Ceng Beng (Ching Bing) adalah hari yang cerah cemerlang. “Ceng” berarti bersih dan “Beng” berarti terang. [Awal tulisan: Tradisi, Arti dan Makna Sembahyang Besar di Kelenteng]
Ceng Beng bertepatan dengan tanggal 5 April, yakni 104 hari setelah Hari Sembahyang Tung Che / Genta Rohani (22 Desember), saat matahari terletak di atas garis balik 23,5 derajat Lintang Selatan.
Pada saat ini biasanya cuacanya sangat baik, langit jernih dan suasana terang benderang, sehingga tepat bila disebut Ceng Beng.
Ceng Beng merupakan Hari Suci untuk berziarah ke makam leluhur.
Kebiasaan pada zaman kuno, lokasi makam biasanya jauh dari kediamannya, sehingga Hari Ceng Beng yang biasanya cuaca baik dihayati sebagai hari suci yang baik untuk berziarah ke makam leluhur.
Kebiasaan berziarah ke makam leluhur pada Hari Ceng Beng telah mempunyai sejarah panjang, yaitu sudah dilakukan jauh sebelum kelahiran Nabi 'Khonghucu, dihubungkan dengan saat-saat sebelum Hari Ceng Beng yaitu yang diperingati sebagai Hari Raya Makan Dingin / Han Siet Ciat.
Pada hari menjelang Ceng Beng orang jaman dahulu biasa makan makanan dingin, sehari penuh tidak menyalakan api, yaitu untuk memperingati seorang menteri suci bernama Kai Cu Thui.
Upacara Sembahyang Ceng Beng merupakan sembahyang kepada leluhur. Biasanya dimulai dengan acara sembahyang di altar keluarga (Hio Hwee) atau di Bio leluhur atau Co Bio di rumah masing-masing yang dilaksanakan pada pagi hari, kemudian dilanjutkan dengan ziarah ke makam atau menyadran ke makam leluhur.
Pada saat upacara di makam leluhur dilengkapi dengan peralatan sembahyang dan sesajian yang merupakan pernyataan sikap Laku Bakti dan kasih terhadap leluhur.
Setiba di makam, para peziarah membersihkan makam, dan peralatan upacara diletakkan secara teratur.
Karena Ceng Beng di Indonesia bukan Hari libur nasional, maka ziarah ke makam dapat dilaksanakan 10 hari sebelum hari Ceng Beng tanggal 5 April. Meski demikian, adalah lebih baik mengusahakan berziarah tepat pada saat hari Ceng Beng.
Perlengkapan sembahyang dan sesajian di altar leluhur (sembahyang di Rumah) kurang lebih terdiri atas:
1. HioLo.
2. Ting Soa
3. Hio
4. Lilin sepasang.
5. Tee Liau, terdiri atas teh, arak dan manisan.
6. Nasi, Tumpeng.
7. Sayur, masakan dan lain-lain.
8. Buah-buahan (Jeruk, Pisang, Apel, Lie, Melon)
9. Jajanan (Kue Ku, Apem, Tumpeng Wajik, Jenang, Sangkolun)
10. Wajik, diletakkan di tengah-tengah.
Perlengkapan sembahyang dapat ditambah sesuai dengan kebiasaan setempat, dengan catatan tidak bertentangan dengan maksud penghormatan terhadap leluhur.
Selain Hari Ceng Beng, hari sembahyang kepada leluhur adalah:
1. Thiam Hio pada setiap tanggal 1 dan 15 Imlek, dilaksanakan pada petang hari sebelumnya dan pada tanggal tersebut pagi dan sore hari (semuanya tiga kali).
2. Sembahyang Hari Wafat Leluhur (Co Ki), dilaksanakan pada saat Bau Si (05.00 - 07.00), sajian (bila memungkinkan) lengkap, yang paling penting adalah sayur sawi dan nasi putih.
3. Pada tutup tahun lama; dilaksanakan pada siang hari (saat Bi Si) antara pukul 13.00 - 15.00, sajian lengkap.
4. Tiong Gwan atau Tiong Yang, dilaksanakan pada tanggal 15 bulan 7 Imlek, di altar keluarga, pada saat Ngo Si (pukul 11.00 - 13.00), sajian boleh lengkap.
5. King Hoo Ping (Sembahyang Bagi Arwah Umum / arwah sahabat). Untuk sembahyang ini dibuatkan altar khusus, di halaman kelenteng atau ruang khusus atau di rumah abu umum atau Tiong Ting.
Ada beberapa tradisi yang menyertai Sembahyang Ceng Beng, yang hingga sekarang kadang-kadang masih dilakukan, yakni memberi tanda pada makam yang telah diziarahi dengan kertas "tek" berupa kertas merang berukuran panjang, ditindih dengan batu.
Kebiasaan ini dimulai sejak berdirinya Dinasti Ming di Tiongkok (1368 Maschi). Sebelum berdirinya Dinasti Ming, Tiongkok dalam kekuasaan pemerintahan Dinasti Goan / Mongol (1279-1368 M).
Menjelang keruntuhannya, kelaparan terjadi di mana-mana, sehingga timbul perlawanan rakyat di Tiongkok. Seorang pemimpin perlawanan rakyat bernama Jenderal Chu Gwan Ciang akhirnya berhasil menumbangkan dinasti Goan dan membangun Dinasti Ming, serta menjadi kaisar bergelar Bing Thai Cong.
Pada masa kalut ketika memimpin perlawanan rakyat terhadap kekuasaan Mongol, sang jenderal telah kehilangan kedua orang tuanya dan tidak dapat mengenali makamnya. Maka setelah menjadi kaisar, dimaklumatkan kepada seluruh rakyat yang akan berziarah ke makam leluhur pada hari Ceng Beng untuk merawat dan memberi tanda berupa kertas-kertas tek di atas makam yang telah diziarahi.
Setelah seluruh rakyat selesai melaksanakan kewajiban ziarahnya, ada dua makam yang tidak diberi kertas tek dan begitulah kaisar Bing Thai Cong menemukan kembali makam orang tuanya.
Demikiarilah kemudian berlangsung kebiasaan merawat kuburan dan pemberian kertas tek di atas makam yang telah diziarahi dan sampai saat ini masih tetap dilakukan oleh sebagian besar warga Tionghoa.
Ada sebuah tradisi pada saat Sembahyang Ceng Beng di Kelenteng Hok Tek Bio Purwokerto, yaitu sembahyang dilaksanakan di Pemakaman Umum Bong Muntang Purwokerto. Sebabnya adalah karena dulu pemerintahan Orde Baru sangat membatasi pelaksanaan sembahyang di rumah sehingga para umat dan simpatisan Kelenteng Hok Tek Bio Purwokerto bergotong royong mengadakan Sembahyang Ceng Beng di Rumah Ibadah.
Sebelum melakukan sembahyang di altar leluhur (secara khusus disiapkan di depan altar Thian Kong), terlebih dahulu melakukan sembahyang ke hadirat Thian Kong, lalu dilanjutkan bersembahyang kepada Kong Co Hok Tek Tjeng Sin yang selalu menjaga kehidupan semesta alam, dan bersembahyang kepada arwah leluhur, orang tua maupun saudara yang dihormati, dengan penuh harapan semoga dapat menjadi pendorong untuk selalu berperilaku luhur dan mulia.
Manusia sebagai makhluk lahiriah sudah mempunyai syarat-syarat kehidupan jasmani, dengan demikian mempunyai kesamaan dengan makhluk-makhluk lain.
Untuk kehidupan lahiriah, dorongan nafsu, perasaan, panca indra menjadi syarat mutlak, karena tanpa itu tidak ada kehidupan lahiriah.
Tetapi hidup rohaniah yang menjadi ladang tumbuh kembang benih kebajikan yang menjadi hakikat kemanusiaan, maka di satu pihak manusia memiliki benih cinta kasih, kebenaran, susila dan bijaksana, di lain pihak manusia tidak dapat bebas dari perasaan gembira, marah, sedih, senang, dan lain-lain.
Kenyataan ini meyakinkan kita bahwa hidup ini didukung oieh Kwi atau nyawa yang memungkinkan berkembangnya kehidupan lahiriah dan oieh Sien atau roh yang memungkinkan berkembangnya kehidupan batiniah atau kehidupan rohoni yang menjadi hakikat hidup manusia.
Penjelasan ini dapat dibaca di dalam Kitab Lee Ki XXIV:11 Cai Ngo, salah seorang murid Nabi bertanya “Murid telah mendengar tentang adanya nyawa dan roh (Kwi dan Sien) tetapi belum mengerti apa yang dimaksud”. Nabi menjawab: “Khi atau semangat itulah perrnyataan dari roh atau sien; kehidupan jasad atau pik itulah pemyataan dari nyawa atau kwi.
Adanya kesatuan roh dan nyawa (atau adanya keharmonisan antara kehidupan batin dan lahir di dalam penghidupan) itulah tujuan pengajaran agama.
Semua lahir pasti akan meninggal dan yang meninggal pasti kembali ke tanah. Inilah yang dinamai berhubungan dengan nyawa, maka tulang, daging atau jasad itu termasuk yang di bawah, sedangkan Khi atau semangat itu berkembang naik ke atas. Demikianlah yang menjadi sari dari semuanya itu, yaitu roh.
Kewajiban menghormati leluhur atau orang tua yang telah meninggal dalam Iman Konfusiani merupakan kewajiban Laku Bakti yang wajib dikerjakan sesuai dengan keimanan kelima dari delapan Ajaran Iman, Sing Yang Hau Su, yaitu Iman Tentang Perwalian orang tua atas anak-anaknya; Sepenuh Iman merawat Cita Berbakti.
Leluhur atau orang tua adalah perantara Tuhan Yang Mahaesa menjelmakan tiap manusia di dunia ini; maka kewajiban hormat, cinta dan berbakti kepada orang tua adalah tugas suci tiap insan yang percaya dan satya kepada Tuhan Yang Mahaesa.
Pada waktu seorang umat Konfusiani merangkapkan kedua tangan dalam satu genggaman di dalam melakukan persujudan, itu mengandung makna yang harus dihayati sebagai: Aku selalu ingat, Tuhan Yang Mahaesa menjadikan / menjelmakan aku menjadi manusia adalah dengan perantara ayah-bunda.
Manusia wajib mengamalkan Delapan Kebajikan, yakni, rendah hati, satya, dapat dipercaya, susila, menjunjung kebenaran / keadilan / kewajiban, suci hati dan tahu malu. Demikianlah menegakkan Firman Tuhan di dalam hidup, menggemilangkan kebajikan, dan mengamalkannya. Di dalam pengamalan kebajikan itulah terletak ridho dan rahmat Tuhan Yang Mahaesa, sehingga diturunkan kesentosaan dan kebahagiaan hidup.
Di dalam Iman Konfusiani dihayati bahwa laku bakti itulah pokok dari segala perilaku kebajikan; karena itu sangat dipujikan, tiap insan hendaknya tidak lupa menegakkan, mengembangkan dan mengamalkan cita berbakti.
“Seorang susilawan mengutamakan pokok, sebab setelah pokok itu tegak, maka jalan suci itu akan tumbuh dengan sendirinya: Laku bakti dan Rendah hati itulah pokok peri cinta kasih, pokok kebajikan” (Lun Gi 1:2). Oleh sebab itu, kepada para muridnya, Nabi Khongcu berpesan dengan bersabda: “Kepada orang tua saat hidup layanilah sesuai dengan kesusilaan; pada waktu meninggal dunia, makamkanlah sesuai dengan kesusilaan dan sembahyangilah sesuai dengan kesusilaan” (Lun Gi 11:5).
Di dalam Kitab Catatan Kesusilaan tertulis: “Laku Bakti itu ialah permulaan hidup beragama. Laku Bakti itu dimulai dengan memberi perawatan kepada orang tua, namun biar dapat memberi perawatan, masih sukar untuk berlaku hormat. Dapat berlaku hormat, masih sukar untuk mendapat kesentosaan. Dapat memberi kesentosaan masih sukar bagaimana menghadapi wafatnya. Dan setelah orang itu tiada lagi bila dapat hati-hati dalam perbuatan sehingga tidak memberi nama buruk kepada orang tua, inilah laku bakti.”
Di dalam Kitab Tiong Torng XVIII, dipuji laku bakti Raja Suci Bun, “Sungguh sempurna laku bakti Raja Bun dan Pangeran Ciu. Adapun yang dinamai berbakti ialah dapat melanjutkan cita-cita mulia dan dapat mengikuti usaha mulia dari leluhurnya”.
Di dalam Kitab Bakti IX, Nabi Kongcu bersabda “Di antara watak-watak makhluk yang terdapat di antara langit dan bumi ini, sesungguhnya, manusialah yang termulia. Di antara perilaku manusia tiada yang lebih besar daripada laku bakti. Di dalam laku bakti itu tiada yang lebih besar daripada kesujudan kepada Tuhan yang Maha Esa”.
Maka orang yang tidak mencintai orang tuanya, tetapi dapat mencintai orang lain, itulah kebajikan yang terbalik. Kalau tidak hormat kepada orang tuanya tetapi dapat hormat kepada orang lain, itulah kesusilaan yang terbalik. Seorang susilawan (insan kamil) tidak menghargai perilaku semacam itu. [bersambung ke Makna Hari Raya Makan Dingin]
Ceng Beng bertepatan dengan tanggal 5 April, yakni 104 hari setelah Hari Sembahyang Tung Che / Genta Rohani (22 Desember), saat matahari terletak di atas garis balik 23,5 derajat Lintang Selatan.
Pada saat ini biasanya cuacanya sangat baik, langit jernih dan suasana terang benderang, sehingga tepat bila disebut Ceng Beng.
Ceng Beng merupakan Hari Suci untuk berziarah ke makam leluhur.
Kebiasaan pada zaman kuno, lokasi makam biasanya jauh dari kediamannya, sehingga Hari Ceng Beng yang biasanya cuaca baik dihayati sebagai hari suci yang baik untuk berziarah ke makam leluhur.
Kebiasaan berziarah ke makam leluhur pada Hari Ceng Beng telah mempunyai sejarah panjang, yaitu sudah dilakukan jauh sebelum kelahiran Nabi 'Khonghucu, dihubungkan dengan saat-saat sebelum Hari Ceng Beng yaitu yang diperingati sebagai Hari Raya Makan Dingin / Han Siet Ciat.
Pada hari menjelang Ceng Beng orang jaman dahulu biasa makan makanan dingin, sehari penuh tidak menyalakan api, yaitu untuk memperingati seorang menteri suci bernama Kai Cu Thui.
Upacara Sembahyang Ceng Beng merupakan sembahyang kepada leluhur. Biasanya dimulai dengan acara sembahyang di altar keluarga (Hio Hwee) atau di Bio leluhur atau Co Bio di rumah masing-masing yang dilaksanakan pada pagi hari, kemudian dilanjutkan dengan ziarah ke makam atau menyadran ke makam leluhur.
Pada saat upacara di makam leluhur dilengkapi dengan peralatan sembahyang dan sesajian yang merupakan pernyataan sikap Laku Bakti dan kasih terhadap leluhur.
Setiba di makam, para peziarah membersihkan makam, dan peralatan upacara diletakkan secara teratur.
Karena Ceng Beng di Indonesia bukan Hari libur nasional, maka ziarah ke makam dapat dilaksanakan 10 hari sebelum hari Ceng Beng tanggal 5 April. Meski demikian, adalah lebih baik mengusahakan berziarah tepat pada saat hari Ceng Beng.
Perlengkapan sembahyang dan sesajian di altar leluhur (sembahyang di Rumah) kurang lebih terdiri atas:
1. HioLo.
2. Ting Soa
3. Hio
4. Lilin sepasang.
5. Tee Liau, terdiri atas teh, arak dan manisan.
6. Nasi, Tumpeng.
7. Sayur, masakan dan lain-lain.
8. Buah-buahan (Jeruk, Pisang, Apel, Lie, Melon)
9. Jajanan (Kue Ku, Apem, Tumpeng Wajik, Jenang, Sangkolun)
10. Wajik, diletakkan di tengah-tengah.
Perlengkapan sembahyang dapat ditambah sesuai dengan kebiasaan setempat, dengan catatan tidak bertentangan dengan maksud penghormatan terhadap leluhur.
Selain Hari Ceng Beng, hari sembahyang kepada leluhur adalah:
1. Thiam Hio pada setiap tanggal 1 dan 15 Imlek, dilaksanakan pada petang hari sebelumnya dan pada tanggal tersebut pagi dan sore hari (semuanya tiga kali).
2. Sembahyang Hari Wafat Leluhur (Co Ki), dilaksanakan pada saat Bau Si (05.00 - 07.00), sajian (bila memungkinkan) lengkap, yang paling penting adalah sayur sawi dan nasi putih.
3. Pada tutup tahun lama; dilaksanakan pada siang hari (saat Bi Si) antara pukul 13.00 - 15.00, sajian lengkap.
4. Tiong Gwan atau Tiong Yang, dilaksanakan pada tanggal 15 bulan 7 Imlek, di altar keluarga, pada saat Ngo Si (pukul 11.00 - 13.00), sajian boleh lengkap.
5. King Hoo Ping (Sembahyang Bagi Arwah Umum / arwah sahabat). Untuk sembahyang ini dibuatkan altar khusus, di halaman kelenteng atau ruang khusus atau di rumah abu umum atau Tiong Ting.
Ada beberapa tradisi yang menyertai Sembahyang Ceng Beng, yang hingga sekarang kadang-kadang masih dilakukan, yakni memberi tanda pada makam yang telah diziarahi dengan kertas "tek" berupa kertas merang berukuran panjang, ditindih dengan batu.
Kebiasaan ini dimulai sejak berdirinya Dinasti Ming di Tiongkok (1368 Maschi). Sebelum berdirinya Dinasti Ming, Tiongkok dalam kekuasaan pemerintahan Dinasti Goan / Mongol (1279-1368 M).
Menjelang keruntuhannya, kelaparan terjadi di mana-mana, sehingga timbul perlawanan rakyat di Tiongkok. Seorang pemimpin perlawanan rakyat bernama Jenderal Chu Gwan Ciang akhirnya berhasil menumbangkan dinasti Goan dan membangun Dinasti Ming, serta menjadi kaisar bergelar Bing Thai Cong.
Pada masa kalut ketika memimpin perlawanan rakyat terhadap kekuasaan Mongol, sang jenderal telah kehilangan kedua orang tuanya dan tidak dapat mengenali makamnya. Maka setelah menjadi kaisar, dimaklumatkan kepada seluruh rakyat yang akan berziarah ke makam leluhur pada hari Ceng Beng untuk merawat dan memberi tanda berupa kertas-kertas tek di atas makam yang telah diziarahi.
Setelah seluruh rakyat selesai melaksanakan kewajiban ziarahnya, ada dua makam yang tidak diberi kertas tek dan begitulah kaisar Bing Thai Cong menemukan kembali makam orang tuanya.
Demikiarilah kemudian berlangsung kebiasaan merawat kuburan dan pemberian kertas tek di atas makam yang telah diziarahi dan sampai saat ini masih tetap dilakukan oleh sebagian besar warga Tionghoa.
Ada sebuah tradisi pada saat Sembahyang Ceng Beng di Kelenteng Hok Tek Bio Purwokerto, yaitu sembahyang dilaksanakan di Pemakaman Umum Bong Muntang Purwokerto. Sebabnya adalah karena dulu pemerintahan Orde Baru sangat membatasi pelaksanaan sembahyang di rumah sehingga para umat dan simpatisan Kelenteng Hok Tek Bio Purwokerto bergotong royong mengadakan Sembahyang Ceng Beng di Rumah Ibadah.
Sebelum melakukan sembahyang di altar leluhur (secara khusus disiapkan di depan altar Thian Kong), terlebih dahulu melakukan sembahyang ke hadirat Thian Kong, lalu dilanjutkan bersembahyang kepada Kong Co Hok Tek Tjeng Sin yang selalu menjaga kehidupan semesta alam, dan bersembahyang kepada arwah leluhur, orang tua maupun saudara yang dihormati, dengan penuh harapan semoga dapat menjadi pendorong untuk selalu berperilaku luhur dan mulia.
Makna Hari Ceng Beng
Keimanan keempat dari Delapan Ajaran Iman (Pat Sing Ciam Kwi) disebut Sing Ti Kwi Sien artinya dengan sepenuh iman menyadari adanya nyawa dan roh, adanya dua kekuatan hidup yakni rohaniah dan lahiriah yang disebut roh dan nyawa.Manusia sebagai makhluk lahiriah sudah mempunyai syarat-syarat kehidupan jasmani, dengan demikian mempunyai kesamaan dengan makhluk-makhluk lain.
Untuk kehidupan lahiriah, dorongan nafsu, perasaan, panca indra menjadi syarat mutlak, karena tanpa itu tidak ada kehidupan lahiriah.
Tetapi hidup rohaniah yang menjadi ladang tumbuh kembang benih kebajikan yang menjadi hakikat kemanusiaan, maka di satu pihak manusia memiliki benih cinta kasih, kebenaran, susila dan bijaksana, di lain pihak manusia tidak dapat bebas dari perasaan gembira, marah, sedih, senang, dan lain-lain.
Kenyataan ini meyakinkan kita bahwa hidup ini didukung oieh Kwi atau nyawa yang memungkinkan berkembangnya kehidupan lahiriah dan oieh Sien atau roh yang memungkinkan berkembangnya kehidupan batiniah atau kehidupan rohoni yang menjadi hakikat hidup manusia.
Penjelasan ini dapat dibaca di dalam Kitab Lee Ki XXIV:11 Cai Ngo, salah seorang murid Nabi bertanya “Murid telah mendengar tentang adanya nyawa dan roh (Kwi dan Sien) tetapi belum mengerti apa yang dimaksud”. Nabi menjawab: “Khi atau semangat itulah perrnyataan dari roh atau sien; kehidupan jasad atau pik itulah pemyataan dari nyawa atau kwi.
Adanya kesatuan roh dan nyawa (atau adanya keharmonisan antara kehidupan batin dan lahir di dalam penghidupan) itulah tujuan pengajaran agama.
Semua lahir pasti akan meninggal dan yang meninggal pasti kembali ke tanah. Inilah yang dinamai berhubungan dengan nyawa, maka tulang, daging atau jasad itu termasuk yang di bawah, sedangkan Khi atau semangat itu berkembang naik ke atas. Demikianlah yang menjadi sari dari semuanya itu, yaitu roh.
Kewajiban menghormati leluhur atau orang tua yang telah meninggal dalam Iman Konfusiani merupakan kewajiban Laku Bakti yang wajib dikerjakan sesuai dengan keimanan kelima dari delapan Ajaran Iman, Sing Yang Hau Su, yaitu Iman Tentang Perwalian orang tua atas anak-anaknya; Sepenuh Iman merawat Cita Berbakti.
Leluhur atau orang tua adalah perantara Tuhan Yang Mahaesa menjelmakan tiap manusia di dunia ini; maka kewajiban hormat, cinta dan berbakti kepada orang tua adalah tugas suci tiap insan yang percaya dan satya kepada Tuhan Yang Mahaesa.
Pada waktu seorang umat Konfusiani merangkapkan kedua tangan dalam satu genggaman di dalam melakukan persujudan, itu mengandung makna yang harus dihayati sebagai: Aku selalu ingat, Tuhan Yang Mahaesa menjadikan / menjelmakan aku menjadi manusia adalah dengan perantara ayah-bunda.
Manusia wajib mengamalkan Delapan Kebajikan, yakni, rendah hati, satya, dapat dipercaya, susila, menjunjung kebenaran / keadilan / kewajiban, suci hati dan tahu malu. Demikianlah menegakkan Firman Tuhan di dalam hidup, menggemilangkan kebajikan, dan mengamalkannya. Di dalam pengamalan kebajikan itulah terletak ridho dan rahmat Tuhan Yang Mahaesa, sehingga diturunkan kesentosaan dan kebahagiaan hidup.
Di dalam Iman Konfusiani dihayati bahwa laku bakti itulah pokok dari segala perilaku kebajikan; karena itu sangat dipujikan, tiap insan hendaknya tidak lupa menegakkan, mengembangkan dan mengamalkan cita berbakti.
“Seorang susilawan mengutamakan pokok, sebab setelah pokok itu tegak, maka jalan suci itu akan tumbuh dengan sendirinya: Laku bakti dan Rendah hati itulah pokok peri cinta kasih, pokok kebajikan” (Lun Gi 1:2). Oleh sebab itu, kepada para muridnya, Nabi Khongcu berpesan dengan bersabda: “Kepada orang tua saat hidup layanilah sesuai dengan kesusilaan; pada waktu meninggal dunia, makamkanlah sesuai dengan kesusilaan dan sembahyangilah sesuai dengan kesusilaan” (Lun Gi 11:5).
Di dalam Kitab Catatan Kesusilaan tertulis: “Laku Bakti itu ialah permulaan hidup beragama. Laku Bakti itu dimulai dengan memberi perawatan kepada orang tua, namun biar dapat memberi perawatan, masih sukar untuk berlaku hormat. Dapat berlaku hormat, masih sukar untuk mendapat kesentosaan. Dapat memberi kesentosaan masih sukar bagaimana menghadapi wafatnya. Dan setelah orang itu tiada lagi bila dapat hati-hati dalam perbuatan sehingga tidak memberi nama buruk kepada orang tua, inilah laku bakti.”
Di dalam Kitab Tiong Torng XVIII, dipuji laku bakti Raja Suci Bun, “Sungguh sempurna laku bakti Raja Bun dan Pangeran Ciu. Adapun yang dinamai berbakti ialah dapat melanjutkan cita-cita mulia dan dapat mengikuti usaha mulia dari leluhurnya”.
Di dalam Kitab Bakti IX, Nabi Kongcu bersabda “Di antara watak-watak makhluk yang terdapat di antara langit dan bumi ini, sesungguhnya, manusialah yang termulia. Di antara perilaku manusia tiada yang lebih besar daripada laku bakti. Di dalam laku bakti itu tiada yang lebih besar daripada kesujudan kepada Tuhan yang Maha Esa”.
Maka orang yang tidak mencintai orang tuanya, tetapi dapat mencintai orang lain, itulah kebajikan yang terbalik. Kalau tidak hormat kepada orang tuanya tetapi dapat hormat kepada orang lain, itulah kesusilaan yang terbalik. Seorang susilawan (insan kamil) tidak menghargai perilaku semacam itu. [bersambung ke Makna Hari Raya Makan Dingin]
Sponsored Link
Sponsored Link
Sponsored Link
Bagikan ke:
Facebook, Twitter, WhatsApp, Telegram, Email. Print!.