Lokasi Pura Tirta Empul Gianyar berada cukup jauh dari tempat parkir kendaraan, dan hujan gerimis rapat telah turun ketika kami tiba di parkiran yang cukup luas. Beruntung tersedia cukup banyak payung yang bisa disewa dari anak-anak mangkal di tempat parkir, sehingga tidak perlu berhujan-hujan untuk sampai ke lokasi yang kami tuju. Ada arca di puncak candi kecil dekat tempat parkir Pura Tirta Empul Gianyar. Arca pria itu berdiri dengan posisi kaki sedikit menekuk, tangan kanan di depan dada, dan telapak tangan kiri menghadap ke atas menyangga kendi. Kepala arca mengenakan makuta. Mungkin arca ini adalah Dewa Wisnu yang tengah memegang Tirta Amrta, air kehidupan.
Setelah berjalan menyusuri jalan setapak selama beberapa saat, akhirnya kami melewati sebuah gapura candi bentar dan memasuki sebuah tanah lapang luas dengan pendopo cukup besar berada di sisi sebelah kanan. Ada banyak orang yang berteduh di pendopo, menunggu hujan gerimis reda. Namun ternyata ada banyak pula yang berada di kolam.
Halaman luas dengan bale besar ini berada di area tepat sebelum masuk ke lokasi kolam Pura Tirta Empul Gianyar. Candi bentar sebagai gerbang masuk, yang diapit oleh dua pelinggih, tampak berada di ujung halaman. Di sebelah kiri halaman ini terdapat sebuah Kori Agung yang sangat indah dengan latar belakang Istana Kepresidenan Tampaksiring.
Sepasang raksasa bermahkota di kepalanya terlihat berjaga di depan pintu berukir halus dengan sapuan warna keemasan, dan bagian atas pintu terdapat ukiran Kala dengan kedua taring mencuat ke atas. Berbeda dengan kebanyakan Kala, pada Kala di Kori Agung Pura Tirta Empul Gianyar ini terdapat sepasang tangan dengan jari terkembang.
Di ujung halaman terdapat prasasti dengan huruf latin dan Bali, berisi tata cara kunjung ke tempat suci ini. Dibalik dinding terdapat kolam persegi panjang dengan deret pancuran tempat orang melukat, atau membersihkan diri secara spiritual. Terdapat dua kolam di Pura Tirta Empul, dengan 30 buah pancuran menghadap ke Selatan.
Pada kolam Pura Tirta Empul Gianyar yang berada di sebelah kiri terlihat orang-orang masih sibuk membersihkan diri di pancuran air bening cukup deras. Masing-masing pancuran ini memiliki nama. Di kolam sebelah kanan saya melihat beberapa pengunjung tengah merapatkan kedua tangannya di atas kepala, menyembah dan merapal doa.
Kompleks Pura Tirta Empul Gianyar diperkirakan berdiri tahun 960 M semasa Chandra Bhayasingha, raja keempat Wangsa Warmadewa yang berkuasa di Pulau Bali pada abad ke 10-11. Pendirinya adalah Sri Kesari Warmadewa, yang disebut dalam prasasti Blanjong di Sanur. Airlangga, Raja Kahuripan, adalah keturunan ke-8 wangsa ini.
Di pinggir kolam yang jernih dan berlimpah airnya ada anak laki-laki dan keluarganya duduk, khusuk mengkupkan kedua tangan di atas kepala, memusatkan pikir, rasa dan jiwa untuk berdoa kepada Hyang Widi Wasa. Hujan mengguyur tidak menyurutkan orang menunggu giliran untuk melukat. Air dari Pura Tirta Empul ini mengalir ke Sungai Pakerisan.
Halaman Pura Tirta Empul Gianyar memiliki sejumlah anak tangga cukup tinggi menuju Istana Tampaksiring, namun pagar besinya terkunci. Boleh jadi pintunya dibuka jika ada tamu penting datang atau menginap di Istana. Bisa dimengerti karena alasan keamanan maka tak sembarang orang bisa melewati akses jalan tembus ke istana dan atau ke pura.
Alkisah lebih dari seribu tahun lalu hidup seorang raja jahat sakti bernama Mayadenawa yang bisa merubah dirinya menjadi bentuk apa saja. Pendeta Sang Kulputih pun memohon Batara Indra untuk membunuh Mayadenawa. Pasukan Mayadenawa pun berhasil dikalahkan oleh pasukan Batara Indra dan sisanya melarikan diri. Beruntung malam tiba.
Malam itu, dengan memiringkan telapak kakinya agar tidak meninggalkan jejak, Mayadenawa berjalan menyusup ke dalam kemah pasukan Batara Indra untuk membuat mata air Cetik (racun). Peristiwa ini menjadi asal nama Tampaksiring, berarti tanpa jejak. Esoknya banyak pasukan Bhatara Indra ditemukan mati setelah minum air Cetik.
Bhatara Indra pun menancapkan tombak pusakanya ke tanah, dan terpancarlah air suci yang menghidupkan kembali seluruh pasukan. Mata air ini disebut Tirta Empul, atau air bergelembung. Mengetahui usahanya gagal, Mayadenawa lari seraya merubah bentuk berkali-kali, namun tidak bisa menipu Batara Indra yang terus mengejarnya.
Ketika Mayadenawa berubah menjadi batu, ia dipanah Batara Indra dan dari batu itu mengalir deras cucuran darah yang menjadi Sungai Petanu. Selama seribu tahun air Sungai Petanu dikutuk, membuat padi tumbuh cepat namun darah keluar ketika padi dipanen dan tersebar bau anyir. Kematian Mayadenawa diperingati setiap 210 hari sesuai Kalender Pakuwon Bali sebagai kemenangan kebaikan (dharma ) atas kejahatan (adharma), dan hari itu dikenal sebagai Hari Raya Galungan.
Pura Tirta Empul Gianyar
Alamat : Desa Manukaya, Tampaksiring, Gianyar, Bali. Lokasi GPS : -8.41492, 115.31590, Waze. Hotel di Ubud, Hotel di Gianyar, Hotel di Bali, Tempat Wisata di Gianyar, Peta Wisata Gianyar, Tempat Wisata di Bali.Label: Bali, Gianyar, Pura, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.