Petunjuk singkat tentang Situs Gedong Tlogopakis Petungkriyono Pekalongan serta perkiraan dimana lokasinya saya peroleh secara tak sengaja. Itu karena tatapan mata tertumbuk pada sebuah peta berisi denah lokasi tempat-tempat menarik di Kecamatan Petungkriyono. Denah itu berada di dekat pos loket penjualan karcis Curug Bajing.
Karena berada di satu desa dengan curug, maka kesempatan itu tak saya sia-siakan. Dari petugas loket saya ketahui bahwa kuncen Situs Gedong Tlogopakis Petungkriyono Pekalongan adalah suami ibu warung yang kami singgahi untuk makan mie rebus. Hanya saja ia sedang pergi.
Tak begitu lama menunggu, si bapak kuncen situs pun datang naik sepeda motornya. Namanya Kisno, masih cukup muda, mungkin akhir 30-an atau awal 40-an. Ia meminta kami berangkat mendahului dan menunggu setelah pertigaan, sementara ia pulang berganti baju sebelum menemani kami berkunjung ke Situs Gedong Tlogopakis Petungkriyono.
Wid di depan jalan masuk ke Situs Gedong yang terbuka, dengan pagar bilah bambu di kiri kanannya. Sebelumnya kami bertemu Kisno yang telah berpakaian rapi di sebuah pertigaan. Di dekat ujung kiri kanan pagar itu ada batu andesit dengan permukaan rata, dan di atas batu tergeletak beberapa buah mata uang logam lima ratusan rupiah.
Kami kemudian menuruni undakan dan lanjut melangkahkan kaki melewati jalan setapak dengan tanah cukup bersih selebar kurang dari satu meter. Jalanan kemudian sedikit menanjak dengan tatanan bebatuan lebar dipasang di jalan setapak dan tembok batu rendah di sisi kanan. Kisno mendahului melangkah beberapa meter di depan kami.
Area yang kami masuki tampaknya adalah merupakan kawasan hutan lindung yang meskipun sudah rajin dijamah oleh tangan manusia namun suasana alamnya masih sangat terasa. Tak ada gubug atau semacam itu di sepanjang jalan setapak yang kami lalui. Entahlah jika masuk lebih jauh lagi kedalamnya.
Batu lumpang peninggalan era megalitikum ini berada di area terbuka di tengah pepohonan hutan, beberapa meter di sebelah kiri jalur jalan setapak Situs Gedong Tlogopakis Petungkriyono Pekalongan. Warga menyebutnya sebagai klenteng. Lumpang itu ditutup batu datar. Airnya selalu ada, dan jika airnya penuh tanda pertanian bakal subur.
Di sekitar batu lumpang itu terdapat sejumlah batu kuno lain, diantaranya batu lumpang yang lebih kecil yang rompal separuh bagian atasnya. Ada pula satu batu cukup besar dengan permukaan datar segi empat seperti Dolmen (meja batu). Ada sisa bakaran dupa di dekat batu lumpang ini, semacam penghormatan bagi penunggu gaibnya, jika ada.
Perjalanan kami lanjutkan kembali, dan beberapa saat kemudian Kisno berbelok lagi untuk memperlihatkan sebuah batu berukuran sangat besar selebar dua meter, panjang hampir empat meter, dan tinggi lebih dari satu meter. Batu itu posisinya mendatar, dan mungkin dahulu digunakan sebagai batu pemujaan atau tempat meletakkan sesajian.
Kami melanjutkan perjalanan lagi dengan menembus lebih dalam ke arah tengah hutan, melintasi sebuah sungai kecil berbatu, dengan air tak kotor namun juga tak jernih. Menanjak melewati jalan yang berbatu yang terjal sampai akhirnya kami bertemu di area utama Situs Gedong.
Wid saya ambil fotonya saat berada di dekat tatanan tak beraturan dari sejumlah batu andesit lebar rata pipih yang susunannya dibentuk menyerupai pusara batu atau entah apa bentuk sebenarnya. Sebuah cangkir porselen terlihat diletakkan di atas batu yang juga digunakan sebagai alas untuk membakar dupa pemujaan. Tempat ini rupanya memang dikeramatkan orang.
Kisno menceritakan bahwa tempat ini dipercaya sebagai Pertapaan Kanjeng Sinuwun Bagus dari Gunung Jati, Cirebon. Orang yang punya keinginan datang ke tempat ini pada Selasa Kliwon. Konon dahulu kala di Telaga Indra hidup sepasang naga Baru Klinting. Ketika si betina hamil, ia mengidam dan meminta si jantan untuk merusak Desa Tlogopakis.
Namun naga jantan berhasil dibunuh oleh Sinuwun Bagus. Naga betima kemudian diusir dan pergi ke arah timur, mampir ke beberapa tempat seperti Nggarung, Candi, dan naik ke Gunung Sigudeg. Akhirnya ia melihat Telaga Mangunan dan merasa cocok, dan di sana ia melahirkan Den Bugel yang lalu tinggal di telaga bawah Gunung Rogojembangan.
Sampai suatu hari Naga Den Bugel bertanya pada ibunya tentang ayahnya, dan dijawab bahwa sang ayah telah dibunuh orang Tlogopakis. Naga Den Bugel pun memendam dendam kepada orang Tlogopakis, namun Kanjeng Bagus mengatakan kepadanya bahwa ia bisa membalas dendam kalau kayu serut yang disebarnya telah mati. Kayu itu hidup sampai sekarang.
Kisah yang mirip dongeng itu tentunya menyimpan pesan orang tua agar masyarakat Tlogopakis di Petungkriyono ini terus memelihara dan menjaga kawasan hutan dengan baik, agar bencana dan malapetaka tidak menimpa penduduknya. Nama Gedong pada situs, menurut Kisno, merujuk pada nama area dimana situs peninggalan megalitikum ini berada.
Karena berada di satu desa dengan curug, maka kesempatan itu tak saya sia-siakan. Dari petugas loket saya ketahui bahwa kuncen Situs Gedong Tlogopakis Petungkriyono Pekalongan adalah suami ibu warung yang kami singgahi untuk makan mie rebus. Hanya saja ia sedang pergi.
Tak begitu lama menunggu, si bapak kuncen situs pun datang naik sepeda motornya. Namanya Kisno, masih cukup muda, mungkin akhir 30-an atau awal 40-an. Ia meminta kami berangkat mendahului dan menunggu setelah pertigaan, sementara ia pulang berganti baju sebelum menemani kami berkunjung ke Situs Gedong Tlogopakis Petungkriyono.
Wid di depan jalan masuk ke Situs Gedong yang terbuka, dengan pagar bilah bambu di kiri kanannya. Sebelumnya kami bertemu Kisno yang telah berpakaian rapi di sebuah pertigaan. Di dekat ujung kiri kanan pagar itu ada batu andesit dengan permukaan rata, dan di atas batu tergeletak beberapa buah mata uang logam lima ratusan rupiah.
Kami kemudian menuruni undakan dan lanjut melangkahkan kaki melewati jalan setapak dengan tanah cukup bersih selebar kurang dari satu meter. Jalanan kemudian sedikit menanjak dengan tatanan bebatuan lebar dipasang di jalan setapak dan tembok batu rendah di sisi kanan. Kisno mendahului melangkah beberapa meter di depan kami.
Area yang kami masuki tampaknya adalah merupakan kawasan hutan lindung yang meskipun sudah rajin dijamah oleh tangan manusia namun suasana alamnya masih sangat terasa. Tak ada gubug atau semacam itu di sepanjang jalan setapak yang kami lalui. Entahlah jika masuk lebih jauh lagi kedalamnya.
Batu lumpang peninggalan era megalitikum ini berada di area terbuka di tengah pepohonan hutan, beberapa meter di sebelah kiri jalur jalan setapak Situs Gedong Tlogopakis Petungkriyono Pekalongan. Warga menyebutnya sebagai klenteng. Lumpang itu ditutup batu datar. Airnya selalu ada, dan jika airnya penuh tanda pertanian bakal subur.
Di sekitar batu lumpang itu terdapat sejumlah batu kuno lain, diantaranya batu lumpang yang lebih kecil yang rompal separuh bagian atasnya. Ada pula satu batu cukup besar dengan permukaan datar segi empat seperti Dolmen (meja batu). Ada sisa bakaran dupa di dekat batu lumpang ini, semacam penghormatan bagi penunggu gaibnya, jika ada.
Perjalanan kami lanjutkan kembali, dan beberapa saat kemudian Kisno berbelok lagi untuk memperlihatkan sebuah batu berukuran sangat besar selebar dua meter, panjang hampir empat meter, dan tinggi lebih dari satu meter. Batu itu posisinya mendatar, dan mungkin dahulu digunakan sebagai batu pemujaan atau tempat meletakkan sesajian.
Kami melanjutkan perjalanan lagi dengan menembus lebih dalam ke arah tengah hutan, melintasi sebuah sungai kecil berbatu, dengan air tak kotor namun juga tak jernih. Menanjak melewati jalan yang berbatu yang terjal sampai akhirnya kami bertemu di area utama Situs Gedong.
Wid saya ambil fotonya saat berada di dekat tatanan tak beraturan dari sejumlah batu andesit lebar rata pipih yang susunannya dibentuk menyerupai pusara batu atau entah apa bentuk sebenarnya. Sebuah cangkir porselen terlihat diletakkan di atas batu yang juga digunakan sebagai alas untuk membakar dupa pemujaan. Tempat ini rupanya memang dikeramatkan orang.
Kisno menceritakan bahwa tempat ini dipercaya sebagai Pertapaan Kanjeng Sinuwun Bagus dari Gunung Jati, Cirebon. Orang yang punya keinginan datang ke tempat ini pada Selasa Kliwon. Konon dahulu kala di Telaga Indra hidup sepasang naga Baru Klinting. Ketika si betina hamil, ia mengidam dan meminta si jantan untuk merusak Desa Tlogopakis.
Namun naga jantan berhasil dibunuh oleh Sinuwun Bagus. Naga betima kemudian diusir dan pergi ke arah timur, mampir ke beberapa tempat seperti Nggarung, Candi, dan naik ke Gunung Sigudeg. Akhirnya ia melihat Telaga Mangunan dan merasa cocok, dan di sana ia melahirkan Den Bugel yang lalu tinggal di telaga bawah Gunung Rogojembangan.
Sampai suatu hari Naga Den Bugel bertanya pada ibunya tentang ayahnya, dan dijawab bahwa sang ayah telah dibunuh orang Tlogopakis. Naga Den Bugel pun memendam dendam kepada orang Tlogopakis, namun Kanjeng Bagus mengatakan kepadanya bahwa ia bisa membalas dendam kalau kayu serut yang disebarnya telah mati. Kayu itu hidup sampai sekarang.
Kisah yang mirip dongeng itu tentunya menyimpan pesan orang tua agar masyarakat Tlogopakis di Petungkriyono ini terus memelihara dan menjaga kawasan hutan dengan baik, agar bencana dan malapetaka tidak menimpa penduduknya. Nama Gedong pada situs, menurut Kisno, merujuk pada nama area dimana situs peninggalan megalitikum ini berada.