Ternyata tak perlu menunggu lama, sebuah tawaran tumpangan dari pengendara APV yang hendak pulang ke Pare-pare disambut baik dengan membayar ongkos sejumlah ongkos angkutan umum resmi.
Dari jalan poros Rantepao - Makale, kami melanjutkan berjalan kaki kurang lebih 600m untuk sampai di kawasan wisata Lemo. Jika ingin cepat bisa naik ojek yang mangkal di depan gerbang, sayangnya saat kami turun dari kendaraan hanya menemukan sebuah penanda bahwa di gerbang tersebut ada ojek ;)
Sebuah papan penanda situs Lemo sebagai kawasan cagar budaya yang tampak miring ke kiri tanpa ada niat untuk menegakkannya
Sejauh mata memandang yang tampak adalah bukit sambung menyambung dengan latar depan persawahan warga. Gambar diambil dari atas bukit Lemo (dok. koleksi Chandra Christianti)
Pemandangan khas sebuah perkampungan mulai terasa, sawah di kiri kanan, hutan bambu, satu dua rumah warga serta suara khas binatang penggeret yang bersahutan dari balik pepohonan. Di tengah jalan kami berpapasan dengan seorang pejalan yang membawa backpack di punggung dan sempat mengurungkan langkah saat berpapasan dengan orang gila. Dengan berjalan santai, sekitar 20 menit kemudian kami mencapai pos kecil untuk membayar tiket masuk kawasan wisata.
Gerai-gerai penjual sovenir khas Toraja tampak berjejer di dekat pintu masuk menawarkan beragam buah tangan yang bisa dibeli dengan harga miring. Tentunya dengan menggunakan jurus tawar menawar handal, barang yang diincar bakal bisa didapatkan dengan harga yang asik di dompet ;).
Lemo (bahasa Toraja) artinya jeruk, adalah salah satu destinasi wisata Toraja berupa deretan liang batu yang tedapat di dinding cadas tempat penyimpanan jenazah. Disebut lemo karena bukit yang dipenuhi liang-liang itu sepintas mirip dengan buah jeruk. Kawasan pemakaman ini telah berusia ratusan tahun dan diperkirakan sudah ada sekitar abad ke-16 sebagai tempat pemakaman kepala-kepala suku Toraja.
Tau-tau berjejer di atas bukit dengan liang lahat di sisi atas dan bawahnya
Tau-tau sebagai souvenir khas Toraja yang dipajang di salah satu gerai di kawasan wisata Lemo, Toraja (dok. Chandra Christianti)
Puluhan tau-tau (=patung replika dari yang meninggal) berdiri rapi di depan liang seakan menyapa menyambut para tamu yang berkunjung ke Lemo. Ada makna filosofi yang bisa diambil dari keunikan tau-tau ini, posisi tangan kanan mereka menghadap ke atas sedang yang kiri ke bawah. Telapak tangan ke atas berarti meminta sedang ke bawah artinya memberkati.
Posisi tangan ini menandakan hubungan timbal balik antara yang hidup dan yang mati. Si mati memerlukan bantuan dari keturunannya yang masih hidup untuk mencapai puya (=nirwana) melalui upacara adat sedang yang hidup berharap berkat yang ditinggalkan si mati tetap menyertai kehidupan anak cucunya.
Tiga buah rumah tongkonan (=rumah adat Toraja) di Lemo, lapuk dimakan usia yang memerlukan perhatian pemerintah dan pengelola kawasan wisata setempat (dok. Chandra Christianti)
Puas memandangi liang dan tau-taunya, kami berjalan mengitari bukit melalui jalan setapak melewati beberapa kuburan lain yang ada di sekitarnya untuk mencapai rumah pengrajin tau-tau. Setelah mengaso sebentar menikmati angin pegunungan sembari bercengkerama dengan warga setempat, kami pun pamit beranjak menuruni bukit. Sama seperti saat datang, kami kembali mengayun langkah dengan riang ke jalan utama melanjutkan perjalanan ke Londa.
Sedikit tips jika ingin menikmati paparan matahari yang jatuh di liang-liang batu, berkunjunglah pada pagi hari saat matahari belum tinggi.
Kuburan Batu Lemo
Alamat: Jl Poros Makale - Rantepao, Kecamatan Makale Utara, Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Lokasi GPS: -3.040797, 119.876891 (est.). Angkot Rantepao - Lemo Rp 3.000, Ojek menuju lokasi Rp 5.000. Harga tiket masuk Rp 5.000/orang, wisman Rp 10.000. Rujukan : Hotel di Toraja, Tempat Wisata di Toraja.Label: Makam, Olyvia Bendon, Sulawesi Selatan, Tana Toraja, Toraja
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.