Jam lima lewat dua puluh menit kami berhenti di depan gerbang kelenteng. Di sebelah kiri berdiri tengara dengan tulisan nyaris pudar yang berbunyi "Tempat Ibadat Tri Dharma Kong Hwie Kiong". Di bawah nama ada pat-kwa dengan lambang yin-yang, genta, dan swastika. Kim Lo, bangunan menyerupai pagoda yang lazim digunakan sebagai tempat pembakaran kertas sembahyang, terlihat berada di pojokan halaman dengan atap pelana tumpang tujuh yang mengecil ke atas.
Meskipun halaman kelenteng Kong Hwie Kiong tidak terlalu luas, namun cukup lebar dan lapang. Suasana sudah sepi saat itu. Ketika saya melangkahkan kaki memasuki area di dalam kelenteng, tak terlihat ada orang yang tengah bersembahyang. Hanya ada beberapa petugas yang tengah berjaga sambil membersihkan perabotan kelenteng, mengisi minyak pelita, dan pekerjaan rutin lainnya. Sepasang singa penjaga (Cioksay) bermata aneh diletakkan tepat di depan teras kelenteng. Singa jantan bermain bola, dan singa betina bermain dengan anaknya. Pilar teras berhias lukisan naga, dinding kanan teras ada lagi relief naga dan bangau, serta dinding kiri ada relief singa dan kijang.
Tampak muka Kelenteng Kong Hwie Kiong Kebumen yang cukup cantik. Di atas wuwungan kelenteng terdapat arca sepasang naga yang tengah berebut mustika. Ukuran naga itu relatif sangat besar jika diperbandingkan dengan lebar wuwungan.
Pada dinding di dekat pintu tengah melekat sebuah tengara tulisan yang berbunyi "Dibangun th - 1898, dibangun kembali th - 1969". Pembangunan kembali pada 1969 itu diprakarsai oleh Lie Nyien Fong dikarenakan Kelenteng Kong Hwie Kiong telah rusak berat pada saat terjadi agresi militer Belanda yang kedua. Bangunan asli yang tersisa tinggal tembok di sisi kanan, kiri dan bagian belakang.
Di dalam kelenteng, petugas meminta saya menunggu untuk mendapat ijin pengurus bila hendak memotret altar dan rupang yang ada di sana. Tak lama kemudian pengurus bernama Lin Tjen Lay datang, dan ia menghubungkan saya dengan ketua yayasan Sugeng Budiawan lewat telepon genggam. Sugeng memberi ijin dan menyerahkan lagi kepada Tjen Lay soal seluk beluk kelenteng karena ia mengaku belum lama menjabat.
Tjen Lay cukup ramah. Ia bersedia melayani pertanyaan saya dan memberi keterangan panjang pendek tentang yang ada di dalam kelenteng serta filosofinya. Menurutnya orang masuk ke kelenteng melalui pintu naga, dan keluar melalui pintu harimau. Naga melambangkan kemakmuran, keselamatan, dan naik derajat atau pangkat. Harimau melambangkan lepas dari segala bentuk bahaya, juga lambang keuletan dan rendah hati. Ketika orang masuk melewati pintu naga dan keluar lewat pintu harimau, ia akan diingatkan dengan makna yang lambang-lambang itu.
Altar Tiga Nabi Agung, yaitu Lao Tze (Lo Cu) di sebelah kiri duduk bersila memegang kipas, Buddha Sakyamuni di tengah duduk bersila dengan sikap dhyana mudra, serta dan Kong Tze (Kong Hu Cu) duduk dikursi di sebalah kanan. Di belakang rupang terdapat bendera kombinasi warna biru, kuning, merah, hitam, dan putih.
Kelenteng Kong Hwie Kiong yang asli dibangun oleh Liem Kik Gwan, seorang letnan, serta para pendatang yang berasal dari daerah pesisir di Tiongkok Selatan, oleh karena itu tuan rumah kelenteng ini adalah Thian Siang Seng Bo (Tian Shang Sheng Mu). Ia dikenal adalah Dewi Laut yang dipuja karena selalu menolong para pelaut dan menjadi dewi pelindung bagi para perantau di Asia Tenggara yang berasal dari wilayah pesisir di Tiongkok Selatan.
Thian Siang Seng Bo selalu digambarkan sebagai dewi cantik dan berpakaian kebesaran permaisuri, dikawal dua siluman penguasa Pegunungan Tao Hua Sha yang ditaklukkan olehnya, yaitu Qian Li Yan (Mata Seribu) dan Sun Feng Er (Kuping Hembusan Angin). Tjen Lay mengatakan bahwa ibadah ke Thian Siang Seng Bo adalah merupakan ibadah keteladanan.
Ada cukup banyak altar sembahyang di Kelenteng Kong Hwie Kiong, yang letaknya berdekatan atau pun terpisah-pisah. Di dalam sebuah cungkup kecil terdapat rupang Pau Sen Ta Ti / Bao Sheng Da Di yang dipuja oleh masyarakat Tionghoa sebagai Maharaja Pelindung Kehidupan. Ia diapit oleh dua rupang lainnya, satu diantaranya bermuka hitam.
Ada altar sembahyang dengan tengara bertulis "Ru Lai Hut Co" diletakkan di depan hiolo, diapit oleh perlengkapan ritual. Arca Buddha dengan posisi dhyana mudra berukuran besar terbuat dari batu diletakkan di atas meja. Di belakangnya ada lagi patung Buddha berukuran lebih besar dan diletakkan pada posisi yang lebih tinggi.
Di sebelah kirinya adalah altar sembahyang untuk Dewi Kwan Im (Kwan She Im Phosat), dengan rupang berwarna dominan putih, dikelilingi beberapa buah rupang berukuran lebih kecil, dan sejumlah cawan keramik di depannya. Hiasan kain dengan motif berwarna keemasan terlihat indah menempel memanjang pada dinding di belakang rupang Sang Dewi Welas Asih.
Di sebelah kanan adalah altar sembahyang bagi Te Cong Ong Pho Sat, Dewa Pelindung para arwah yang menjalani siksaan di neraka agar terbebas dan terlahir kembali. Te Cong Ong Pho Sat merupakan salah satu dari empat Bodhisatva yang sangat dihormati pengikut Buddha Mahayana. Tiga lainnya adalah Guan Yin Pu Sa (Kwan She Im Phosat ) lambang welas asih, Wen Su Pu Sa (Manjusri) lambang kebijaksanaan, dan Pu Xian Pu Sa (Samantha Bhadra Bodhisattva) lambang kasih, kebaikan, kesabaran, dan kesucian.
Tjen Lay menyebutkan bahwa ada tiga macam ibadah yang umumnya dilakukan orang di sebuah kelenteng, yaitu ibadah spiritual kepada dewa atau figur sifat Thian, ibadah keteladanan kebajikan, dan ibadah yang dilakukan berdasarkan legenda atau kepercayaan yang hidup di tengah masyarakat.
Ada pula Altar sembahyang untuk Kongco Hok Tek Ceng Sin, Dewa Bumi, yang menurut Tjen Lay merupakan salah satu ibadah spiritual. Dewa Bumi dipercayai akan memberikan berkahnya kepada orang yang melakukan kebajikan. Oleh karenanya kalau belum melakukan kebajikan maka orang belum akan diberi berkah olehnya.
Pada dinding sebelah kanan ruangan utama kelenteng terdapat deretan lukisan yang memiliki makna filosofis. Salah satunya menggambarkan penjual tameng yang sesumbar bahwa tamengnya paling kuat dan bisa menahan senjata apa saja, bersebelahan dengan penjual tombak yang sesumbar tombaknya bisa menembus apa saja. Lalu ada orang lewat yang berkata, kalau ditempurkan kedua-duanya bagaimana.
Lalu ada lukisan seorang kakek dan anak hendak memindahkan gunung, yang merupakan perlambang bahwa jika ada tekad dan kemauan kuat maka apa pun bisa dilakukan. Ada pula lukisan anak tengah bermain dan salah satunya terperangkap dalam gentong. Ketika anak lain kebingungan, ada satu anak melempar gentong dengan batu sampai pecah sehingga anak yang terjebak di dalam gentong itu bisa keluar.
Lukisan lainnya memperlihatkan seorang nenek yang dengan tekun tengah mengasah besi batangan untuk membuat sebatang jarum. Makna yang terkandung dalam lukisan ini adalah dengan kemauan kuat, kesabaran, keuletan, dan keteguhan hati, maka semua kesulitan bisa diatasi untuk mencapai cita-cita semustahil apa pun.
Pada altar sembahyang untuk pengikut Tao terdapat rupang Laozi / Lao Tze dalam posisi duduk bersila diapit oleh seorang dewi dan seorang panglima perang, serta ada lambang yin-yang di dalam pat-kwa pada dinding di belakangnya. Di sebelahnya terdapat altar sembahyang bagi Nabi Kong Hu Cu dengan rupang dalam posisi duduk di atas kursi dengan sebuah genta kecil dan hiolo di atas meja di depannya.
Tjen Lay sempat mengantar saya berkeliling untuk melihat altar-altar sembahyang dan menjelaskan apa yang diketahuinya. Tak semua ia bisa jelaskan karena begitu banyaknya pengetahuan dan kisah yang ada di balik setiap rupang. Setelah merasa cukup, saya pun berpamitan kepada Tjen Lay sembari mengucapkan terima kasih untuk semua penjelasannya.
Kelenteng Kong Hwie Kiong Kebumen
Alamat : Jl. Pramuka No. 42, Kebumen. Lokasi GPS : -7.67328, 109.65767, Waze. Hotel di Kebumen, Tempat Wisata di Kebumen, Peta Wisata Kebumen.Label: Jawa Tengah, Kebumen, Kelenteng, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.