Dua anak, kakak dan adik, sedang dalam perjalanan menuju ke sekolah. Keduanya masih sangat kecil. Anak laki-laki itu baru berusia empat tahun, dan gadis kecil kakaknya belum lagi berusia enam tahun.
"Ayo, Edward, kita harus bergegas," kata sang kakak. "Kita tidak boleh terlambat." Satu tangan Edward berpegangan pada lengan kakaknya, dan dengan tangan lainnya memegang bukunya.
Buku itu adalah satu-satunya buku miliknya, dan dia sangat menyukainya. Sampulnya berwarna biru cerah, yang ia selalu berhati-hati memegangnya agar tidak mengotorinya. Di dalamnya ada beberapa gambar aneh, yang tak pernah bosan ia lihat.
Edward bisa mengeja hampir semua kata di bukunya itu, dan ia bisa membaca dengan cukup baik.
Sekolah mereka berjarak 1,5 km lebih dari rumah, dan anak-anak itu berlari secepat kaki pendek mereka bisa membawa tubuhnya.
Di sebuah persimpangan jalan mereka melihat seorang pria jangkung datang mendekat. Ia berpakaian hitam, dan memiliki wajah yang sangat menyenangkan.
"Oh Edward, itu Pak Harris!" bisik gadis kecil itu. "Jangan lupa sopan santunmu."
Mereka senang melihat Pak Harris, karena dia adalah seorang pendeta. Mereka berhenti di pinggir jalan dan menjaga sikap santunnya. Edward membungkuk dengan sangat sopan, demikian pula kakaknya.
"Selamat pagi anak-anak!" kata pak pendeta dan dia dengan ramah berjabat tangan dengan keduanya.
"Aku punya sesuatu untukmu Edward," katanya. Kemudian dia mengambil dari sakunya selembar kertas yang di atasnya ditulis beberapa kalimat.
"Lihat! Ini adalah teks pidato pendek yang saya tulis untukmu. Bu Guru akan segera memintamu berpidato di sekolah, dan saya yakin kau bisa mempelajari teks ini dengan mudah dan bisa berpidato dengan baik"
Edward mengambil kertas itu dan berterima kasih kepada pak pendeta yang baik hati.
"Ibu akan membantu mempelajarinya," kata kakaknya.
"Ya, aku akan mencoba mempelajarinya," kata Edward.
"Lakukan anakku," kata pak pendeta, "dan saya harap ketika kamu dewasa nanti akan menjadi orang bijak dan orator (ahli pidato) hebat."
Kemudian kedua anak itu bergegas meneruskan perjalanannya ke sekolah.
Pidato itu tidak sulit untuk dipelajari, dan Edward segera hafal setiap kata yang ditulis oleh pak pendeta. Ketika saatnya tiba baginya untuk berpidato, ibunya dan pak pendeta ada di sana untuk ikut mendengarnya.
Edward berpidato dengan sangat baik sehingga semua orang senang mendengarkan. Ia mengucapkan setiap kata dengan jelas, seolah-olah dia sedang berbicara dengan teman sekolahnya.
Apakah isi pidatonya itu? Ini dia:
Berdoa, sebagaimana aku seharusnya, kawan,
Ketika berpidato jadi sosok hebat?
Kau hanya bercanda, bukan?
Tunggu saja sampai aku lebih besar.
Tapi karena kalian ingin mendengar pidatoku,
Dan mendorongku untuk memulainya,
Aku akan berusaha dengan sepenuh hatiku untuk mendapat pujian,
Meski kecil harapan untuk mendapatkannya.
Aku akan menceritakan sebuah kisah tentang John
Bagaimana ia memelihara seekor keledai kecil,
Yang setiap pagi dan malam
Ia beri minum dan makan.
Namun kata Joe kepada John,
"Kamu petani miskin yang tolol,
menghabiskan waktumu untuk merawat
keledai kecil yang tak berguna."
Kata John kepada Joe,
"Aku merawat keledai kecilku,
bukan untuk yang sekarang ia bisa lakukan,
tapi yang akan ia lakukan ketika telah dewasa."
Moral cerita ini sangat jelas, kawan,
Agar tidak merusak ceritaku,
Kuda kecil itu dalam pikiran kalian adalah aku
Ya, aku tahu itu dari senyum kalian.
Dan sekarang, teman-temanku, aku mohon maaf
karena kecadelan dan kegagapan kata-kataku;
Namun aku telah melakukan yang terbaik,
Jadi, aku akan tetap menjaga sopan santunku.
Nama anak kecil itu adalah Edward Everett (11 April 1794 – 15 Januari 1865). Ia tumbuh menjadi orang terkenal dan salah satu orator terbesar Amerika yang berasal dari Massachusetts.
Everett pernah menjabat sebagai US Representative, Senator, Gubernur Massachusetts ke-15, Minister untuk Inggris Raya, dan Sekretaris Negara Amerika Serikat. Dia juga mengajar di Universitas Harvard dan menjabat sebagai presidennya.
Cerita ini disadur dari Fifty Famous People karya James Baldwin, yang dimuat di situsweb The Project Gutenberg.
Label:
Dongeng,
Gutenberg,
Inspirasi
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.