[Sambungan dari Kisah Nelayan dan Ikan Ajaib Bagian-2] Ketahuilah Yang Mulia, bahwa ayahku adalah raja di kota yang sekarang paduka tak bisa lihat namun sesungguhnya tempat itu ada di sini.
Nama beliau adalah Mahmud dan ia menjadi penguasa Kepulauan Hitam, yang sekarang telah berubah menjadi empat gunung.
Ayahku memerintah selama tujuh puluh tahun sebelum ia meninggal atas belas kasih Allah, Sang Penguasa Dunia.
Setelah kematiannya, aku menggantikannya sebagai Sultan dan memperistri putri pamanku yang sangat mencintaiku sehingga jika aku pergi ia tidak makan atau minum sampai aku kembali.
Selama lima tahun aku menyayanginya, sampai pada suatu hari semuanya berubah ketika ia pergi ke hammam (sauna khas Turki), setelah lebih dulu memesan makan malam lezat untuk kami dari juru masak istana.
Lalu aku masuk ke dalam aula istanaku ini dan berbaring untuk tidur di tempatku yang biasa, dan memerintahkan dua budak perempuan untuk mengipasiku saat aku tidur.
Yang satu duduk di samping kepalaku dan yang lain di dekat kakiku, tapi aku tidak bisa tidur karena memikirkan istriku dan, meskipun kelopak mataku tertutup, pikiranku tetap terjaga.
Saat itulah aku mendengar budak di dekat kepalaku berkata ke budak yang lain, karena mereka mengira aku telah tertidur:
"Betapa buruknya nasib tuan muda kita yang malang ini, Masadah. Sungguh menyedihkan ia telah menikahi perempuan jalang, si pelacur najis itu."
"Kutuk Tuhan bagi semua pezina!" jawab budak di dekat kakiku, "wanita kotor yang menghabiskan malam-malamnya di tempat tidur para petualang birahi itu terlalu jahat untuk menjadi istri tuan kita."
"Namun sepertinya," kata budak pertama, "tuan kita ini sangatlah lugu sehingga tak memperhatikan apa yang telah dilakukan wanita jalang itu."
"Bagaimana kamu bisa mengatakan itu?" sanggah budak yang lain,
"Kesempatan apa yang perempuan itu berikan pada tuan kita ini untuk bisa mencurigainya? Setiap malam perempuan jalang itu memasukkan sesuatu ke dalam anggur yang diminum tuan kita sebelum tidur, yang membuatnya terlelap seperti orang mati.
Lalu bagaimana dia bisa tahu apa yang dilakukan atau ke mana si jalang itu pergi? Setelah membius tuan kita ini, barulah ia mengganti pakaiannya dan keluar dari istana sampai pagi.
Ketika kembali, dibakarnya wewangian di bawah hidung suaminya yang membuatnya bangun dari tidur."
Yang Mulia, ketika aku mendengar percakapan para budak itu, cahaya menjadi gelap di mataku, namun dalam ketidaksabaranku, kupikir malam itu tidak akan pernah ada.
Akhirnya istriku kembali dari hamman, dan setelah membentangkan kain, kami makan selama satu jam, dan memberi satu sama lain minum seperti kebiasaan kami.
Ketika aku meminta cangkir terakhir yang biasa aku minum setiap malam sebelum tidur, ia memberikannya kepadaku. Aku meletakkan cangkir di bibirku, tetapi aku menumpahkannya secara diam-diam ke dalam lipatan atas jubahku.
Seketika aku berbaring di tempat tidurku dan berpura-pura tertidur. Kemudian aku mendengarnya berkata:
"Tidur, kau setan, tidur, dan jangan pernah bangun. Demi Allah aku membencimu, ya, setiap inci dirimu, dan jiwaku muak ketika dekat denganmu!"
Setelah itu ia bangkit, mengenakan pakaian terbaiknya, memakai wewangian, menyandang pedangku dan pergi dari Istana.
Seketika aku bangkit dan secara diam-diam mengikutinya. Ia melintasi seluruh pasar dan akhirnya sampai di gerbang terluar kota, lalu berbicara dalam bahasa yang tak aku mengerti dan tiba-tiba kunci gembok jatuh dan pintu gerbang terbuka dengan sendirinya, dan ia pergi keluar dari kota.
Aku mengikutinya tanpa disadarinya hingga sampai ke sebuah gundukan yang terbentuk dari tumpukan sampah dimana di tengahnya terdapat sebuah rumah bundar yang dibangun dari lumpur kering dan diatapi kubah dari bahan yang sama.
Ia masuk melalui pintu rumah, sedangkan aku naik ke balkon kubah dan berbaring tanpa bersuara untuk melihat apa yang terjadi. Di bawah sana ia masuk ke dalam ruangan dimana ada pria kulit hitam yang mengerikan, dengan bibir seperti panci rebusan.
Pria itu busuk karena penyakit dan berbaring di atas tumpukan sampah tebu. Ketika melihatnya, istriku mencium telapak tangannya, membuat si pria mengangkat kepala dan berkata:
"Terkutuklah kamu, mengapa kamu begitu terlambat? Aku bisa punya pria kulit hitam lain, minum anggur dan mendapatkan anak perempuannya. Tapi aku tidak tega untuk minum karena kau tidak ada di sini."
"Tuanku, kekasih hatiku, tidak kah kau tahu bahwa aku sekarang menikah dengan sepupuku, putra pamanku, bahwa aku membencinya sampai hal yang terkecil di wajahnya dan aku dipenuhi dengan kengerian ketika berada di dekatnya?
Ah, jika bukan karena takut kamu akan datang untuk menyakiti, aku seharusnya sudah lama menghancurkan kotanya, dari puncak hingga dasar, menyisakan hanya suara burung hantu dan burung gagak di jalan-jalan, melemparkan batu-batu reruntuhannya ke luar gunung Kaf!"
"Kamu bohong, perempuan jalang," jawab si hitam, "dan aku bersumpah di atas kehormatan dan kejantanan hebat pria kulit hitam, atas keunggulan kami yang perkasa di atas semua orang kulit putih, bahwa jika kau terlambat sekali lagi setelah hari ini, maka aku akan membuangmu dan tidak pernah meletakkan tubuhku di atas tubuhmu lagi.
Pelacur tak setia, najis, perempuan kotor, kamu terlambat hanya karena kamu telah memuaskan nafsumu dengan orang lain."
Tuanku, lanjut sang pangeran muda, percayalah bahwa ketika mendengar dengan telingaku sendiri percakapan yang mengerikan itu dan melihat dengan mata kepalaku sendiri apa yang terjadi di antara keduanya, dunia terasa gelap dan tidak tahu di mana aku berada.
Lalu istriku menangis dalam kehinaan yang menjijikkan di depan si hitam, dan berkata:
"Kekasih, buah hatiku, tidak ada yang lain selain kamu; sayangku, cahaya kehidupan yang terkasih, jangan usir aku!"
Ketika akhirnya si kulit hitam memaafkannya, istriku menjadi sangat gembura. Ia lalu bangkit berdiri, menanggalkan semua pakaiannya hingga telanjang bulat.
Kemudian ia berkata:
"Tuanku, apakah kau tidak punya makan minum penyegar untuk budakmu ini?"
"Dalam panci," jawab si kulit hitam, "ada rebusan tulang tikus, dan ada bir yang bisa kamu minum."
Setelah makan dan minum, ia mencuci tangannya, lalu berbaring bersama si hitam di tempat tidur yang kumuh dan dalam ketelanjangannya ia memeluk si hitam di bawah kain yang kotor.
Ketika melihat itu, aku tidak dapat menahan diri lagi untuk melompat turun dari kubah, lalu bergegas masuk ke dalam kamar, kemudian menyambar pedang yang dibawa istriku, dan bertekad membunuh mereka berdua. Pertama aku potong si kulit hitam di lehernya dan mengira bahwa aku telah membunuhnya. (Bersambung ke Bagian 2, dari Kisah 1001 Malam)
Label:
Dongeng,
ilham,
Kisah 1001 Malam
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.