Sebenarnya tak tepat juga disebut sebagai sebuah kunjungan dalam arti sepenuhnya, oleh sebab diantara halaman belakang dan halaman Makam Dr Soetomo ada pagar pembatas yang ditutup oleh pintu berjeruji besi ram-raman pendek. Oleh sebab pintunya diselot dan terpasang gembok yang terkunci, sementara tak ada satu batang hidung penjaga pun yang terlihat, alhasil kami memandang jirat kubur Dr Soetomo dari jauh.
Hanya saja karena jarak dari pagar hingga ke cungkup makam hanya beberapa meter, lagipula cungkupnya sama sekali tak berdinding sehingga kami bisa melihat dengan jelas jirat kubur dimana jasad Dr Soetomo disemayamkan. Gerumbul pepohonan dan tanaman perdu di halaman makam juga belum tinggi, sehingga pandangan ke arah makan tak terganggu.
Patung sosok utuh Dr Soetomo dalam posisi berdiri di atas sebuah tugu menghadap ke arah jalan, berada di bagian depan pendopo Gedung Nasional Indonesia Surabaya. Di bawah kakinya ada torehan kata yang diambil dari kalimat yang pernah ia ucapkan. Dipasangnya patung Dr Soetomo di sana, dan hanya patungnya saja, bisa menjadi semacam pengakuan terhadap penting peran yang dijalankannya dalam perjuangan untuk mencapai kemerdekaan.
Di dalam dan di luar gedung setidaknya ada empat prasasti yang langsung maupun tidak terkait sosok Dr. Soetomo. Salah satunya menyebut bahwa Gedung Nasional Indonesia adalah tempat pusat pergerakan nasional Partai Indonesia Raya (Parindra) dibawah pimpinan dr. Soetomo. Tempat ini juga menjadi salah satu lokasi terjadinya pertempuran 10 November 1945 antara Arek-arek Suroboyo dan tentara Sekutu.
Tengara Makam Dr Soetomo Surabaya terlihat di ujung halaman belakang kompleks Gedung Nasional Indonesia yang bisa dibilang cukup luas dan diteduhi dengan rimbun pepohonan, membuat suasana di sana cukup nyaman, terbebas sementara dari terik matahari Surabaya yang menggigit kulit.
Menurut riwayat, Soetomo lahir di Desa Ngepeh, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk, pada tanggal 30 Juli 1888 dari pasangan R. Soewadji dan RA Soedarmi. Sejak kecil Soetomo diasuh nenek dan kakeknya di Ngepeh, karena ibunya harus mendampingi ayahnya yang bekerja sebagai pegawai negeri di Jombang. Karena dimanja kakeknya, Soetomo baru sekolah di Bangil ketika sudah berusia 8 tahun dan ikut R Hardjodipuro, pamannya. Bagusnya, di sekolah dasar Soetomo selalu di peringkat teratas, dan pada 1903 ia masuk Stovia di Jakarta.
Paving blok yang menuju ke arah cungkup Makam Dr Soetomo Surabaya terlihat masih rapih dan bersih. Demikian pula taman kecil yang berada di sisi kiri kanan jalan masuk juga terlihat subur dan terawat, membuat suasana di sana tampak asri. Boleh jadi ada tukang kebun yang memang ditugaskan secara khusus untuk merawat makam ini agar selalu dalam keadaan bersih dan terjaga.
Pada 20 Mei 1908, dr. Soetomo mendirikan Boedi Oetomo bersama dengan dr. Wahidin Sudirohusodo, dr. Radjiman Wedyodiningrat, dr. Soeradji Tirtonegoro, dr. M Soelaiman, dr. R Tirtokusumo, dr. M Goembrek, dr. Angka Prodjosoedirdjo, dr. Moch Saleh, dr. Gunawan Mangunkusumo, dr. Cipto Mangunkusumo, dr. M Soewarno dan dr Gondo Soewarno.
Oleh teman-temannya, dr. Soetomo dipercaya menjadi ketua Boedi Oetomo. Tanggal berdirinya perkumpulan Boedi Oetomo ini kemudian ditetapkan pemerintah sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Boedi Oetomo menyelenggarakan Konggres I di Yogyakarta pada 3-5 Oktober 1908. Setahun kemudian anggotanya telah mencapai jumlah hingga 10.000 orang.
Pandangan lebih dekat pada jirat kubur yang berada dalam cungkup Makam Dr Soetomo Surabaya. Hanya ada satu makam di sana oleh sebab isterinya yang bernama Everdina Broering, seorang perawat keturunan Belanda, meninggal di Malang pada 13 Februari 1934 setelah menderita sakit dan dikubur di pemakaman Kembang Kuning Surabaya. Dr Soetomo sendiri wafat pada 30 Mei 1938 dalam usia 49 tahun, setelah menderita sakit sekitar dua tahun. Pemakamannya di belakang GNI dihadiri ribuan pelayat yang ingin memberikan penghormatan terakhir.
Soetomo menyelesaikan pendidikan kedokterannya di Stovia Jakarta (kini menjadi Museum Kabangkitan Nasional) pada 1911 dan bertugas berturut-turut di Semarang, Batavia, Lubuk Pakam, Kepanjen Malang, Magetan, Baturaja, dan pada 1917 dipindahkan ke Blora dimana ia menikah dengan Evardina Johanna Broering, seorang perawat berkebangsaan Belanda.
Pada 1919 dr. Soetomo mendapat tugas belajar di Universitas Amsterdam, dan di sana menjadi ketua Perhimpunan Indonesia. Setelah mendapat Diploma Europeech Aertsen pada 1923, Dr Soetomo bekerja pada Prof. Mendes da Costa di Amsterdam, lalu menjadi asisten Ilmu Dermatologi Prof. Dr. Unma di Hamburg, dan memperdalam penyakit kulit dan kelamin pada Prof. Plaut di Weenen Paris, sebelum pulang dan tinggal di Surabaya.
Pada 11 Juli 1924, Dr. Soetomo mendirikan Pandu Bangsa Indonesia (Indonesische Studie Club). PBI dan Boedi Oetomo bergabung membentuk Parindra pada 1935. Kongres berlangsung pada 15 Mei 1937 dimana Dr. Soetomo terpilih sebagai ketuanya. Pada 27 Desember 1961, Dr. Soetomo ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui SK. Presiden RI No. 657.
Di sebelah kanan area Makam Dr Soetomo Surabaya terdapat kantor Majalah Penjebar Semangat, sebuah majalah berbahasa Jawa yang didirikan oleh Dokter Soetomo dan terbit pertama kali pada 2 September 1933. Majalah mingguan ini digunakan Dr. Soetomo sebagai media komunikasi dan pendidikan politik serta untuk menyebarkan semangat nasionalisme di kalangan masyarakat luas.
Makam Dr Soetomo Surabaya
Alamat : Jl. Bubutan 87, Surabaya. Lokasi GPS : -7.25066, 112.73514, Waze. Rujukan : Hotel di Surabaya, Tempat Wisata di Surabaya, Peta Wisata SurabayaLabel: Jawa Timur, Makam, Surabaya, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.