamnya lembah persawahan yang saya lihat ada di belakang gerumbul pohon. Jalan menuju tempat ini memang mendaki. Lintasan jalan yang menuju ke bekas situs Candi Ronggeng juga masih mendaki.
Pada pojok area lain di kompleks Situs Candi Ebeg ini juga terdapat sisa-sisa bakaran dupa, di depan susunan batu yang terlihat menyerupai kubur. Hampir pasti bulu kuduk akan merinding jika datang sendirian ke tempat ini di petang hari menjelang matahari tenggelam. Pergantian waktu di tempat seperti ini mendatangkan nuansanya sendiri.
Ada banyak tatanan batu berukuran sedang di sekeliling pohon di Situs Candi Ebeg ini. Bisa jadi dahulu kala batu itu merupakan sebuah Cromlech, struktur megalitikum yang dibuat dari sekelompok menhir, disusun dalam bentuk lingkaran atau semi lingkaran.
Selama beberapa saat si bapak duduk di atas akar pohon sangat besar di dekat sebuah batu tegak tidak begitu besar dengan sisa bakaran dupa berwarna hitam di dekatnya. Batu yang menyerupai bentuk ebeg itulah yang kemudian memberi nama pada situs ini. Berbincang dengan bapak sepuh itu tidak begitu mudah, lantaran bahasanya yang tercampur baur serta pengucapannya yang kadang sulit ditangkap.
Sisi pandang lain ke arah Pohon Besar Situs Candi Ebeg memperlihatkan kontur tanah berundak, sebagian susunan batu yang jumlahnya terbilang banyak, serta bergelayutannya akar pohon tua. Tatanan batu serta kontur tanah memberi indikasi bahwa tempat ini merupakan punden berundak yang berasal dari jaman kepercayaan kuno.
Kepercayaan tua memang tidak akan pernah mati, meski diserbu bertubi oleh kedatangan kepercayaan dari luar seperti agama Hindu, Budha, Kristen, dan Islam, atau entah apa lagi nanti, dengan berbagai macam variasi dan sektenya. Kepercayaan turun temurun itu selalu menemukan ruang hidup diantara para penganut kepercayaan baru, sehingga keberadaannya pun tidak mudah lenyap.
Pada akhirnya adalah orang akan melihat bukan apa agama yang dianut, namun bagaimana ajaran agamanya itu bisa tercermian dalam ahlak dan perilaku keseharian penganutnya. Ajaran agama yang baik mestinya bisa mengubah ahlak dan perilaku buruk pemeluknya menjadi jauh lebih baik. Namun ironisnya kadang ahlak dan perilaku orang malah menjadi lebih buruk setelah mendalami agama. Hati-hati dalam memilih guru dan komunitas adalah kunci agar tidak sampai tersesat.
Di latar depan terdapat sebuah batu tegak lainnya yang berada tidak jauh dari batu Candi Ebeg, pada sisi pohon berlawanan. Jelas batu-batu itu buatan manusia, yang lazimnya berasal dari jaman dan kepercayaan purba. Orang Barat menyebutnya sebagai jaman Megalitikum, jaman batu besar. Jaman itu orang secara berkelompok memilih suatu tempat di sebuah ketinggian, menyusun batu dengan bentuk khas, menghadap arah tertentu yang dipercaya sebagai kiblat bersemayamnya para leluhur, dan menjadikan tempat itu sebagai pemujaan bersama pada waktu-waktu tertentu.
Karena kemampuan mencatat saya yang sering belepotan, di ransel ada perekam suara, hanya saja saya lupa memakainya. Cerita yang masih tertangkap adalah bahwa Situs Candi Ebeg itu konon pernah menjadi tempat pertapaan Gandakesuma, seorang priyayi asal Solo. Ia ditugaskan mencari jejak Raden Patah yang lama tidak pulang.
Menurut kisah si bapak, Raden Patah rupanya sempat tinggal di Desa Sirapan. Dalam pencarian itu Gandakesuma bersama Mangkubumi tiba di Desa Gandatapa, desa dimana Situs Candi Ebeg ini berada. Saat itu desa ini masih sepi. Hanya ada tiga rumah yang penghuninya hidup dengan membuat gula kelapa.
Lantaran sudah tiga bulan tidak makan nasi, Gandakesuma memintanya ke seorang ibu di salah satu rumah. Namun karena anaknya belum makan, maka si ibu berbohong dengan mengatakan bahwa ia belum menanak nasi. Setelah Gandakesuma pergi, nasi yang sebenarnya ada itu tiba-tiba jatuh terduduki dan tidak bisa dimakan lagi. Konon karena kejadian itu orang yang hidup di Desa Gandatapa tidak ada yang bisa kaya.
Menelusuri nama Gandakusuma, tercatat ada nama Pangeran Gandakusuma yang menjadi Adipati Kendal. Ia hidup satu jaman ketika Raden Patah menjadi Adipati Demak. Catatan tentang itu saya temukan dalam Suluk Abdul Jalil yang menceritakan perjalanan ruhani Syekh Siti Jenar. Entah apakah Adipati Kendal itu orang yang sama dengan orang yang diceritakan oleh bapak tua di Situs Candi Ebeg ini. Wallahua'lam.
Situs Candi Ebeg Sumbang
Alamat : Desa Gandatapa, Kecamatan Sumbang, Banyumas. Lokasi GPS : -7.34056, 109.2644, Waze. Hotel di Purwokerto, Hotel di Baturraden, Tempat Wisata di Banyumas, Tempat Wisata Kuliner Banyumas, Peta Wisata Banyumas.Label: Banyumas, Jawa Tengah, Situs, Sumbang, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.