Apakah orang mati beragama? Entahlah, namun banyak yang masih hidup merasa perlu menandai kubur dengan lambang agama yang dianut si mati semasa hidupnya. Pada galibnya semua agama diturunkan ke Bumi oleh-Nya sebagai tuntunan bagi orang hidup agar menjaga adab dan ahlak ketika menulis, berucap, bertindak, beribadah, agar meluhurkan kehidupan dan tidak membuat kerusakan di Bumi, semua hal yang tak bisa dilakukan mayit.
Lalu, mengapa perlu ada kompleks kubur yang dipisah berdasar agama? Bagi si mati mestinya tak ada masalah mau dipisah atau tidak, karena mereka tak akan bisa berkelahi dengan tetangga kubur, yang semasa hidupnya seagama atau pun tidak, dan tak akan bisa pula bertengkar dengan musuh bebuyutannya meski kuburnya bersisian.
Namun isi kepala orang hidup berbeda-beda. Akan ada saja pihak yang merasa terganggu dengan ritual kubur orang lain, dan ada pula yang bahkan sewot dengan lambang pada nisan dari agama yang tak mereka anut. Kadar keimanan orang tak sama, kadar keluasan pikir dan kedalaman sumur hati pun berbeda.
Baguslah jika semua orang bisa menerima dengan lapang dada segala jenis lambang pada nisan dan saling menghormati semua ritual kubur orang, yang membuat pemisahan kompleks kubur tak relevan. Namun mana ada di dunia ini yang semuanya selalu bagus, yang buruk juga pasti selalu ada. Yang sempit dada dan pendek pikir juga banyak, jika tidak sekarang, nanti pasti akan muncul, entah kapan.
Satu generasi toleran, generasi berikutnya bisa intoleran. Di dalam satu keluarga pun bisa tak sama. Hidup seperti bandul, mengayun dari ekstrem ke ekstrem, atau cokro manggilingan seperti roda berputar. Jika mempertimbangkan hal ini, pemisahan kubur bisa saja bermanfaat, bukan untuk yang mati namun agar yang hidup tidak berkelahi di atas kubur karena sentimen soal lambang dan ritual kubur.
Kalau saja tak ada lambang dan ritual agama di sebuah kompleks kubur mungkin semuanya akan damai-damai saja. Namun setiap orang punya keinginan dan kebenarannya sendiri, yang suatu ketika bisa berbenturan dengan keinginan dan kebenaran yang dipegang tetangganya.
Toleransi, termasuk toleransi pada kebenaran yang dipegang masih-masing pihak, selalu bersifat dua arah. Tak bisa hanya mengharapkan satu pihak toleran tanpa ada pengorbanan dari pihak lainnya. Jika pun bisa, tak akan bertahan lama karena ketidakseimbangan akan memunculkan keributan, cepat atau lambat. Begitu pun, jangan karena satu RT bermasalah, lalu menuduh seluruh daerahnya bermasalah, bahkan negaranya, dan presidennya. Bersikaplah proporsional, rasional, adil.
Yang perlu diingat adalah bahwa bibit intoleransi dan bibit toleransi ada pada setiap orang. Frustrasi, ketidaksabaran, akan menyuburkan bibit intoleransi yang pada saatnya bisa muncul ke permukaan dan merugikan diri serta orang lain. Merubah perilaku perlu waktu. Tak bisa dengan memaksa satu RT untuk segera membiarkan satu warganya memasang lambang tertentu pada kubur akan membuat warga otomatis menjadi toleran. Itu hanya akan memantik api dalam sekam. Namun jangan pula menyangkal, agar langkah bijak bisa diambil, yang bisa diterima semua pihak.
Apakah orang mati beragama? Ya, dan tidak. Jawabnya bergantung pada apa yang orang percayai dari olah pikir atau tafsir ajaran agama dan guru yang ia ikuti. Semuanya benar, karena kebenaran pun seperti warna, bukan hanya hitam putih, dan setiap warna ada lagi gradasinya. Pemegang warna hitam putih mutlak hanya YME. Yang penting, jangan jadikan diri atau panutanmu sebagai Tuhan, pemilik kebenaran tunggal.
Label:
Inspirasi
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.