Goa Selarong Bantul menjadi markas Pangeran Diponegoro dan pasukannya pada awal masa perang, setelah sang pangeran menyingkir dari kediamannya diikuti para pengikutnya, menyusul penyerbuan pasukan Belanda ke rumah tempat tinggalnya dan kemudian membakarnya tak bersisa. Goa Selarong yang bersejarah itu saya kunjungi beberapa saat selepas meninggalkan Situs Arca Nandi yang berada di Dusun Mangir, dengan menyusur jalan arah ke Timur Laut sejauh 8,4 km. Jika dari Yogyakarta, jarak ke Goa Selarong ini sekitar 15,6 km, arah ke Barat Daya.
Setelah sekitar 20 menit perjalanan, sampailah kami di sebuah pelataran luas di area depan Goa Selarong yang dipasang paving blok rapi, dimana terdapat loket penjualan karcis, beberapa buah bangunan terbuka, serta sebuah pohon beringin besar yang sangat rindang.
Pelataran parkir Goa Selarong Bantul Yogyakarta, dilihat dari arah dalam. Loket penjualan karcis tampak kerdil di bawah pohon beringin besar di tengah pelataran yang tampak sangat sepi siang itu. Setelah turun dari kendaraan, saya berjalan menuju ke ujung area parkir dimana terdapat Patung Pangeran Diponegoro, serta sebuah papan tegak berisi denah area.
Patung Pangeran Diponegoro yang mengenakan pakaian putih-putih, mungkin melambangkan kesucian perjuangannya, duduk di atas punggung seekor kuda hitam, bersebelahan dengan denah Goa Selarong itu. Pada denah terlihat bahwa diantara Goa Selarong dan area parkir terdapat bangunan pendopo, ruang pamer, dan diorama.
Goa Selarong sendiri terdiri dari Goa Kakung (pria) di sebelah kiri, dan Goa Putri di sebelah kanan. Di perbukitan di atas goa terdapat beberapa buah makam, gardu pandang, dan rumah batu. Di area sebelah kiri terdapat sungai, air terjun, area perkemahan, umpak, serta dua buah sendang, yaitu Sumber Pitu dan Sendang Manik Mulyo.
Sayang, saya tidak melihat secara seksama denah ini saat berkunjung, akibatnya beberapa tempat menjadi terlewatkan, tidak dikunjungi. Setelah berjalan beberapa puluh langkah lagi, kami sampai di area pelataran yang cukup luas, dimana ada undakan di sebelah kanan menuju ke atas perbukitan tempat Goa Selarong berada, dan di sebelah kiri terlihat ada aliran sungai, tempat dimana air terjun berada, serta jalan setapak menuju ke arah sendang.
Ketika bersiap mendaki ke atas menuju perbukitan Goa Selarong Bantul Yogyakarta, tampak dua orang anak muda tengah melangkah menuruni deretan anak tangga yang lumayan banyak. Semula saya kira mereka adalah pengunjung yang hendak meninggalkan lokasi Goa Selarong ini. Ternyata saya salah.
Kedua anak muda itu tengah melakukan latihan fisik. Setelah sampai di bawah mereka berbalik badan dan lalu mendaki puluhan anak tangga itu secara meloncat-loncat menggunakan sebelah kaki, kegiatan yang membuat saya tersenyum kecut. Jangankan sebelah kaki, menggunakan dua kaki pun saya masih sangat kerepotan, sekali jalan pula. Sedangkan mereka jelas lebih dari sekali.
Sesampainya di ujung atas undakan, sejenak saya melihat suasana alam sekitar dari atas ketinggian, seraya mengamati tebing padas yang tinggi memanjang, serta pelataran di depannya yang telah dibuat rapi. Saya hanya bisa membayangkan bagaimana kondisi semasa Pangeran Diponegoro bermarkas di sini, yang tentu tidak sebaik ketika saya berkunjung itu. Sesaat kemudian saya melangkah ke sebelah kanan.
Di ujung perbukitan sebelah kanan area Goa Selarong Bantul Yogyakarta ini terdapat Goa Putri, serta air terjun kecil di sebelah kanannya. Semasa perang, Goa Putri adalah tempat beristirahat Raden Ayu Ratnaningsih, istri Pangeran Diponegoro. Undakan yang melintas air terjun tampaknya mengarah ke gardu pandang, rumah batu dan makam, tempat-tempat yang tidak saya kunjungi lantaran tidak membaca denah dengan teliti. Terlihat bahwa area Goa Selarong ini telah dibuat dengan cukup baik, hanya memerlukan pemeliharaan saja.
Alkisah, pada 21 Juli 1825 pasukan Belanda dibawah pimpinan Asisten Residen Chevallier menyerbu rumah Pangeran Diponegoro di Desa Tegalrejo, namun sang pangeran berhasil lolos. Ia menyingkir ke Selarong yang diam-diam telah dipersiapkan untuk dijadikan markasnya.
Pangeran Diponegoro dianggap memberontak karena membuang patok-patok yang dipasang pemerintah kolonial untuk membuat Jalan Raya Magelang - Yogyakarta. Patok-patok yang dipasang di makam leluhur Pangeran Diponegoro di Desa Tegalrejo itu digantinya dengan tombak, setelah sebelumnya dibuang namun dipasang kembali oleh Belanda.
Kerabat keraton sejumlah tak kurang dari 77 orang serta para pengikutnya ikut bergabung di Selarong, diantaranya Pangeran Mangkubumi, Pangeran Adinegoro, Pangeran Panular, Adiwinoto Suryodipuro, Blitar, Kyai Mojo, Pangeran Ronggo, Ngabei Mangunharjo dan Pangeran Surenglogo.
Di Goa Selarong Pangeran Diponegoro menyusun strategi perang dan memerintahkan Jayamenggala, Bahuyuda dan Hanggawikrama untuk memobilisasi penduduk desa sekitar. Pada 31 Juli 1825 Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi mengirim surat ke Kedu agar masyarakat di sana bersiap berperang melawan Belanda.
Area di ujung sebelah kiri Goa Selarong dilihat dari dekat, dengan tebing padas tinggi dibalut puluhan atau bahkan ratusan akar-akar tua di bagian atasnya. Pagar besi di sebelah kanan membatasi Goa Kakung, yang menjadi markas Pangeran Diponegoro. Goa Kakung ini tidak terkunci pagarnya, namun kaki tidak tergerak untuk memasukinya. Mungkin karena ada rasa segan.
Beberapa batalyon dibentuk di Selarong dengan pakaian dan atribut berbeda, dipimpin Ngabei Jayakusumo, Pangeran Prabu Wiramenggala dan Sentot Prawiradirja. Kepemimpinan Selarong adalah Pangeran Diponegoro sebagai ketua, Pangeran Mangkubumi sebagai penasehat dan pengurus rumah tangga, Pangeran Hangabei Jayakusuma sebagai panglima pengatur siasat, Alibasah Sentot Prawiradirja sebagai penasehat di medan perang, dan Kyai Maja sebagai penasehat rohani.
Letnan Jenderal H.M. De Kock yang diangkat sebagai komisaris pemerintah kolonial Belanda untuk Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta berusaha mengajak Pangeran Diponegoro untuk berunding, namun ditolak. Pasukan Belanda pun menyerbu Selarong pada 25 Juli 1825 dipimpin Kapten Bouwes, namun gagal. Pada 7 Agustus 1825 Pasukan Diponegoro yang berkekuatan sekitar 6.000 orang menyerbu Yogyakarta, berhasil menguasainya namun tidak mendudukinya.
Belanda melakukan lagi serangan ke Selarong pada September 1825 dan 4 November 1825. Serangan terakhir Belanda itu membuat Pangeran Diponegoro memindahkan markasnya ke Dekso, terhitung sejak 4 November 1825 hingga 4 Agustus 1826. Kabarnya, setiap satu tahun sekali di bulan Juli diselenggarakan Grebeg Gua Selarong untuk memperingati pindahnya Pangeran Diponegoro ke tempat yang bersejarah ini.
Setelah beberapa saat berada di lereng bukit Goa Selarong Bantul Yogyakarta, saya pun berjalan menuruni undakan, dan setelah sampai di dasar tangga kemudian melanjutkan langkah menuju ke sendang. Cukup jauh juga kaki melangkah, sampai ada tanda di sebelah kanan jalan. Namun Sendang Manik Mulyo di kompleks Goa Selarong itu ternyata telah tidak ada, tertutup longsoran bukit yang runtuh beberapa waktu sebelumnya, yang sampai saat itu masih belum diperbaiki.
Sekali lagi sayang sekali bahwa saya tidak teliti melihat denah Goa Selarong Bantul Yogyakarta, sehingga umpak dan area perkemehan juga terlewatkan. Karenanya, jika anda berkunjung ke Goa Selarong, pastikan membaca dan mengingat-ingat denahnya dengan lebih baik. Ada baiknya, denah dengan ukuran lebih kecil juga dipasang di beberapa tempat, sehingga bisa menjadi pengingat bagi para pejalan.
Goa Selarong Bantul
Alamat : Dukuh Kembangputihan, Kecamatan Pajangan, Bantul, Yogyakarta. Lokasi GPS : -7.86352, 110.31618, Waze (parkir). Harga tiket masuk : Rp.2.500. Rujukan : Tempat Wisata di Bantul, Peta Wisata Bantul, Hotel di Yogyakarta.Label: Bantul, Gua, Wisata, Yogyakarta
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.