November 13, 2024

Makam Ki Ageng Gribig

Setelah puluhan tahun lewat, saya bisa napak tilas ke Jatinom, sebuah kota kecamatan (dulu kawedanan) di Klaten, tempat Makam Ki Ageng Gribig berada. Kami sekeluarga pernah tinggal sana, sejak sebelum saya di bangku TK sampai tahun 1967, saat masih kelas 2 SD.

Ketika tiba di sana, tempat pertama yang saya tuju adalah Kawedanan Jatinom, rumah dimana dulu kami pernah tinggal. Sebelum dihapus, status kawedanan adalah setingkat di atas kecamatan, atau setingkat di bawah kepatihan / kabupaten.

Namun Jatinom sudah sangat berubah. Oro-oro tempat keramaian bulan Sapar biasa diselenggarakan terlihat mengecil. Entah memang mengecil atau karena mata anak kecil yang berbeda dengan pandang mata orang dewasa. Saat bertanya arah ke seorang penduduk, malah sampai di Kantor Kawedanan Jatinom "lama" namun "baru". Hanya naluri yang membuat kami akhirnya menemukan rumah itu.

makam ki ageng gribig jatinom klaten

Rumah bekas kawedanan yang dulu pernah kami tinggali sekitar 5-6 tahunan itu masih seperti yang terpateri dalam ingatan, hanya terlihat tua, dan kosong. Pohon Jambu Dersono di halaman depan yang buahnya sangat manis itu sudah tidak ada lagi. Namun lorong di depan rumah yang saya lewati setiap pagi saat berangkat ke sekolah terlihat tidak berubah.

Tetangga sebelah kanan rumah, seorang mantri yang baik hati, telah lama pindah. Puterinya yang panggilannya wok Sus adalah teman saya. Namun tetangga depan rumah, kini seorang ibu, masih ada. Ada perasaan senang ketika bertemu dan berbincang dengannya, sedikit mengenang masa lalu, meski ingatan itu sangat samar.

Matahari mulai turun ke barat ketika kami meninggalkan rumah si ibu menuju ke Makam Ki Ageng Gribig yang lokasinya lurus saja ke arah sebelah kanan, sampai mentok di ujung jalan. Jalan ini dulu sering saya lalui untuk membeli karak, sejenis krupuk dari beras, yang ditusuk bersusun vertikal dengan potongan bambu sebesar lidi. Enak dan gurih sekali.

Sesampainya di lokasi makam, kami melangkahkan kaki ke ruangan cukup besar dimana pintu masuk ke kompleks Makam Ki Ageng Gribig berada. Pintunya dikunci, namun tidak lama kemudian datang seorang pria yang membantu memanggilkan kuncen. Pada dinding pendopo ruang tunggu makam terdapat denah tempat-tempat menarik di Jatinom, sebagian berada di tepi Kali (m)Belan.

Dulu cukup sering kami bermain di Kali Belan dengan Pohon Beringin tua di sebelah kanan undakan batu, dan memasuki Gua Belan. Bau ikan yang khas masih tersimpan di ingatan. Di seberang kali ada tebing yang di tengahnya ada sungai kecil jernih, tempat saya biasa pergi menemani mas Endro, supir kawedanan yang waktu itu masih muda, untuk mandi dan mencuci baju. Kadang ia membawa gitarnya.

Lamunan masa kecil lenyap ketika juru kunci makam datang mendekat. Namanya Pak Jedeng (0856 284 7873, 0813 9387 9006), yang setelah bersalaman dan berbincang sebentar ia lalu membukakan pintu makam, dan mengantar kami memasuki area makam yang ternyata cukup luas, dengan melepas alas kaki sebelum melewati pintu.

Cungkup Makam Ki Ageng Gribig

Di area makam ada gapura lengkung tiga dengan lambang kerajaan di puncaknya, serta tulisan-tulisan yang menggunakan huruf Jawa yang saya tak lagi bisa membacanya. Harus belajar lagi. Sebuah makam dengan nisan unik dengan torehan angka 1821 di permukaannya kami lewati saat berjalan menuju ke cungkup utama dimana Makam Ki Ageng Gribig berada.

Lambang kerajaan itu ada di sana karena Ki Ageng konon adalah keturunan Raja Brawijaya, Majapahit. Ini berbeda dengan apa yang sampai sejauh itu tersimpan di dalam ingatan. Sebelumnya saya kira bahwa nama Ki Ageng Gribig merupakan nama sebutan dari Syekh Maulana Maghribi atau Maulana Malik Ibrahim, seorang wali kondang asal Maroko di barat laut Afrika.

Cungkup utama Makam Ki Ageng Gribig terlihat bersih dan terawat. Beberapa makam tua terlihat berada di luar cungkup. Menggantung di atas pintu ada beberapa baris tulisan. Tulisan yang di kanan berbunyi: Hambabar ubaling karso, hadedasar poncasila, hangudi luhuring bongso, hangayati kanti waspodo, handayani sentoso karto-raharjo

Terdapat dua buah kubur di dalam cungkup makam. Di sebelah kiri adalah Makam Nyi Ageng Gribig, dan di sebelah kanan adalah Makam Ki Ageng Gribig. Biasanya saya meminta kuncen untuk membuka penutup nisan, ingin melihatnya. Namun entah mengapa waktu itu saya tidak berminat untuk melakukannya. Setiap makam sepertinya memang punya panggilannya sendiri-sendiri.

Silsilah Ki Ageng Gribig

Dalam kunjungan itu saya mendapatkan sebuah buku kecil dari kuncen yang berisi riwayat tentang Ki Ageng Gribig. Buku itu disusun oleh Panitia Yaqowitu Jatinom, diterbitkan pada 25 April 1953 atau sekitar 9 tahun sebelum keluarga kami mulai tinggal di Jatinom.

Ketua panitianya adalah Indarjo, Wedana Jatinom waktu itu, yang dalam rapat tanggal 30 Oktober 1952 memutuskan dibuatnya Panitia Penyusun Sejarah Yaqowiyu, terdiri dari Dirjo Hardoyo (Camat Jatinom), Haryo Suwiryo (Kepala KUA Jatinom), Siswo Martono (Penilik Pen Mas Jatinom), Darmo Sukarno (Pegawai JU PEN Jatinom), dan Mangkuwiyoto (Lurah Desa Jatinom). Petikan dari buku itu bisa dibaca di bawah ini.

Alkisah, Prabu Brawijaya Raja Majapahit yang menikahi putri Campa mempunyai putera bernama Raden Mas Guntur. Entah oleh sebab apa Raden Mas Guntur memutuskan pergi dari kerajaan untuk bertapa di ujung Hawar-hawar di daerah pantai Utara Tuban. Di sana beliau menyebut dirinya Wasi Jolodoro.

Beliau kemudian mengangkat diri sebagai Hajar dan menguasai daerah sebelah Timur. Suatu hari Ki Hajar Wasi Jolodoro didatangi Sunan Bonang dan diajak berdebat tentang ilmu kebatinan. Dalam perdebatan itu Ki Hajar mengaku kalah sehingga ia memeluk Agama Islam dan mengganti namanya menjadi Wasibagno.

Kemudian beliau diperintahkan untuk pindah ke Desa Ngibig yang masih ada di daerah kekuasaan Tuban. Di sana beliau menikah dan berputera tiga, yaitu Syekh Pekalangan yang pergi bertapa ke Segoro Kidul, Syekh Blacak Bilau yang pergi bertapa ke Laut Jawa, dan Syekh Panganti yang pergi mengembara kemana-mana.

Setelah lama mengembara, Syekh Penganti pulang ke Ngibig dan sesudah ayahnya wafat, beliau menggantikannya sebagai Syekh Wasibagno II. Beliau hanya berputera satu bernama Kyai Fakir Miskin oleh sebab senang memberi darma kapada setiap fakir miskin, memberi tongkat kepada orang buta, memberi makan kepada orang kelaparan, dan menjadi penyuluh bagi orang yang sedang kegelapan.

Setelah Syekh Wasibagno II wafat, Kyai Fakir Miskin menggantikan kedudukan ayahnya dan memakai gelar Syekh Wasi bagno III. Beliau berputra 2 orang, yaitu Ki Ageng Gribig yang diambil menantu oleh Sunan Giri dengan menikahi Raden Ayu Ledah. Sedangkan putera ke-2 tidak tercatat namanya namun diambil menantu oleh Batoro Katong Ponorogo.

Setelah Syekh Wasibagno III wafat, Ki Ageng Gribig menggantikan kedudukannya Syekh Wasibagno III namun beliau tidak mengganti nama, dan memiliki putera bernama Syekh Wasibagno Timur. Setelah ayahnya wafat, Syekh Wasibagno Timur ikut ibundanya di Wonosroyo, dekat Makam Sunan Giri. Setelah sang ibu meninggal, Syekh Wasibagno Timur mengembara hingga akhirnya membuka daerah baru dan tinggal di pedukuhan di Jatinom dengan menggunakan nama Ki Ageng Gribig II.

Kata Gribig berasal dari kata Daluri (sebagai penghormatan) keturunan Giri yang tinggal di Ngibig. Jika menurut versi di atas Ki Ageng Gribig ke II adalah keturunan ke lima Prabu Brawijaya, maka ada versi lain yang menyebut bahwa Kyai Ageng Gribig di Jatinom adalah keturunan ketiga dari raja Majapahit itu.

Versi ini menyebutkan bahwa putera Prabu Brawijaya yang bernama Kyai Ngujung Pawar-pawar mempunyai putera bernama Penganti Bagno yang diambil menantu oleh Sunan Giri. Penganti Bagno kemudian membuka pedesaan di Ngibig, sehingga kemudian beliau terkenal sebagai Kyai Ngibig. Kyai Ngibig berputera Syekh Wasibagno, yang adalah Ki Ageng Gribig di Jatinom.

Sumber lainnya lagi menyebutkan bahwa Ki Ageng Gribig di Jatinom adalah keturunan kedua sang Prabu Brawijaya dari puteranya yang bernama Joko Dolok. Menurut versi ini, setelah perang Majapahit yang berlangsung tahun 1478 s/d 1520, ada putera prabu Brawijaya yang melarikan diri dari keraton bernama Raden Pakukunan dengan adiknya yang baru berusia 5 tahun bernama Joko Dolog.

Sampailah mereka di Kedung Siwur, di daerah Magelang. Sejak kecil Joko Dolog suka sekali bertapa dan ketika bertapa di Sungai Progo - Kedu beliau bernama Syekh Blacak Ngilo, lalu menjadi Syekh Pakir Miskin. Bertapanya masih di teruskan sambil mengembara sampai di Jawa Timur. Kemudian beliau mengabdi kepada Sunan Giri hingga diambil menantu, dikawinkan dengan puterinya yang bernama Raden Ayu Ledah.

Selanjutnya beliau diminta membentuk sebuah desa di Ngibig, hingga dikenal sebagai Ki Ageng Gribig. Beliau mempunyai putera bernama Syekh Wasibagno, yaitu Ki Ageng Gribig di Jatinom. Ibu beliau dimakamkan di Wanasraya, di dekat Stasiun Miri, dekat Palur, Surakarta.

Bertemu Sultan Agung

Setelah sang Ibu wafat, Syekh Wasibagno Timur merasa resah dan tidak dapat tenang hatinya, hingga timbul hasratnya untuk bersemedi di makam Sunan Giri. Permohonannya terkabul dan mendapat bisikan untuk bertapa di hutan Merbabu di kaki Gunung Merapi.

Beliau lalu berjalan ke barat menyusur Gunung Merapi hingga tiba di hutan Merbabu dimana terdapat dua Pohon Jati, yang satu sudah tua dan yang satunya lagi masih muda. Ada yang menyebut bahwa kedatangan beliau di Merbabu membawa ular betina bernama Kyai Kasur dan seekor Singa betina bernama Nyai Kopek. Akhirnya beliau bertapa di bawah Pohon Jati itu. Setelah lama bersemedi, terlihat teja terang menjulang ke langit yang menjadi tanda terkabulnya permohonan beliau.

Pada saat itu Sultan Agung sedang merasa susah hatinya setelah mendengar berita bahwa raja Palembang akan memberontak terhadap Mataram. Untuk mendapat petunjuk dan pertolongan, maka pergilah Sultan Agung untuk menyepi dan bersemedi memohon kepada Yang Mahakuasa agar persoalan dengan Palembang bisa segera diselesaikan. Karena apabila terjadi peperangan tentu rakyat juga yang akan menderita.

Karena bersungguh-sungguh dalam semedinya, maka permohonan Sinuhun terkabul dan mendapat petunjuk untuk pergi ke Hutan Merbabu di lereng Gunung Merapi dimana beliau akan bertemu dengan seseorang yang akan dapat memadamkan pemberontakan di Palembang.

Ketika sedang menuju ke hutan Merbabu, dari jauh terlihat teja terang sehingga ke sanalah sang Prabu mengarahkan tujuan. Setelah dekat lenyaplah teja itu dan bertemulah sinuhun dengan Syekh Wasibagno. Singkat cerita Syekh Wasibagno menyanggupi untuk membantu, namun sinuhun juga harus datang ke Palembang. Sinuwun setuju dan berpesan agar jangan terjadi peperangan dan tidak sampai ada korban.

Versi lain menyebut bahwa adalah Syekh Wasibagno yang dipanggil ke Mataram untuk menghadap sinuhun. Beliau berangkat dari Ngibig bersama ibunya, ditemani dua abdi bernama Kyai Guntur dan Kyai Blebah. Dalam perjalana sang Ibu wafat dan dimakamkan di Wanasraya, Surakarta, dan Syekh Wasibagno meneruskan perjalanan untuk menghadap Sang Prabu.

Menaklukkan Palembang

Setelah bermufakat, maka berangkatlah Sinuhun dan Syekh Wasibagno ke Palembang tanpa diiringi abdi seorang pun. Agar tidak diketahui orang, sinuhun menyamar sebagai rakyat biasa. Setelah malam sebelumnya tiba di Palembang, ketika waktu sembahyang subuh tiba esok harinya, Syekh Wasibagno Timur yang mengalunkan suara adzan di masjid.

Suara adzannya ternyata tidak hanya didengar oleh orang-orang di sekitar masjid namun juga di sekitar Kota Palembang sehingga membuat kagum setiap orang yang mendengarnya oleh sebab belum pernah ada suara adzan yang sebaik itu. Orang-orang pun datang ke masjid untuk sholat subuh sambil ingin melihat orang yang suara adzannya sangat memikat itu.

Saking tertariknya, raja Palembang yang juga mendengar suara Adzan itu memberi titah agar supaya orang yang adzan itu dipanggil ke istana. Syekh Wasibagno yang memang bertujuan menarik perhatian sang raja pun datang menghadap ke istana setelah mendapat pesan dari sang prabu agar hati-hati dan waspada.

Di istana karena mengaku berasal dari Mataram, Syekh Wasibagno pun mendapat banyak pertanyaan dari raja Palembang yang ingin tahu bagaimana kekuatan Mataram yang sesungguhnya. Syekh Wasibagno menjawab setiap pertanyaan sang prabu, serta mengatakan bahwa setiap orang Mataram pasti mempunyai kesaktian yang jarang orang yang mampu mengimbanginya.

Mendengar perkataan Syekh Wasibagno Timur, timbulah keinginan sang raja untuk mengetahui kesaktian orang Mataram itu. Syekh Wasibagno Timur menyanggupi dan mengatakan agar saat shalat Jum’at sang Prabu datang ke masjid untuk menyaksikannya. Sang Raja pun hadir saat sholat Jum'at bersama para abdi dan para menteri.

Setelah shalat Jum'at, Syekh Wasibagno Timur segera mengeluarkan kesaktiannya dengan memiringkan surban di kepalanya dan orang-orang yang baru keluar dari masjid tiba-tiba seperti diputar-putar layaknya baling-baling. Sang raja yang merasa kasihan kepada rakyatnya akhirnya memerintahkan Syekh Wasibagno Timur agar segera menghentikan pertunjukan kesaktiannya itu.

Sang Prabu Palembang pun berkata terus terang, bahwa memang semula ia hendak memberontak terhadap Mataram, namun setelah melihat bahwa orang yang biasa saja demikian tinggi kesaktiannya maka niatnya itu hendak dibatalkannya. Sanga raja lalu membuat surat kepada Sinuhun Sultan Agung yang isinya menyatakan bahwa Palembang masih di dalam kekuasaan Mataram dan meminta maaf yang sebesar-besarnya karena telah sementara waktu tidak membayar upeti ke Mataram.

Surat itu kemudian disampaikan ke Sinuhun Sultan Agung yang membuat beliau merasa sangat gembira. Sumber lain menyebut bahwa di Palembang Syekh Wasibagno mendapat anugerah seorang puteri yang menjadi isterinya dan dua ekor gajah untuk Sinuhun Sultan Agung. Tak diceritakan apakah setelah membaca surat itu sinuhun menemui raja Palembang atau tidak, namun keduanya kemudian kembali ke Mataram.

Asal Usul Jatinom

Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Syekh Wasibagno dianugerahi puteri adik Sinuhun bernama Raden Ayu Emas sebagai isterinya. Beliau diminta memilih pangkat, namun hanya memohon diijinkan membentuk pedesaan di tempat beliau bertapa dan akan membuat masjid untuk mengajarkan agama Islam.

Desa yang mendengar suara beduk adalah seluas tanah yang beliau minta agar menjadi tanah perdikan. Setelah permohonannya dikabulkan, beliau berangkat bersama Raden Ayu Emas hingga sampai di bawah kedua pohon jati tempat beliau bertapa.

Selanjutnya beliau membentuk pedesaan, dan pohon jati itu ditebang untuk membuat rumah, masjid, bedug dan tabuhnya. Mungkin karena yang ditebang hanya pohon jati tua sedangkan yang muda dibiarkan hidup, maka desa itu kemudian dinamai Jati Anom, yang lama kelamaan disingkat menjadi Jatinom.

Ketika bedug dipukul terdengarlah suaranya sampai ke makam Ibunya di Wonosroyo sehingga dukuh itu menjadi bagian dari tanah perdikannya. Sejak membuat pedesaan di Jatinom yang berkembang menjadi tempat pengajian dan permukiman besar, Syekh Wasibagno Timur menggunakan nama Ki Ageng Gribig dan keturunannya memakai sebutan 'Punten, sapaan sinuhun ke beliau ketika pertama kali bertemu.

Masjid asli buatan Kyai Ageng Gribig yang dibuat dari jati berikut bedug dan tabuhnya adalah yang dinamakan masjid kecil, namun tinggal tabuhnya saja yang tahun 1800 masih ada di Masjid Solo. Lokasi pohon jatinya berada di dalam masjid di sudut tenggara.

Ki Ageng Gribig dan Pemberontakan Pangeran Mandurarejo

Ketika Mataram menyerang ke Betawi, bala-tentara sejumlah delapan jekas (8000) dipimpin langsung oleh adik Sultan Agung yang bernama Pangeran Mandurarejo. Namun penyerangan ke benteng-benteng Kompeni tidak berhasil karena banyaknya meriam yang ditembakkan dan berondongan senjata api ke arah pasukan Mataram.

Kumpeni yang hanya berjumlah 400 dan dipimpin J.P.Coen merasa cukup khawatir melihat bala tentara Mataram yang banyak jumlahnya, sehingga mencari akal untuk menemukan gudang-gudang perbekalan prajurit Mataram. Setelah ditemukan, dibakarlah berpikul-pikul beras, gula dan puluh lembu hingga habis semua. Kekuatan Mataram pun lumpuh.

Karena menderita kekalahan yang amat hebat dan semua anak buahnya kocar-kacir, Pangeran Mandurareja merasa malu dan tidak kembali ke Mataram namun pergi ke Kaliwungu, Semarang. Di Kaliwungu ia mengumpulkan orang-orang dan membuka latihan keprajuritan dengan niat memberontak ke Mataram. Semua upeti dari pantai utara Jawa ditahan olehnya dan tidak boleh dikirim ke Mataram.

Perihal niat buruk Pangeran Mandurareja itu akhirnya diketahui oleh sinuhun Sultan Agung setelah mendapat laporn dari patih kerajaan yang membuatnya merasa sangat berduka. Namun beliau tidak ingin gegabah mengambil keputusan untuk menyerbu Kaliwungu oleh sebab ingin terlebih dahulu meyakinkan kebenaran berita itu. Akhirnya diputuskan untuk menunggu sementara waktu.

Sang Prabu kemudian pergi ke Jatinom untuk menemui Ki Ageng Gribig yang saat itu sedang bersemedi di Gua mBelan. Setelah Sang Prabu menguraikan masalah yang dihadapi Mataram, Ki Ageng Gribig menyatakan kesanggupan untuk menyelesaikannya. Keduanya lalu meninggalkan gua dan sinuhun melihat masjid Jatinom yang kecil. Sang Prabu pun bersabda Agar Ki Ageng Gribig memberikan laporan ke Mataram, untuk membuat masjid yang lebih besar.

Untuk melaksanakan tugasnya, Ki Ageng Gribig menyamar sebagai seorang sakti bernama Kyai Jaki Jaya dan mendirikan perguruan di Desa Kemanten yang ada dekat Kaliwungu atau sebelah barat Semarang. Karena kesaktiannya itu maka banyaklah orang yang berguru kepadanya untuk mempelajari bermacam ilmu pengetahuan, yang semakin hari semakin bertambah banyak pengikutnya.

Karena tersohor dan menjadi pembicaraan orang banyak, Pangeran Mandurareja yang sedang melatih prajurit-prajuritnya menjadi tertarik, dan lalu mengutus seorang abdi untuk membawa Kyai Juki Jaya menghadap kepadanya. Pangeran Mandurareja pun berbincang dengan Kyai Jaki Jaya dan menanyakan berbagai hal, diantaranya dibicarakan juga niatnya yang hendak menguasai Jawa serta menaklukkan Sinuhun Mataram.

Setelah mendapat kepastian bahwa niat Sang Pangeran yang hendak memberontak ke Mataram bukanlah hanya kabar kosong, maka setelah pertemuan itu Kyai Jaki Jaya langsung meninggalkan padepokannya untuk pergi ke Mataram, namun murid-muridnya tidak tahu kemana perginya sang kyai. Setibanya di Mataram, beliau melaporkan hasil penyelidikaannya dari permulaan sampai akhir.

Kanjeng Sinuhun lalu mengutus Ki Ageng Gribig untuk kembali ke Kaliwungu sebagai utusan kerajaan dengan titah agar Pangeran Mandurarejo kembali ke Mataram dan kesalahannya akan diampuni, namun jika membangkang agar ditawan dan bila tetap tak mau menyerah agar ditamatkan riwayatnya.

Kyai Ageng Gribig lalu menghadap Sang Pangeran di Kaliwungu untuk menyampaikan titah sinuhun serta membujuk sang Pangeran agar bersedia mentaatinya. Namun Sang Pangeran menolak titah dan tetap pada pendiriannya, sehingga terjadilah perkelahian sengit dan saling mengadu kesaktian yang menurut catatan terjadi setelah tahun 1629.

Akhirnya Sang Pangeran kalah dan dipenggal, kepalanya dibawa ke Mataram dan dihaturkan ke Kanjeng Sinuhun Sultan Agung, badannya ditinggalkan di Kaliwungu. Sang Prabu tak tahan dan sangat berduka melihat kepala adik itu dan lalu bertitah untuk mengembalikannya ke Kaliwungu. Konon ketika Pangeran Mandurareja wafat, air sungai di sana terlihat berwarna ungu sehingga tempat itu kemudian disebut Kaliwungu. Badan beliau kemudian dimakamkan di Gunung Prewoto.

Yaqawiyu

Yang tidak pernah lepas dari ingatan saya tentang Jatinom adalah sebar apem sehabis Jumatan pada pertengahan Sapar, yaitu ritual Yaqawiyu. Konon sekembali dari Mekah, Ki Ageng Gribig tiba di Jatinom pada pertengahan Sapar, membawa roti gimbal dan segenggam tanah dari Arafah. Anak cucu dan tetangganya pun berkumpul, kebetulan malam Jumat, untuk mendapat wejang dan berkah.

Namun lantaran jumlahnya tak cukup jika dibagi satu per satu, roti gimbal yang telah dibuat jadi apem oleh Nyai Ageng Gribig itu lalu disebarkan, diperebutkan, sehabis salat Jumat keesokan harinya. Peristiwa itulah yang kemudian menjadi tradisi Yaqawiyu, diartikan Tuhan Mohon Kekuatan. Sedangkan tanah Arafah ditanam di 'pengimaman' Oro-oro Jatinom.

Petilasan Ki Ageng Gribig

Pada suatu malam purnama, Ki Ageng sedang bersemedi di oro-oro di sebelah barat Jatinom bersama para sahabatnya. Tiba-tiba terdengar suara amat dahsyat dan menakutkan yang datang dari arah Gunung Merapi, yang kemudian ternyata adalah banjir lahar dingin dari letusan Gunung Merapi.

Aliran lahar mengikuti Sungai Soka, yang jika terus berlangsung sudah pasti akan menyebabkan musnahnya Desa Jatinom. Atas usaha Ki Ageng, aliran banjir tidak bisa terus namun berbelok ke selatan memotong sungai. Tempat dimana banjir lahar dingin itu berbelok kemudian dikenal sebagai Banyu Malang, sedangkan Oro-oro tempat bersemedi atau bersujud Ki Ageng dinamakan Oro-Oro Tarwiyah dimana terdapat dua buah batu Pasujudan yang diletakan di dalam rumah kecil.

Di dekat masjid kecil Jatinom terdapat dua buah sumur, yang juga ada di dekat masjid besar. Sumur itu menuruti kehendak Kyai Ageng dipindahkan ke lereng Sungai Soka dan dikenal sebagai Sendang Suran yang artinya sur-suran. Menurut keyakinan orang, airnya bisa digunakan untuk mengobati segala penyakit manusia dan binatang piaraan.

Suatu ketika Ki Ageng Gribig kedatangan seseorang bernama Syekh Ibrahim yang berasal dari tanah Arab. Mereka mengadu adu ilmu dan terlibat dalam perdebatan. Setelah beberapa lama belum ada yang kalah, Syekh Ibrahim mengambil air sungai untuk berwudlu sedangkan Ki Ageng malah menciptakan sendang saat akan berwudlu.

Sekembali dari sungai, Syekh Ibrahim sangat terkejut karena di situ telah ada sendang yang sebelumnya tidak ada. Syekh Ibrahim akhirnya mengaku kalah dan selanjutnya ia menjadi sahabat Ki Ageng Gribig. Sendang itu kemudian dikenal sebagai Sendang Plampean yang biasa menjadi tempat mandi sebelum orang berziarah ke makam Ki Ageng Gribig.

Konon tempat sekitar Jatinom dulu sangat banyak dihuni lelembut, yang malam hari mengleuarkan macam suara-suara. Atas kehendak Ki Ageng, demit-demit itu pun dikumpulkan menjadi dalam satu sendang, yang sekarang disebut sebagai Sendang Teruwes. Ada pula Sendang Brubyah tempat beliau memberikan ilmu kepada murid-muridnya.

Petilasan yang juga sangat terkenal adalah Gua Belan, yang selain untuk bertapa juga untuk bersembahyang sehingga di dalam gua ada tempat untuk berwudlu. Untuk masuk gua itu orang harus jalan berlutut dan lebarnya cukup untuk satu orang. Di dalamnya ada ruang-ruang untuk ruang bersemedi dan bertapa. Karena pernah menjadi tempat pertemuan Ki Ageng dengan Sinuhun Sultan Agung dimana Ki Ageng sanggup membela sinuhun menghadapi Pangeran Mandurarja, maka lalu dinamakan Gua Belan.

Para Sahabat Ki Ageng Gribig

Dalam membangun dan membesarkan Jatinom serta untuk mengajarkan dan menyiarkan agama Islam, Ki Ageng dibantu oleh para sahabat-sahabatnya. Diantara sahabat beliau disebutkan di bawah ini.
  1. Kyai Ageng Sujud yang dimakamkan di sebelah oro-oro Tarwiyah, di lereng sungai. Makam itu bisa dibilang sangat ganjil, sebab letaknya di tebing jurang bagian tadah air besar. Karena menerjang arah makam, maka jalannya sungai berbelok ke selatan.
  2. Kyai Banyu Malang, makamnya di Desa Banyu Malang, tempat dimana Ki Ageng Gribig menahan banjir lahar dingin Gunung Merapi yang akan melanda Jatinom.
  3. Kyai Guntur Geni, makamnya di Desa Belan, dekat gua. Ketika buku kecil itu dibuat tahun 1953, makam itu masih angker. Jarang orang berani ke tempat itu di malam hari. Beliau turut berperang melawan Pangeran Mandurareja yang konon mempunyai aji-aji yang bisa menghangus tubuh jika dipandang. Namun ketika dipandang oleh Sang Pangeran ternyata tidak apa-apa, meskipun tubuhnya menyala dengan hebatnya. Maka mulai saat itu beliau disebut Kyai Guntur Geni.
  4. Kyai Jetak, dimakamkan di Kwaon. Dulu beliau adalah juru padangnya Kyai Ageng (tukang memasak nasi). Makamnya menjadi pemidangan (pelapas niat) pada tiap-tiap hari Jum’at kliwon pagi.
  5. Syekh Ibrahim, makamnya di dekat makam Kyai Ageng, di belakang Masjid Besar Jatinom. Berasal dari Tanah Arab namun tidak diterangkan asal kotanya.
  6. Kyai Bubah, dimakamkan di Desa Tangkilan, sebelah Timur Laut Jatinom.
  7. Kyai Padang Sari, dimakamkan di Desa Padangan, sebelah tenggara Jatinom.
  8. Kyai Setro Banyu, dimakamkan di Desa Probanyon Bonyokan, Jatinom.
  9. Kyai Surabayam dimakamkan Surabayan, Gedaren Jatinom
  10. Kyai Malang Samirang, dimakamkan di desa Padangan
  11. Kyai Perwita, dimakamkan di Desa Ngreden.
  12. Kyai Gambiran, dimakamkan di Gambiran. Beliau diambil menantu oleh Kyai Ageng, tetapi karena kesalahan ketika diperintah membuat Muqaddam yang menyebabkan kurang senangnya Kyai Ageng, maka setelah wafat dimakamkan tersendiri
  13. Kyai Sara Wedi, dimakamkan di Desa Sarawaden.
  14. Kyai Pabelan, dimakamkan di Desa Muntilan, Magelang.
  15. Kyai Sarifudin, dimakamkan di Gading Pesantren.

Keturunan Ki Ageng Gribig

Meskipun putera Kyai Ageng Gribig banyak namun yang diketahui silsilah hanyalah lima, yaitu 1.Puteri beliau yang menjadi isteri Kyai Gambiran; 2.Kyai Gribig yang keturunannya banyak menjadi Kyai di Jatinom; 3.Den Mas Sahid yang ibunya dari Pajang; 4.Kyai Tafsir Imam; dan 5.Ki Bagus Kentolingalas.

Pada suatu hari Ki Bagus Kentolingalas meminta waktu kepada ayahnya ketika hendak khotbah Jum’at di masjid. Namun setelah naik mimbar, beliau musnah tidak di ketahui ke mana perginya. Namun ada yang menyebut bahwa beliau tiba di Cirebon, tinggal di sana hingga wafatnya, dan dimakamkan di Cirebon.

makam ki ageng gribig jatinom klaten makam ki ageng gribig jatinom klaten makam ki ageng gribig jatinom klaten makam ki ageng gribig jatinom klaten makam ki ageng gribig jatinom klaten makam ki ageng gribig jatinom klaten makam ki ageng gribig jatinom klaten makam ki ageng gribig jatinom klaten makam ki ageng gribig jatinom klaten makam ki ageng gribig jatinom klaten makam ki ageng gribig jatinom klaten makam ki ageng gribig jatinom klaten

Sungguh menyegarkan jiwa menapak tilas ke tempat yang menjadi bagian ingatan masa kecil, meskipun sesaat. Lebih-lebih kami menemukan rumah salah seorang supir kawedanan yang sudah sangat sepuh. Meski rumahnya kosong karena ia di Jogja menghadiri wisuda anaknya, namun kakak sempat berbicara lewat handphone dari teras rumahnya. Kejutan menyenangkan.

Lokasi Makam Ki Ageng Gribig berada di Kecamatan Jatinom, Klaten, Jawa Tengah. Lokasi GPS : -7.6326522, 110.5942965, Waze. Jam buka : sepanjang waktu. Harga tiket masuk : gratis, sumbangan untuk kuncen diharapkan. Peta Wisata Klaten, Tempat Wisata di Klaten, Hotel di Klaten.
Label: Jatinom, Jawa Tengah, Klaten, Makam, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.

aroengbinang, seorang penyusur jalan.
Traktir BA secangkir kopi? Scan via 'Bayar' GoPay.