Bagi warga Jakarta maupun luar Jakarta, Pasar Baru identik dengan toko kain lengkap dengan para penjahit, juga toko sepatu, kamera, penjual bakmi atau pun kuliner khas India. Pedagang yang menempati ruko di kawasan Pasar Baru kebanyakan etnis Tionghoa dan India.
Etnis Tionghoa umumnya berdagang kelontong, bakmi atau pun membuka usaha busana / perlengkapan olah raga / sepatu; sedang etnis India umumnya mengelola toko kain. Awal berdirinya Pasar Baru (dulu Passer Baroe) adalah dampak dari peristiwa penumpasan etnis Tionghoa di Batavia pada 1740. Masa itu etnis Tionghoa "diisolir" di luar benteng Batavia, mereka hanya diijinkan berada di dalam kota Batavia pada siang hari.
Lalu saat Weltevreden, kawasan elit Batavia berkembang (sekarang sekitar Lapangan Banteng - Gambir - Senen) ; sebuah pasar pun terbentuk sebagai pelengkap perniagaan. Kawasan yang dibangun pada abad ke-19 ini kemudian berkembang menjadi pusat kegiatan perniagaan yang dikendalikan oleh pengusaha Tionghoa yang datang dari luar tembok Batavia.
Satu Sabtu siang, setelah menghabiskan semangkok bakmi pangsit Gang Kelinci; kami menyusuri gang kecil di sampingnya. Sebuah papan kecil bertuliskan Yayasan Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio) Anno 1698 Batavia menjadi petunjuk arah; menempel di dinding depan gang. Jika melihatnya selintas, tak akan ada yang memperhatikan karena papannya bersaing dengan pesan sponsor sebuah jaringan telepon seluler yang tertulis besar-besar di situ.
Riwayat
Vihara Dharma Jaya berdiri pada 1698, kemungkinan dibangun oleh para petani Tionghoa yang tinggal di sekitar kebun Cornelis Chastelein (sekarang Lapangan Banteng dimana terdapat Patung Pembebasan Irian Barat) untuk menjalankan ibadah dan kebudayaannya. Jika dahulu kelenteng kecil ini berada di tengah hutan perkebunan, maka saat ini posisinya terhimpit di dalam gang kecil di tengah pasar.Semula klenteng ini bernama Het Kong Sie Huis Tek, dengan pintu utama menghadap ke Jl Belakang Kongsi. Pada 1812, pintunya berpindah ke bagian belakang dan namanya pun diganti menjadi Sin Tek Bio. Pada 12 Mei 1982, kembali terjadi peruabahan nama menjadi Vihara Dharma Jaya seiring dengan sentimen negatif pada nama Cina yang berkembang saat itu.
Gang kecil yang kiri kanannya dipadati dengan barang dagangan, satu-satunya akses menuju Vihara Dharma Jaya dari Pasar Baru dengan latar belakang kedai Bakmi A Boen yang dulunya pintu masuk vihara. Langkah kami pertama kali memasuki altar Kwan Im (Kwan Im Bio) yang terpisah dengan gedung utama di sisi belakang vihara. Beragam patung memenuhi tempat ini, namun ada satu yang cukup menyita perhatian karena tampak berbeda dari patung-patung yang biasanya berada di vihara.
Eyang Djugo
Di Kelenteng Sin Tek Bio Jakarta ada sebuah patung kayu mengenakan sorban dengan sikap berdoa memangku kitab suci. Di depannya terpampang tulisan Ta Ol Lao Shi (Kyai Zakaria II atau akrab dengan sebutan Eyang Djugo), sedang di sisi kirinya menggantung pigura berisi gambar yang mulai buram dengan tulisan samar-samar terbaca Raden Mas Imam Sudjono.Tokoh ini ada kaitannya dengan berakhirnya perang Jawa yang berlangsung selama 5 (lima) tahun pada 1825 - 1830, ditandai dengan penangkapan Pangeran Diponegoro di kediaman de Kock di Magelang pada 28 Maret 1830. Peristiwa ini, membuat banyak pasukan dan pengikut Diponegoro melarikan diri dari kejaran Belanda ke wilayah timur Pulau Jawa.
Diantaranya adalah mantan Senopati Pangeran Diponegoro, cicit Hamengkubuwono I dari Kraton Nyayogyakarta (1755 - 1792), yang bernama Raden Mas Imam Sudjono atau Eyang Sudjo. Eyang Sudjo mengikuti ayah angkatnya penasehat spiritual Diponegoro, Kyai Zakaria II atau Eyang Djugo cucu Pangeran Diponegoro (cicit Pakubuwono I yang memerintah Kartasura pada 1705 - 1719) dari trah Mataram yang memilih mengasingkan diri ke daerah Gunung Kawi, Jawa Timur. Ketika meninggal, keduanya dimakamkan dalam satu liang dan hingga kini makamnya di Gunung Kawi selalu ramai dikunjungi pesiarah dari etnis Tionghoa untuk memanjatkan doa.
Sebagai guru spiritual, Eyang Djugo mendapat gelar Taw Low She / Ta Ol Lao Shi, artinya guru besar pertama, sedang RM Imam Sudjono diberi gelar Jie Low She atau guru besar kedua. Hal lain yang menarik di Kuan Im Bio adalah genta / lonceng dan bedug yang menggantung di kiri dan kanan atas pintu masuk.
Oleh dua wanita yang berjaga di Kuan Im Bio, kami diijinkan melangkah ke dalam bangunan utama Sin Tek Bio melalui pintu belakang. Sebuah patung besar Budha duduk tertawa lebar menyambut langkah kami di bawah tangga menuju lantai dua.
Di Vihara ini, terdapat 28 (dua puluh delapan) altar, 14 (empat belas) altar di lantai atas yang dikelilingi ratusan patung yang sebagian besar berasal dari abad ke-17; sedang 14 (empat belas) altar lainnya di ruang utama di lantai bawah. Kongco Hok Tek Ceng Sin sang Dewa Bumi adalah dewata utama yang menempati altar utama. Patungnya seumur dengan Sin Tek Bio dan didatangkan langsung dari Tiongkok.
Embah Raden Suria Kencana Winata
Celengan Shi Mien Fut yang sudah tua terlihat berada di pojok ruang altar di lantai dua Sin Tek Bio. Yang juga menarik adalah adanya altar doa untuk Embah Raden Suria Kencana Winata, salah satu dari 14 altar di ruang utama vihara. Meskipun menarik, kelenteng ini terhimpit di dalam padatnya Pasar Baru dengan gang kecil sebagai akses yang bermuara ke Jl SamanhudiUsai menikmati Sin Tek Bio, kami menyegarkan tenggorokan dengan minum es krim jadul yang telah ada semenjak 1979 di Restoran Tropik. Restoran ini menempati bangunan yang dulunya rumah toko milik Tio Tek Hong, yang mempopulerkan sistem harga banderol dan pemiliknya pandai mempromosikan dagangan di tokonya dengan memasang iklan di koran Bintang Betawi.
Papan Yayasan Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio) Anno 1698 Batavia menjadi petunjuk arah.
Patung kayu bersorban memangku kitab bertanda Ta Ol Lao Shi (Kyai Zakaria II atau Eyang Djugo), dan tulisan Raden Mas Imam Sudjono.
Dewa Bumi merupakan tuan rumah Kelenteng Sin Tek Bio yang menempati altar di lantai satu.
Celengan Shi Mien Fut.
Altar Dewi Kwan Im.
Rupang para dewa dan orang suci dengan Buddha Tertawa berwarna keemasan.
Altar Dewi Kwan Im dengan susunan lampu minyak yang ditata bertingkat dengan rapi.
Foto dan lukisan Sai Ba Ba, yang lahir pada tanggal 23 November 1926 dengan nama Sathyanarayana Raju, meninggal 24 April 2011. Ia seorang Guru, orator, pencipta lagu dan puisi serta filsuf India Selatan yang sering digambarkan sebagai orang suci.
Altar Kwan Seng Tee Kun atau Kwan Kong dan altar Dewa Bumi (Fu Te Chen Shen, Hok Tek Ceng Sin).
Altar Dewi Kwan Im (Kuan She In Pu Sat atau Kwan She Im Po Sat), dengan ornamen naga hijau
Rupang dewa yang elok dan lukisan Kwan Im sebagai Avalokitesvara Mahabodhisatwa.
Rupang Lao Zi atau Lao Tzu, pendiri Taoisme, duduk dengan memegang kipas bergambar Yin-Yang, simbol Taiji, di sebelah kanannya adalah Cang Thian She.
Di bagian depan tengah tampaknya adalah Lao Tzu
Kung Fu Ce, Yen She Thien Cun, Thai Siong Lo Kun, Mao San Cu She, dan Ta Pai Sam Kai Fu Mu. Thai Siong Lo Kun atau Thay Siang Lo Kun atau Tai Shang Lao Jun, atau Maha Dewa Thay Siang, adalah yang mewujud sebagai Lao Tse, pendiri Taoisme.
Altar To Ti Pa Kong Pa Po, dewa bumi penguasa tanah setempat, yang kedudukannya paling rendah dalam kepangkatan Surga dan paling dekat dengan manusia.
Paling depan bawah adalah arca Buddha yang berwarna keemasan.
Tambur dan lonceng tua yang biasa dibunyikan sebelum sebuah acara ritual dimulai.
Thai Siong Lo Kun, atau Lao Tze yang diapit oleh Er Lang Shen (Malaikat Pelindung Kota Sungai, putra Li Bing, Gubernur propinsi Xi Chuan.) dan Jiu Thien Sian Ni
Lita duduk di bawah tambur dengan pemukul kayu panjang di bawah kirinya.
Lonceng dan tali yang digunakan untuk menarik pemukul lonceng. Di sebelah kiri ada beras untuk kaum miskin, dan di sebelah kanan bawah ada tumpukan kertas sembahyang.
Wihara Dharma Jaya dan baris alamatnya, dengan latar depan hiolo Thian (Tuhan) yang berkaki tiga.
Rupang Buddha Tertawa, satu wujud Buddha yang populer.
Tiga altar pertama di Kelenteng Sin Tek Bio. Agak jarang saya melihat ada payung di dalam kelenteng, sebagaimana pada foto di atas. Sebelah kanan adalah altar Dewi Kwan Im.
Altar Tee Cong Ong Po Sat atau Ksitigarbha Bodhisattva, dalam wujud seorang bhiksu yang lengkap dengan jubahnya. Ia sering dikaitkan dengan Sepuluh Raja Akhirat (She Tien Yan Wang) yang ada di bawah pengaruhnya.
Rupang para dewa, diantaranya Fat Cu Kong, Chi Thien Ta Sen Fo Cu, Pa Sien, Ta Mo Cu She. Di sebelahnya adalah altar Lao Tze. Ada pula altar Xian Tiang Sang Ti (Hian Thian Siang Te), dewa langit dengan kedudukan sangat tinggi, hanya setingkat di bawah Yu Huang Da Di (Giok Hong Tay Te).
Langit-langit kelenteng dengan lampion dan hio lingkar kerucut.
Arca Buddha berukuran besar tampak ada di bagian paling atas. Ada pula arca dewa Kwan Im sebagai perwujudan Avalokitesvara.
Altar yang diperuntukkan bagi Raden Suria Kencana.
Deret lampion merah, lampu minyak rapi, dan lilin besar, menghias altar Dewa Bumi, dimana rizki dan kelancaran usaha menjadi otoritas dewa ini. Doa akan terkabul jika gemar beramal dan berbuat kebajikan.
Hiolo tua bertulisan Giok Hong Siang Tee, dan aksara Sin Tek Bio. Kaisar Giok adalah penguasa surga, neraka, dan keseluruhan alam.
"Anno 1698 Batavia". Memegang hio ada adabnya, yaitu harus khidmat dan bara apinya harus sejajar dengan titik tengah di antara kedua alis mata.
Di ujung sana adalah Kimlo tempat membakar kertas uang persembahan. Arca sepasang singa penjaga juga ada di halaman depan ini.
Di atas atap kelenteng ada sepasang arca naga berebut mustika (matahari).
Tanda panah berlawanan pada tempat yang sama, karena kelenteng ini memang bisa diakses dari dua pintu masuk yang berbeda. Nama yayasan dan tahun berdirinya kelenteng terlihat pada foto ini.
Lampion, lampu minyak, lilin, dan sepasang naga besar. Naga adalah lambang kekuatan, wibawa, dan tuah dalam mengawal air, hujan, dan banjir. Naga bersifat Yang (panas, jantan) dan fenghuang (phoenix) bersifat Yin (dingin, betina).
Spanduk obat dewa yang mengobati segala macam penyakit. Meskipun mustahil, namun jika sudah putus asa, apa pun akan dicoba. Yang pasti, obat semacam ini bisa mengobati kemiskinan penjualnya, jika laku.
Ada banyak gedung bersejarah yang masih dipertahankan di daerah ini, diantaranya Kantor Pos Filateli, Stadschouwburg (sekarang dikenal sebagai Gedung Kesenian Jakarta), Ursulint Zuster School (Santa Ursula), Gedung Antara, Toko Kompak dan lain-lain. Tak cukup waktu sehari untuk menyurusi kawasan Pasar Baru. Kini, Pasar Baru menjadi sentra wisata belanja dan sejarah. Menyusuri Pasar Baru, sama dengan menyusuri sepenggal kisah sejarah negeri.
Alamat Kelenteng Sin Tek Bio Pasar Baru (Vihara Dharma Jaya) berada di Jl. Pasar Baru Dalam Pasar No 146, Jakarta Pusat 10710. Lokasi GPS : -6.160856, 106.836093, Waze. Nomor Telepon Penting, Hotel di Jakarta Pusat, Hotel Melati di Jakarta Pusat, Peta Wisata Jakarta Pusat, Peta Wisata Jakarta, Rute Lengkap Jalur Busway TransJakarta, Tempat Wisata di Jakarta, Tempat Wisata di Jakarta Pusat.
Label: Jakarta, Jakarta Pusat, Kelenteng, Olyvia Bendon, Wisa, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.