Perjalanan menuju Tana Beru membutuhkan waktu tempuh sekitar empat hingga lima jam dari Kota Makassar, kami melewati Kota Bulukumba kota yang resik dan bersih. Adapun hari itu kami bermalam di Tanjung Bira, sekitar 90 menit perjalanan dari Bulukumba. Sepanjang perjalanan melintasi Sulawesi Selatan, menurut penglihatan saya Bulukumba adalah kota terbersih di Sulawesi Selatan. Perkampungan nelayan dan melewati pesisir pantai yang sepi, hanya ada beberapa kapal nelayan bersandar di tepian pantainya. Dari Bulukumba untuk tiba di Tana Beru sekitar 30 menit. Sekitar pukul 3 sore kami sampai di Tana Beru, disuguhi langit yang bersih, dengan sedikit awan yang menyibak cakrawala.
Akhirnya kami tiba perkampungan pembuatan Kapal Pinisi di pesisir pantai Tana Beru, bus yang kami tumpangi menepi di jalanan beraspal. Lalu berjalan kaki sekitar 1 kilometer, melewati rumah panggung ciri khas rumah adat Sulawesi Selatan. Ada hal yang menarik perhatian ketika melewati sebuah rumah panggung, di mana air mengucur deras dari lantai kayunya. Rupanya di bagian tersebut penghuni rumah sedang melakukan aktifitas di kamar mandi, dan celah kayu di bagian bawah rumah menumpahkan air sabun airpun tergenang di halaman rumah karena tidak ada saluran pembuangan air.
Dari kejauhan kami melihat Kapal Pinisi yang belum sepenuhnya selesai diapungkan di laut, serat. kayu yang masih asli tanpa sentuhan apa-apa. Cukup mencengangkan, untuk pembuatan satu Kapal Pinisi memerlukan waktu antara 6 hingga 12 bulan. Hampir 80 persen Kapal Pinisi dikerjakan dengan cara tradisional oleh tangan-tangan terampil dengan alat yang sederhana. Pengetahuan membuat Kapal Pinisi para perajin hampir sepenuhnya dari pengalaman yang mereka peroleh dari pendahulunya. Baik itu tehnik pembuatan maupun dalam cara memilih kayu yang pantas dan cocok untuk Kapal Pinisi.
Menurut seorang warga yang rumahnya berdekatan dengan pembuatan Kapal Pinisi, untuk memulai pembuatan kapal biasanya diadakan semacam ritual yang wajib mereka jalankan yang sudah berjalan secara turun-temurun. Ritual ditandai dengan memotong bagian perahu yang disebut “lunas”. Saya sendiri kurang paham mengapa disebut lunas. Sesajen ayam putih disembelih dan suguhan kue manis. Berharap agar kapal yang mereka buat mendatangkan keberuntungan dan dilindungi dari mara bahaya. Pembuatan kapal dilakukan bertahap, dan bagian rangkanya seperti tulang-tulang kapal yang berguna untuk memperkokoh Kapal Pinisi.
Sayapun melihat dari dekat pembuatan Kapal Pinisi, tentunya dengan seizin pemiliknya. Rangka Kapal Pinisi keseluruhan terbuat dari bahan baku kayu, adapun kayu yang dipilih adalah jenis kayu ulin dan kayu besi, dikarenakan jenis kayu tersebut berat dan awet. Namun beberapa kurun waktu ini, pengrajin Kapal Pinisi di Tana Beru agak kesulitan untuk mendapatkan bahan baku kayu yang dipakai untuk pembuatan Kapal Pinisi. Terkadang mendatangkan kayu dari Sulawesi Tenggara. Kapal ini berukuran panjang 12 meter dengan ketinggian sekitar 3 meter, mereka lakukan hanya dengan 4 orang pengrajin dua diantaranya masih usia muda namun sepintas saya lihat sangat piawai.
Kapal yang sedang dibuat ini, rupanya sudah ada pembeli yaitu warga negera Amerika. Makin gencar saya bertanya ternyata kapal ini diperuntukkan kapal sewaan yang nantinya akan didesain menjadi kapal pesiar mewah beroperasi di sekitar Labuan Bajo. Ketika ditanya harganya, cukup fantastik juga yaitu 1.3 milyar rupiah dengan kondisi tanpa interior dan warna asli kayu. Menurut mereka, pembeli yang nantinya menyelesaikan finishingnya dengan interiornya hingga menjadi kapal pesiar yang mewah. Dan pemesan terbanyak datang dari negara di Eropa, sebagian kecil di Asia dan pembeli lokal.
Kayu ngelondongan yang belum dibentuk sesuai dengan kebutuhan, menumpuk di sisi rangka Kapal Pinisi. Menurut catatan sejarah yang saya baca, Kapal Pinisi sudah ada sejak abad ke 14 dan hingga saat ini masih bertahan. Pembuatan Kapal Pinisi di Tanah Beru rupanya beberapa diantaranya tidak berdasarkan pesanan, para pengrajin terlebih dahulu membuat rangka utama baru setelah ada pemesanan disesuaikan. Kesohoran Kapal Pinisi sudah mendunia dan ketangguhannya tidak perlu diragukan lagi.
Pesisir pantai di Tanah Beru tempat Kapal Pinisi yang saja dibuat bersandar, ada sisi yang menyedihkan yang harus saya ungkap. Betapa terkejutnya kami melihat limbah plastik berserakan di sepanjang pesisir pantai! Botol bekas air mineral dan plastik bekas kemasan membuat ragu melangkahkan kaki di pesisir pantai. Kondisi seperti ini patut ditindaki dengan serius, pikiran saya agak bercabang melihat situasi seperti ini. Sebuah tempat berpotensi sebagai industri perkapalan yang melegenda setidaknya dengan menginformasikan kondisi ini saya memberikan info kepada pembaca, siapa tahu ada yang tergugah untuk membuat gerakan membersihkan pesisir pantai di Tanah Beru, tentunya saya siap terlibat.
Kapal Pinisi yang kelak dipoles menjadi kapal pesiar, bersandar di tepi pantai Tanah Beru. Pada awalnya zaman dulu kala pelaut leluhur Suku Bugis membuat Kapal Pinisi mengoperasikan mengandalkan angin sebagai pendorong laju perahu. Karenanya, perahu Pinisi dahulu menggunakan layar terkembang. Seiring dengan berkembangnya peradaban, Kapal Pinisi kini menggunakan mesin sebagai tenaga pendorongnya. Disesuaikan dengan kondisi masa kini dan peruntukannya, Kapal Pinisi mampu menampung beban lebih dari 30 ton menurut salah satu pengrajin yang saya ajak berbincang.
Indonesia negara yang kaya dengan lautnya, begitupun Suku Bugis yang meninggalkan ilmu dan perabadan membuat Kapal Pinisi, salah satu kebanggaan Indonesia. Tanah Beru yang terletak di Kabupaten Bulukumba daerah yang dilalui pesisir pantai dengan perkampungan nelayan yang mencerminkan tipikal tempat di Indonesia. Dan pembuatan Kapal Pinisi di Tanah Beru bukan sekedar melanjutkan tradisi pemdahulu, namun mampu mendrongkrak tarap hidup masyarakat setempat sebagai ekonomi kerakyatan.
Harapan saya tidaklah muluk, semoga masyarakat sekitar Tanah Beru sadar akan potensi bahari yang Tuhan berikan selain industri pembuatan Kapal Pinisinya. Diberikan kekayaaan alam yang berlimpah hasil laut yang memberikan kehidupan dan keahlian membuat Kapal Pinisi, diimbangi dengan kesadaran lingkungan menjaga dan memelihara pantai dengan tidak membuang sampah semena-mena di pesisirnya. Kapal Pinisi kini bukanlah laut biasa untuk para pegadang dan nelayan, namun Kapal Pinisi menjelma menjadi transportasi mewah, seperti rumah terapung serba lengkap di lautan lepas. Jayalah Indonesiaku!
Pembuatan Kapal Pinisi
Kelurahan Tana Beru, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan.Label: Bulukumba, Pinisi, Sulawesi Selatan, Tana Beru, Vinny Soemantri
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.