Dinasti Ciu pada zaman Cian Kok atau zaman Peperangan (403-221 SM) sudah tidak berarti
lagi sebagai negara pusat. [Awal tulisan: Tradisi, Arti dan Makna Sembahyang Besar di Kelenteng]
Pada zaman itu ada tujuh negara yang besar, yakni negeri Cee, Cho, Yan, Han, Thio, Gwi, dan Chien. Negeri Chien adalah yang paling kuat dan agresif, sehingga keenam negeri yang lain sering bersatu untuk bersama-sama menghadapi negeri Chien.
Khut Gwan ialah seorang menteri besar dan setia dari negeri Cho (340 - 278 SM). Beliau ialah seorang tokoh yang paling berhasil menyatukan keenam negeri itu untuk menghadapi negeri Chien.
Namanya sangat disegani di negeri Chien. Beliau pernah menghalangi Raja Cho Hway Ong untuk memenuhi undangan raja dari Negeri Chien ke kota Boe Kwan.
Sayang sekali Raja Chow Hway Ong tidak memperhatikan nasihat beliau, bahkan menghukumnya (Khut Gwan), akibatnya menimbulkan malapetaka bagi raja sendiri, karena kelicikan menteri-menteri dari Negeri Cho yang tidak senang terhadap Khut Gwan, seperti Khin Siang, Kong Cu Lan, Siang Kwan Tay Hu, dan lain-lain.
Orang-orang dari Negeri Chien terus berusaha menjatuhkan nama baik Khut Gwan, terutama ke hadapan raja Negeri Cho yaitu Cho Hway Ong.
Dengan bantuan menteri-menteri dari Negeri Cho yang tidak senang terhadap Khut Gwan, seorang menteri Negeri Chien yang cerdik dan licik berhasil meretakkan hubungan Khut Gwan dengan raja Negeri Cho, akibatnya Khut Gwan dipecat dari jabatannya dan berantakanlah persatuan keenam negeri itu.
Raja Cho Hway Ong bahkan terbujuk oleh janji-janji yang menyenangkan, sehingga mau datang ke negeri Chien, di sana ia ditawan dan menyesali perbuatannya sampai akhimya mangkat.
Setelah Cho Hway Ong mangkat di Negeri Chien, kini Cho Cing Siang Ong naik tahta menggantikan Cho Hway Ong, dan kembali memberi kepercayaan kepada Khut Gwan.
Keenam negeri dapat dipersatukan kembali sekalipun tidak sekokoh dahulu. Selanjutnya ia berusaha mendorong Cho Cing Siang Ong mengumpulkan orang-orang pandai, menjauhkan orang-orang rendah budi, memperkokoh kekuatan militernya untuk barisan berkuda, dengan demikian akan menaikkan martabat negaranya dan menghindarkan rakyat dari angkara murka raja dan Negeri Chien.
Akan tetapi saran-sarannya tidak ada yang dilaksanakan, bahkan menimbulkan dendam menteri-menteri dari Negeri Chien. Mereka selalu berusaha menghalangi Khut Gwan yang senantiasa mengabarkan semangat raja Cho Cing Siang Ong untuk melawan Negeri Chien.
Pada tahun 293 SM, Negeri Han dan Gwi yang melawan Negeri Chien dihancurkar dan dibinasakan oleh 240.000 rakyatnya.
Dengan adanya peristiwa ini Khut Gwan kembali difitnah dengan tuduhan akan membawa Negeri Cho mengaiami nasib scperti Negeri Han dan Gwi.
Cho Cing Siang Ong temyata lebih buruk kebijaksanaannya dari raja yang telah almarhum (Cho Hway Ong). Ia tidak hanya memecat Khut Gwan, tetapi juga menjatuhi hukuman dengan membuang ke daerah danau Tong Ting dekat sungai Bik Loo.
Khut Gwan yang bercita-cita berbakti kepada negara, menolong rakyat yang dipenahi semangat memakmurkan negara dan membuat negara menjadi sentosa, tetapi temyata beliau mendapatkan hukuman.
Di tempat pembuangan ini, Khut Gwan hampir tidak tahan dan sedih terhadap keadaan yang menyengsarakan. Hanya berkat kebijaksanaan kakak perempuannya yang bernama Khut Su, beliau dapat tentram dan rela menerima keadaan itu.
Disesuaikanlah penghidupannya dengan masyarakat sekitamya yaitu para petani. Meskipun demikian beliau tidak selalu dapat serasi dengan kchidupan demikian, karena beliau seorang bangsawan Negeri Cho, sehingga tidak dapat melupakan tanggung jawab kepada negara dan leluhurnya. Karena itu Khut Gwan sering merasa kesepian dan timbul kejemuan akan suasana kehidupannya.
Pada saat itulah beliau menemukan kenalan seorang nelayan yang ternyata orang pandai yang menyembunyikan diri dan hidup sebagai nelayan. Orang itu menyembunyikan nama sebenarnya, dan hanya menyebut dirinya Gi Hu yang artinya adalah Bapak Nelayan.
Dengan Gi Hu ini, Khut Gwan mendapatkan kawan bercakap-cakap, walaupun pandangan hidupnya tidak sejalan. Nelayan itu mempunyai pedoman meninggalkan hidup bermasyarakat yang buruk keadaannya itu, sedang Khut Gwan biar tidak mau tercemar oleh keserakahan dunia, tetapi tetap berharap dapat mengembangkan kembali jalan suci Nabi bagi kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat banyak.
Demikianlah Khut Gwan sangat akrab dengan nelayan itu. Ketenteraman Khut Gwan itu ternyata dihancurkan oleh berita hancumya ibu kota negeri Cho, tempat Bio (kuil) leluhurnya itu, yang diserbu orang-orang dari Negeri Chien.
Hal itu menjadikan Khut Gwan yang telah lanjut usia itu merasa tiada arti lagi hidupnya, setelah dirundung kebingungan dan kesedihan beliau memutuskan menjadikan dirinya yang telah tua itu menjadi tugu peringatan bagi rakyatnya akan peristiwa yang sangat menyedihkan atas tanah air dan negerinya itu. Semoga bangkit semangat rakyatnya menegakkan kebenaran dan mencuci bersih aib yang menimpa negerinya.
Ketika itu kebetulan saat Hari Suci Twan Yang, beliau mendayung perahunya ke tengah-tengah sungai Bik Loo (di Provinsi Hunan), dinyanyikan sajak-sajak ciptaannya yang telah dikenal rakyat sekitamya, yang mencurahkan curahan cinta tanah air dan rakyatnya, rakyat banyak yang tertegun mendengar semuanya itu.
Pada saat beliau sampai ke tempat yang jauh dari kerumunan orang, beliau telah menerjunkan diri ke dalam sungai yang deras alirannya dan dalam itu.
Beberapa orang yang mengetahuinya segera berusaha menolongnya, tetapi hasilnya nihil, jenazahnya pun tidak diketemukan.
Seharian Gi Hu, nelayan kawan Khut Gwan itu, dengan perahu-perahu kecil mengerahkan kawan-kawannya mencari, hasilnya sia-sia belaka.
Tahun kedua pada saat Twan Yang, ketika orang kembali merayakan Hari Suci Twan Yang, Gi Hu membawa sebuah tempurung bambu berisi beras yang dituangkannya ke dalam sungai untuk mengenang kembali dan menghormati Khut Gwan. Banyak orang yang mengikuti jejak Gi Hu itu.
Setelah 338 tahun kemudian, seorang bernama Au Hue pada suatu siang bertemu dengan seseorang yang mengaku dirinya sebagai Khut Gwan yakni Sam Li Tai Hu.
Dikatakan bahwa beras yang dikirimkan kepadanya, semuanya dimakan oleh naga-naga dan ikan-ikan sungai, dan memohon agar bila mengirimkan beras supaya menutupnya dengan daun-daun yang kasar dan berduri dan mengikatnya dengan benang sutera, karena kedua barang ini ditakuti naga-naga dan ikan-ikan sungai. Sejak itu orang mempergunakan daun bambu dan lahirlah kue cang dan ba cang yang berbentuk persegi.
Pada tahun-tahun berikutnya kebiasaan mempersembahkan beras di dalam tempurung bambu itu diganti dengan kue dari beras ketan yang dibungkus daun bambu, yang di sini kita kenal dengan nama ba cang dan kue cang.
Diadakanlah perlombaan-perlombaan perahu yang dihiasi gambar-gampar naga (Liong Cun) yang mengingatkan usaha mencari jenazah Khut Gwan pecinta negeri, satyawan dan pecinta rakyat itu.
Demikianlah setiap Hari Raya Twan selalu diadakan pula peringatan untuk Khut Gwan, seorang yang berjiwa mulia dan luruh dari Negeri Cho itu.
"Berdiam di ‘Rumah Luas’-nya dunia, berdiri pada 'Tempat Luas'-nya dunia, berjalan di ‘Jalan Agung’-nya dunia, bila berhasil cita-citanya dapat mengajak rakyat berbuat yang sama, dan bila tidak berhasil tetap berjalan seorang diri di dalam Jalan Suci.
Di dalam keadaan kaya dan berkedudukan tinggi tidak dapat tercemar, di dalam keadaan miskin dan tanpa kedudukan tidak gelisah, ancaman senjata tidak dapat menyebabkannya takluk; demikianlah seorang besar itu". (Bingcu IIIB: 2,3). [bersambung ke Makna Sembahyang Khing Hoo Ping]
Label:
Kelenteng,
Tradisi
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.