Juli 06, 2020

Syukur Mendahului Sabar

Salah satu hal yang paling sulit dalam hidup adalah menjadi orang sabar, baik dalam kehidupan berkeluarga, di lingkup pekerjaan, pergaulan sosial dengan teman, lingkungan RT, RW, kelurahan, hingga negara dan pergaulan antar bangsa, serta mungkin suatu ketika nanti di pergaulan antar planet, antar galaksi.

Sabar lazimnya dikaitkan dengan keadaan dan suasana hati, perasaan, sesuatu yang ada dan bermukin di relung dada, ulu hati, sebagai respons ketika mendengar, melihat, merasakan, mencium, atau mengalami hal tak mengenakkan, tak pada tempatnya, tak sesuai dengan prinsip atau keinginan, baik fisik maupun non-fisik, tanpa mengeluh, cemas, terganggu secara berlebihan atau marah.

Syukur biasanya juga digambarkan sebagai perwujudan rasa, seperti rasa bersyukur, perasaan syukur, sujud syukur. Sebuah ungkap rasa terima kasih pada Yang Mahakuasa oleh karena berkah yang diterima, atau karena terhindar dari musibah malapetaka, atau apa yang dilihat didengar dan dirasakan tidaklah seburuk yang diduga semula, atau tak separah yang dialami orang.

Sedangkan pikir merupakan olah isi batok kepala, ada di tempurung tengkorak, di pinggir hingga kedalaman otak kelabu. Jika terang, jernih, maka pikir akan pintar melakukan kalkulasi terhadap apa yang hendak dikata, ditulis, dan atau dilakukan. Ini semacam analisa, pertimbangan, yang menyangkut sebab akibat, baik bagi diri, lingkung sekitar, hingga implikasi ke tingkat global, bergantung pada kedudukan dan posisi.

Kesabaran ada yang merupakan sifat bawaan sejak lahir atau diturunkan, sebagaimana sifat impulsif dan berangasan. Namun kesabaran dapat pula didapat hasil dari serangkaian latihan berat yang berlangsung dalam jangka waktu panjang, baik secara sadar dan disengaja, maupun karena keadaan lingkungan dan kehidupan yang tak terelakkan.

Jika ada istilah bahwa kesabaran ada batasnya, maka itu cenderung kurang berlaku bagi mereka yang memiliki sifat sabar sebagai bawaan orok. Kesabaran mereka seolah tak ada habisnya, apalagi jika sifat bawaan itu juga ditempa oleh keadaan lingkung keluarga dan sekitar yang membuatnya tumbuh matang dan kuat berakar.

Kesabaran yang diperoleh karena latihan, dengan sedikit faktor keturunan, adalah seperti sebuah tabungan di 'bank sabar' yang jika ditarik dan dipakai terus menerus, atau seperti sumur jiwa yang terus-terusan ditimba air kehidupannya, tanpa ada 'deposit sabar' yang baru, maka lama kelamaan stok simpanan kesabarannya bisa habis, kering, dan akan mudah meledak emosinya.

Lalu apa hubungan antara syukur dengan sabar? Ini adalah paradigma atau sudut pandang bahwa seberapa berat pun kemalangan atau hal yang tak mengenakkan menimpa, masih akan selalu ada hal yang patut disyukuri, daripada mengeluh, mengumpat, atau mengumbar amarah.

Dalam kebiasaan sehari-hari, ketika mengalami kemalangan atau hal yang tak mengenakkan, orang sering mengucap "untung masih ...." atau "masih untung ...". Ini bisa disebut sebagai tingkatan termudah atau terendah dalam mengungkap syukur, karena merupakan respons spontan tanpa terhubung secara emosional dengan Sang Pemberi 'keuntungan'.

Ketimbang mengeluh tidak diterima di perguruan tinggi impian, lebih baik bersyukur bahwa masih bisa diterima di perguruan tinggi lain yang juga bagus, bersyukur bisa kuliah. Tahun depan coba tes lagi, dengan persiapan jauh lebih baik.

Ketimbang memelihara lara karena putus cinta, lebih baik bersyukur karena pernah mencecap madu lendir asmara yang masih jadi impian basah para jomblo, dan punya kesempatan baru untuk menemukan pasangan yang lebih baik ketimbang sang mantan.

Daripada ngomel bak di dapur sering ada piring-gelas-sendok-garpu kotor, atau lampu tak dimatikan, pintu tak ditutup atau tak dikunci, AC tak dimatikan, lebih tenang dengan bersyukur bahwa orang-orang itu masih hidup dan berkeliaran di rumah.

Daripada mengeluh penjualan menurun drastis, akan lebih tenang mensyukuri bahwa masih ada pembeli dan tabungan masih cukup untuk 6 bulan lagi ketika pandemi diharapkan sudah mereda dan kenormalan baru telah menjadi hal yang biasa.

Akan ada banyak sekali, sangat banyak, tak terhitung jumlahnya, keadaan tak mengenakkan yang selalu menyediakan hal tersisa yang masih bisa disyukuri. Tinggal menyediakan ruang jeda yang cukup diantara peristiwa dan respons untuk berpikir bahwa apa yang terjadi bisa lebih buruk dari apa yang telah menimpa, dan menemukan apa yang bisa disyukuri dari situasi yang ada.

Akan tetapi, memang, sikap seperti itu lebih mudah ditulis daripada dilakukan. Begitu pun, sekali dua kali patut dicoba, lama kelamaan akan menjadi kebiasaan. Lagipula, sabar bukan tak berarti menghentikan usaha agar ketidaknyamanan itu menjadi lebih sedikit, lebih jarang, jika itu memang masih berada dalam kendali manusia, karena hidup yang susah tak perlu dibuat menjadi lebih sulit, agar kewarasan bisa tetap terjaga.
Label: Blog, Percikan
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.

aroengbinang, seorang penyusur jalan.
Traktir BA secangkir kopi? Scan via 'Bayar' GoPay.