Alkisah pada jaman dahulu ada seorang nelayan miskin yang sudah berumur sangat tua dan hidup bersama istri dan ketiga anaknya. Nelayan itu biasa menebar jala empat kali sehari, tidak pernah lebih dari itu.
Pada sebuah siang ia pergi meninggalkan rumah untuk menjala ikan. Setelah tiba di tepian pantai, ia meletakkan keranjangnya, kemudian menebar jalanya, dan menunggu beberapa saat hingga jalanya tenggelam sepenuhnya.
Namun ketika ia menarik talinya, jala itu terasa begitu berat sehingga ia tidak sanggup untuk mengangkatnya. Oleh karena itu ia melangkah menjauhi bibir pantai, dan lalu mengikat tali jalanya ke sebuah tiang.
Nelayan itu kemudian melepas pakaiannya dan menyelam untuk memeriksa apa yang menyebabkan jalanya menjadi begitu berat. Hanya setelah bekerja keras akhirnya ia berhasil mengangkat jaringnya ke darat.
Ketika si nelayan memeriksa ternyata di dalam jaringnya ada keledai yang sudah mati. Merasa jijik melihat bangkai itu, ia pun berseru:
"Biar sajalah seperti kehendak Allah!" dan menambahkan: "Namun ini adalah hadiah aneh yang telah dikirim-Nya untukku."
Kemudian ia membaca syair:
Penyelam buta dalam gelap
malam dan hilang,
mujur tak menyenangkan buat tenaga;
Berhenti, dan diamlah.
Setelah itu ia merapikan jaringnya dan memeras airnya, lalu kembali ke laut dan melemparkan jaringnya lagi sambil menyebut nama Allah.
Ketika jaring telah tenggelam, sesaat kemudian ia mencoba menariknya ke darat. Namun kali ini jaringnya bahkan lebih berat dan lebih sulit lagi untuk bergeser.
Menduga bahwa telah menangkap ikan besar, ia mengikat ujung jaring ke tiang, melepas pakaiannya lagi, lalu menyelam dan akhirnya berhasil membawa jaringnya ke pantai.
Apa yang ia temukan di dalam jaringnya adalah tempayan besar yang penuh lumpur dan pasir. Dalam kekecewaannya melihat perolehannya itu, ia mengucap syair:
Kubilang aku berharap mujur akan mati atau terbang,
Siapa yang membiarkan lelaki berbudi luhur dan kemudian menahan upahnya.
Aku tinggalkan rumah untuk mencari keberuntungan
(Pencarian yang sekarang kutinggalkan);
Ia menjatuhkan orang bijak itu ke dalam kotoran
Bagi semua yang bodoh untuk tegak,
Dan, setelah memperbaiki keadaan ini,
Ia mati atau tumbuh sayapnya.
Kemudian si nelayan membuang tempayan itu dan membersihkan jaringnya, memohon ampunan kepada Allah oleh karena kurangnya kepatuhan pada kehendak Ilahi. Selanjutnya ia kembali turun ke laut, melemparkan jaring untuk ketiga kalinya dan menunggunya sampai tenggelam.
Ketika ditarik dan diperiksa, jaringnya ternyata penuh dengan pot pecah dan serpihan kaca. Melihat hal itu, ia menyenandungkan puisi seorang penyair:
Jangan heran bahwa angin emas
Meniup dunia ke arah depan, meninggalkanmu di belakang;
Tidak ada dinar di pena kayu mawar
Tidak untuk ditemukan oleh siapa pun kecuali tangan pedagang.
Lalu ia mengangkat wajahnya ke langit, dan berseru:
"Allah, Allah! Engkau paling tahu bahwa aku menebarkan jalaku hanya empat kali dalam sehari, dan lihat! Aku sudah melemparkannya tiga kali."
Setelah itu, ia lemparkan jalanya sekali lagi sambil menyebut nama Allah, dan menunggunya hingga tenggelam.
Untuk kali ini meskipun telah berupaya sangat keras, tetap tak bisa ia menggerakkan jaringnya barang satu jari pun. Sekali lagi ia menanggalkan pakaiannya, dan berseru:
"Jadilah seperti kehendak Allah!" dan ia menyelam untuk keempat kalinya. Mulailah ia bekerja untuk membebaskan jaringnya yang tersangkut dan setelah berhasil lalu membawanya ke pantai.
Setelah diperiksa, di dalam jaringnya ternyata ada sebuah botol terbuat tembaga kuning yang berat dan mulus, mulut botolnya ditutup dengan timah dan ditandai dengan segel Raja Sulaiman, anak Daud. Melihat ini, si nelayan merasa senang dan berkata:
"Inilah dia sesuatu yang bisa kujual ke tukang tembaga. Botol ini mestinya bernilai setidaknya sepuluh dinar emas."
Ketika menggoyang-goyang botol itu dan ternyata terasa sangat berat di tangannya, ia pun menggumam:
"Lebih baik kubuka dulu botol ini dan sembunyikan apa pun isinya ke dalam keranjangku; setelah itu baru aku jual ke tukang tembaga."
Ia mengambil pisaunya untuk membuka tutupnya. Setelah terbuka, ia membalikkan botol itu dan mengguncangnya, namun tak ada barang yang keluar kecuali gelembung asap yang memanjat ke langit dan menyebar ke semua arah.
Asap aneh itu akhirnya keluar semua dari botol, berputaran dan makin menebal, dan akhirnya berubah bentuk menjadi Jin Ifrit yang kepalanya mencapai awan saat kakinya menapak tanah.
Kepala Ifrit berbentuk seperti kubah, tangannya seperti garpu rumput, kakinya seperti tiang kapal, dan mulutnya seperti gua dengan gigi menyerupai batu-batu besar. Lubang hidungnya seperti kendi, matanya seperti obor, sedangkan rambutnya berdebu dan gimbal.
Penampakan Ifrit ini membuat si nelayan merasa sangat ketakutan sehingga otot-ototnya bergetar, giginya bergemeletuk, dan ia berdiri dengan lutut goyah.
Ketika Ifrit akhirnya melihat si nelayan, ia berkata dengan suara menggelegar:
"Tidak ada Tuhan selain Allah, dan Sulaiman adalah nabi-Nya!", dan kemudian ia berucap kepada si nelayan:
"Wahai Sulaiman yang agung, O engkau nabi Allah, jangan bunuh aku. Tidak akan pernah lagi aku tidak patuh atau memberontak terhadap keputusan-Mu yang adil.", yang dijawab nelayan itu:
"Berani sekali kamu, wahai raksasa penista dengan memanggil Sulaiman nabi Allah? Sulaiman telah mati selama seribu delapan ratus tahun dan kini kita telah sampai di akhir zaman. Cerita macam apa ini? Bagaimana kau bisa masuk ke dalam botol?"
Mendengar kata-kata si nelayan, jin itu mengubah nada suaranya dan berkata:
"Tidak ada Tuhan selain Allah. Aku membawa kabar baik, O nelayan!"
"Berita apa itu?" tanya lelaki malang itu, dan Ifrit menjawab:
"Berita kematianmu, yang berlangsung sangat cepat dan amat mengerikan."
"Semoga kamu dijauhkan dari berkah Allah dengan kabar seperti itu, wahai Raja Jin! Mengapa kamu menginginkan kematianku dan apa alasannya sehingga aku pantas mendapatkannya? Aku membuatmu keluar dari botol, membebaskanmu dari penjara yang begitu lama di dasar laut."
Tapi Ifrit hanya menjawab:
"Pikirkan dan pilih cara kematian yang lebih kau sukai dan bagaimana aku harus membunuhmu."
"Tapi apa salahku? Apa salahku?" ulang nelayan malang itu.
"Dengarkan ceritaku dan kamu akan tahu," kata Ifrit.
"Berceritalah kalau begitu, dan buat yang singkat," kata nelayan itu, "oleh sebab jiwaku sudah siap terbang dari kaki saking takutku."
Maka Ifrit mulai bercerita:
Ketahuilah bahwa aku adalah Sakhr al-Jinni, salah satu pemberontak Afarit yang melawan Sulaiman, putra Daud. Ada saat dimana Sulaiman mengirim Wazir (Penasihat Raja) Asaf ibn Barakhya untuk melawanku, dan mengalahkan aku meski telah kugunakan seluruh kekuatanku. Ia lalu membawaku ke hadapan Sulaiman.
Kamu boleh percaya boleh tidak bahwa pada saat itu aku merendahkan diriku dengan sangat sangat rendah. Melihatku, Sulaiman berdoa kepada Allah dan memintaku untuk beriman kepada-Nya dan berjanji untuk patuh.
Ketika aku menolak, ia membawa botol ini ke hadapannya dan memenjarakan aku di dalamnya. Kemudian ia menyegelnya dengan timah dan memberi stempel Nama Tertinggi. Terakhir, jin yang beriman membawaku ke atas pundaknya atas perintah Sulaiman dan melemparkan aku ke tengah laut.
Aku tinggal di dalam air selama seratus tahun dan terus berkata:
"Aku akan memberi kekayaan abadi bagi dia yang membebaskanku!"
Tapi seratus tahun berlalu dan tidak ada yang membebaskan aku. Jadi, ketika aku memasuki seratus tahun kedua, aku bersumpah:
"Kepada dia yang membebaskan aku, aku akan tunjukkan dan berikan semua harta di bumi!", tapi tidak ada yang membebaskan aku. Empat ratus tahun berlalu, dan aku berkata:
"Kepada dia yang membebaskanku, aku akan beri dia tiga permintaan yang keluar dari hatinya!", tapi tetap saja tidak ada yang membebaskan aku. Jadilah aku murka dan bersumpah:
"Sekarang aku akan bunuh orang yang membebaskanku, dan satu-satunya hadiahku adalah pilihan kematian!", dan kamu, hai nelayan, kamulah yang telah membebaskanku. Oleh karena itu, aku membiarkanmu untuk memilih kematianmu.
Mendengar perkataan Ifrit, nelayan itu tidak bisa menahan diri untuk tidak berteriak:
"Ya Allah, betapa buruknya nasib! Akulah rupanya yang dipilih membebaskan Ifrit ini! Ampuni aku, hai Ifrit, dan Allah akan mengampunimu; bunuh aku, dan yakinlah bahwa Dia akan membangkitkan seseorang untuk membunuhmu juga."
Kemudian kata Ifrit:
"Aku akan membunuhmu karena kamu membebaskanku. Tidak ada pertolongan untuk itu."
Mendengar itu si nelayan pun berseru:
"Hai Pangeran Para Jin! Apakah ini caramu membalas kebaikan dengan kejahatan? Pepatah tidak salah yang mengatakan:
Jika kamu tahu rasanya pahit
Cari kesedihan dan hibur kesedihannya,
Aku tidak perlu memberi makan anak serigala untuk melihat
Betapa tidak berterima kasih rasa syukur itu."
Tetapi Ifrit berkata:
"Sudah cukup kamu berbicara. Bersiaplah untuk bertemu kematian."
Kemudian nelayan itu membatin:
"Meski aku manusia dan dia jin, namun Allah memberiku otak. Aku harus mencari akal, dengan cara halus yang bisa membatalkan kemauannya itu."
Kemudian dengan lantang si Nelayan berkata kepada Ifrit:
"Begitu bulatkah keinginanmu agar aku harus mati?" yang mendapat jawaban:
"Sudah pasti!"
Nelayan itu kemudian berkata dengan sungguh-sungguh:
"Aku memintamu bersumpah atas Nama Tertinggi yang terukir di segel Sulaiman untuk menjawab satu
pertanyakanku dengan jujur!"
Ifrit terkejut mendengar Nama Tertinggi disebut, maka ia berjanji akan menjawab dengan jujur, dan nelayan itu pun bertanya:
"Bagaimana mungkin botol ini, yang hampir mustahil bisa menampung kaki atau tanganmu, malah pernah bisa menampung seluruh tubuhmu?"
"Apakah kamu meragukan hal itu?" tanya Ifrit, yang mendapat jawaban:
"Aku tidak akan pernah percaya hal itu kecuali aku melihat sendiri kau masuk ke dalam botol!" (bersambung ke Kisah Raja Yunan dan Rayyan si Tabib, dari Kisah 1001 Malam).
Label:
Dongeng,
ilham,
Kisah 1001 Malam
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.