Ada kepercayaan bahwa jika bertapa di bawah Wringin Sepuh dan jatuh dua lembar daun, satu telungkup dan satu telentang, maka akan terkabul doanya. Mungkin ini sebenarnya adalah perlambang, bahwa siapa pun yang bekerja keras dari telentang sampai telungkup memohon petunjuk maka usahanya pasti akan membuahkan hasil. Suasana masih sepi ketika saya melangkah menuju gerbang masuk berbentuk paduraksa dari batu bata merah, melewati deretan rumah di kiri kanan. Tidak ada penjaga, mungkin karena hari itu kompleks Makam dan Masjid tidak dibuka, dan itu baru saya ketahui belakangan.
Di bagian depan gapura ada tembok berbentuk L dengan pahatan lambang kerajaan. Gapura paduraksa dan tembok L itu merupakan bentuk apresiasi Sultan Agung kepada pemeluk agama Hindu dan Budha yang ikut ambil bagian dalam membangun masjid. Di belakang gapura terdapat tembok kelir dengan panjang 5,7 m dan tinggi 2,5 m, yang berfungsi sebagai penghalang pandangan dari luar ke arah masjid.
Di balik gapura terdapat halaman luas, diteduhi dengan cukup banyak pepohonan, dan menghadap gapura atau ke ke Timur adalah bagian depan Masjid Besar Mataram Kotagede yang dikelelilingi tembok putih rendah, dengan gapura serta pagar bercat hijau terbuat dari kayu jati. Pada kayu terdapat ukiran kaligrafi Arab berbentuk bulan sabit di dalam lingkaran, diapit dua buah kaligrafi lainnya di kiri-kanan berbentuk segitiga dengan dengan dasar rata dan salah satu sisi mengikuti bentuk lingkaran.
Di bawah kaligrafi terdapat ukiran angka tahun, yaitu 1856 dan 1926. Angka 1856 merupakan tahun dimana dilakukan penambahan emperan dan pewudhon, serta pengantian atap sirap dengan genteng. Sedangkan angka 1926 merupakan tahun dibangunnya pagar masjid, serta tugu ketika Kasunanan Surakarta diperintah oleh Pakubuwono X. Masjid Besar Mataram, atau Masjid Gede Mataram, semula merupakan sebuah langgar yang di bangun Ki Gede Pemanahan, ayah Penembahan Senopati.
Pada 1587, tiga tahun setelah Ki Gede meninggal (ada yang menyebut ia meninggal tahun 1575), Penembahan Senopati mengembangkannya menjadi sebuah masjid dengan kerangka bangunan seluruhnya dari kayu jati, ditopang empat buah saka guru berukuran 0,3 x 0,3 x 5 m, serta membuat liwan (ruang utama masjid) dan mihrab. Setelah Perjanjian Giyanti pada 1755, sebagian wilayah Kotagede berada dibawah Kasunanan Surakarta dan sebagian lagi dibawah Kasultanan Yogyakarta. Pada 1796, Kasunanan Surakarta melakukan perluasan serambi Masjid Besar Mataram, dan pada 1867 dilakukan perbaikan lagi setelah terjadi gempa hebat.
Tugu menyerupai candi di halaman depan Masjid Besar Mataram Kotagede yang dibangun pada 1926 oleh Pakubuwono X, dengan jam di dalam dan di luar pada sisi yang berbeda. Saya melangkah ke sisi utara masjid dimana terdapat jalan masuk ke serambi yang tidak terkunci, melewati pawudhon di sebelah kanan. Satu pawudhon lagi ada di sisi selatan masjid. Di sisi Utara ini juga terdapat sebuah gapura paduraksa dengan puncak dan sayap utuh terbuat dari batu kapur. Ada satu lagi gapura di sisi selatan dengan lima buah anak tangga menuju ke kompleks makam.
Di serambi Masjid Besar Mataram Kotagede ada bedug besar yang panjangnya 184 dan diameter 85 cm, serta sebuah kentongan menggantung di sampingnya yang berukuran 114 cm dan diameter 40 cm. Bedug ini adalah hadiah dari Nyai Pringgit dari Desa Dondong, Kabupaten Kulon Progo, sehingga keturunan Nyai Pringgit diberi hak oleh keraton untuk menempati wilayah sekitar masjid yang kemudian disebut Dondongan.
Serambi Masjid Besar Mataram Kotagede yang berukuran 20 × 12 m, terlihat indah dan anggun ditopang oleh 26 buah tiang kayu Jati. Di sekeliling serambi ini terdapat jagang atau kolam air sedalam 60 cm dan lebar 185 cm yang dulunya digunakan untuk bersuci sebelum naik ke serambi. Sebuah lampu antik berukuran bear menggantung di bagian tengah serambi, dengan lampu gantung yang lebih kecil diletakkan di beberapa titik lainnya.
Bagian atas pintu Masjid Besar Mataram Kotagede dihias kaligrafi pada blandar kayu jatinya, dan huruf Jawa pada bagian tengah yang berbunyi "kamulyaaken tahun Ehe ngademken cipto swaraning jalmi".
Ketiga pintu masuk ke ruangan utama Masjid Besar Mataram ini terkunci, sehingga saya tidak bisa melihat bagian dalam masjid, sedangkan waktu sholat dzuhur masih jauh. Setelah berjalan mondar-mandir di sekitar serambi, dan sejenak duduk merasakan dinginnya lantai masjid, saya pun melangkah keluar melewati pintu yang sama ketika masuk.
Bagian kemuncak pada atap atas Masjid Besar Mataram Kotagede dengan mahkota menyerupai lambang kerajaan yang disebut pataka. Atap bangunan Masjid Besar Mataram ini bertingkat dua, dengan atap tingkat bawah berbentuk limasan yang terpotong atasnya. Jika masjid dilihat dari pojok di sisi Timur Laut maka akan terlihat menara pengeras suara di sisi Utara .
Pada 1997, dilakukan pemasangan teraso pada liwan. Kemudian pada 2002 dilakukan renovasi besar dengan memasang marmer Italia di liwan dan pawestren, pelapisan dinding jagang (kolam air yang mengelilingi serambi) dengan terakota, penggantian dinding dan alas bak wudhu, serta perbaikan gapura dan dinding pagar masjid. Sedangkan menara pengeras suara Masjid Besar Mataram dibangun pada 2003.
Masjid Besar Mataram Kotagede memang tidak semegah Masjid Istiqlal, atau Masjid Agung Jawa Tengah di Semarang, namun nama "Mataram" dan lokasinya yang berada di kompleks makam pendiri Mataram membuat masjid ini menjadi sangat istimewa dan memiliki perbawa yang tidak dimiliki oleh masjid-masjid modern itu.
Masjid Besar Mataram Kotagede Yogyakarta
Alamat : Desa Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Kebupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi GPS : -7.829461, 110.3983812, Waze. Rujukan : Tempat Wisata di Bantul, Peta Wisata Bantul, Hotel di Yogyakarta.Label: Bantul, Masjid, Wisata, Yogyakarta
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.