Pada hari itu diadakan persembahan sesaji untuk roh-roh yang tidak berkeluarga atau yang ditelantarkan oleh keluarganya. Sebab itu dikalangan rakyat dikena! dengan sebutan Sembahyang Rebutan (Cio-ko).
Sembahyang rebutan atau Cio-ko (Qiang-gu), sering dikaitkan dengan hari raya Zhong-Yuan dari kaum Daois, atau Ulambana dari kaum Buddhis yang jatuh pada bulan-7 imlek.
Dalam pengertian agama Dao (Tao), Zhong-Yuan-Jie adalah memperingati Se-Jit / hari lahir Di Guan dari Tiga Penguasa Alam (San Guan Da Di), yang jatuh pada tanggal 15 bulan 7 Imlek, yang bertugas memberikan pengampunan atas dosa manusia (she-zui). Kemudian diadopsi oleh kaum Buddhis dengan sebutan Ulambana (Yu-lan-pen-hui), dan dilatarbelakangi kisah Mu-lian (Maudgalyayana) yang menolong ibunya dari siksa neraka.
Bagi umat Konfusius, sembahyang ini merupakan saat mewujudkan Laku Bakti sesuai dengan Deiapan Kebajikan, yang butir pertama adalah berbakti. Bila kita di kala mendapat kegembiraan dan kebahagiaan dan rahmat Thian yang Maha Esa, maka harus ingat kepada leluhur, saudara saudara, sahabat, teman sekalipun mereka telah tiada, karena arwah dan rohnya tetap abadi. Mereka wajib dihormati, dikenang dan didoakan semoga Tuhan berkenan bagi para arwah belian itu selalu di dalam Cahaya Kemuliaan Kebajikan Thian, sehingga damai dan tenteram yang abadi boleh selalu padanya. Selain itu dalam upacara sembahyang ini juga menyembahyangi, menghormati serta mendoakan semua insan yang telah mendahului walaupun orang-orang tersebut bukan leluhur. Leluhur umumnya mempunyai garis keturunan yang jelas. Tapi ada “leluhur” lain yaitu “sahabat” (hao peng) yang terdiri dari roh-roh yang tidak berkeluarga atau ahii waris, para arwah suhada, para pahlawan bangsa dan mereka ini juga tidak boleh ditelantarkan.
Jadi diperlukan satu sembahyang umum untuk menenteramkan mereka. Sebab itu Sembahyang ini disebut Sembahyang Khing Hoo Ping. Dengan demikian Upacara Sembahyang Besar ini merupakan hari raya bersama umat Tri Dharma.
Tradisi yang menyertai dalam Sembahyang Khing Hoo Ping di Kelenteng, bagi dermawan diberi kesempatan untuk menyumbangkan uang dan barang-barang yang dapat berbentuk beras, gula, minyak goreng atau bahan-bahan lain yang merupakan kebutuhan pokok.
Sifat sumbangan ini adalah sukarela, menurut kemauan dan kemampuan masing-masing penyumbang. Seusai upacara Sembahyang Khing Hoo Ping atau keesokan harinya, barang-barang sumbangan tersebut akan dibagikan kepada keluarga prasejahtera atau orang-orang yang membutuhkan yang perlu dibantu atau disumbangkan kepada Yayasan Sosial, misalnya Panti Jompo, Panti Yatim Piatu, badan sosial umat agama lain atau institusi pemerintah.
Ditinjau dari segi sosial eksternal, umat Tri Dharma tidak hanya mementingkan umatnya sendiri, malahan sebaliknya umat Tri Dharma serba toleran dan peduli terhadap masyarakat lain, terutama golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah.
Dengan demikian akan diperoleh sahabat dan tetangga yang baik, akan menghilangkan prasangka buruk, serta kecurigaan-kecurigaan lain yang tanpa alasan. Pada akhimya akan tercipta citra dan persepsi yang lebih baik masyarakat terhadap klenteng serta umatnya.
Upacara Sembahyang Khing Hoo Ping bukan merupakan sembahyang membayar kaul, hurahura, membuang sial, memuja setan atau roh yang tidak keruan, tetapi suatu acara ritual dari agama Khonghucu, serta merupakan saat umat Tri Dharma mencurahkan rasa bakti dan peduli terhadap semua umat manusia.
Ada kalanya orang mempunyai keyakinan bahwa orang yang selama hidupnya sengsara dan menderita, setelah melaksanakan upacara Sembahyang Khing Hoo Ping, maka nasibnya berangsur-angsur menjadi baik. Kendati itu adalah keyakinan, tetapi yang pasti bahwa kita telah menjalankan kebajikan.
Rangkaian Upacara Sembahyang Besar pada bulan 7 Imlek ini dimulai pada tanggal 1 bulan 7, yang disebut “buka pintu akhirat”, dan berakhir pada tanggal 30 bulan 7 yang disebut “tutup pintu akhirat”.
Sembahyang “buka akhirat” dilakukan pada tiap-tiap rumah dan diadakan di pintu depan. Di depan pintu, tiap-tiap rumah menyediakan meja sembahyang dan menyajikan “ngoseng”, hoat-kwee, miku, arak, nasi, misoa dan sesajian yang lainnya. Diatas sesajian ditancapkan sebatang hio untuk menghormati arwah “haopeng”.
Kelenteng yang memuja Te Chong Ong Bu Sha (Ksitigarbha Bodhisatva) harus melaksanakan upacara Boto, memohon Boddhisatva akhirat ini untuk “membuka pintu akhirat”.
Ringkasan Sembahyang Boto ini adalah sebagai berikut.
Pelaksanaan Upacara Sembahyang Boto (Penyebrangan Arwah) biasanya di halaman kelenteng atau di sebidang lapangan di mulut jalan, diawali dengan menegakkan tiang bambu, sebaiknya yang masih berdaun, yang pada ujungnya digantungi lentera. Tiang lentera ini disebut Deng-gao, dan dimaksudkan untuk memanggil roh. Sebaiknya tiang itu jangan terlalu tinggi; cukup 6 atau 7 meter.
Di Indonesia biasanya tiang lentera ini diganti dengan tiang bambu berujung panji-panji hitam yang disebut zhao-hun-fan (bendera pemanggil arwah). Tiang lentera ini diambil sesudah upacara usai.
Di tempat upacara Boto, dibangun “panggung penyeberangan arwah” (pu-du-tan), “barak arwah” (gu-peng), “gedung bundar” (zhuang) dan lain-lain. Di beberapa tempat ditata orang-orangan kertas, yang utama menggambarkan “Raja iblis bermuka hitam” (Jiao-mian Gui-wang) yang bertubuh tegap, berambut merah, berwajah hijau dan berlidah api.
Di Indonesia Raja iblis ini disebut “Tai-suya”, yang bertugas mengawasi agar roh-roh tidak membuat onar. Lalu ada “Roh Pelindung Kota” (Cheng-huang) dan “Roh bumi setempat” (Tu-di-gong). Lalu ada bangunan kertas yang disebut Tong-gui-suo, Han-lin-suo dan fin-shan, yang semuanya merupakan wisma untuk menampung para arwah yang hadir.
Yin-shan adalah gunungan dari kertas yang dilem dan di atasnya digambarkan tokoh-tokoh legenda seperti bhiksu Tang bersama tiga muridnya dalam perjalanan ke barat mengambil kitab Suci. Bangunan kertas bernama zhuang itu dimaksudkan sebagai sarana untuk “menyeberangkan” (chao-du) arwah orang-orang yang meninggal karena melahirkan atau tenggelam.
Bentuknya seperti tabung, tingginya kira-kira 2 meter dan tiang bambu di tengahnya ditancapkan di tanah. Di bagian atas tertulis nama para Buddha, dan dibagian tengah digambari bangunan rumah, jembatan, perahu dan lain-lain, sedang dibagian bawah tertulis nama orang-orang yang arwahnya akan diseberangkan. Pada waktu upacara, zhuang ini diputar oleh kaum wanita.
Konon arwah-arwah itu bisa naik dan keluar dari wilayah penyiksaannya seperti “kolam kotoran darah” dan “kota penasaran”. Makin banyak roh yang naik, makin berat putarannya.
Di “panggung penyebrangan arwah" (Pudutan), di atasnya digantungkan gambar San-Guan Da-Di, atau San-Bao-Foupa (Ru-Lai, Amitabha, dan Yao-Shi-Fo). Bila upacara ini diadakan di dalam kelenteng maka gambar tidak diperlukan.
Di depan panggung diletakkan “lentera penakar” (deng-dou) yang berbentuk alat penakar. Di dalamnya berisi uang logam, “pedang” (merupakan bentuk uang kuno), timbangan kecil, gunting, pengukur, payung dan pelita kecil.
Di bagian paling depan diletakkan meja sembahyang. Sesaji di atas meja ini paling beraneka, sebagian adalah “sam-seng”, dan berbagai makanan dari terigu yang dibentuk seperti burung, ayam, hewan ternak, serta tokoh-tokoh cerita.
Benda-benda ini disebut kan-wan atau kan-guo dan hanya sekadar untuk tontonan. Di bagian depan patung-patung kertas juga disediakan sesajian yang umumnya hanya satu atau dua macam saja.
Di luar panggung penyeberangan, didirikan “barak arwah” (gu-peng). Barak ini terbuat dari kayu, seperti panggung juga tapi lebih kecil, berbentuk persegi, di atasnya disediakan sesajian yang berasal dari keluarga yang menghendaki agar arwah anggota keluarganya ikut diseberangkan.
Sesajian itu biasanya terdiri dari beras dalam karung atau bakul, botol-botol anggur, beberapa karung mie, dan “ngoseng”. Di atas masing-masing barang itu ditancapkan kertas yang bertuliskan nama keluarga yang mengirim.
Disela-sela barang sesaji banyak ditancapkan bendera kecil segi tiga yang bertuliskan jing-feng yin-guang atau pu-zhao yin-guang dan lain sebagainya. Di tempat paling tinggi tertancap bendera segitiga paiing besar yang konon paling ampuh untuk melindungi penyeberangan ini.
Batang-batang hio besar yang dinyalakan di depan panggung ini menambah khidmatnya suasana.
Biasanya pada malam hari, dengan membawa obor-dan dipimpin seorang pendeta, orang-orang pergi bcrbondong-bondong ke tepi sungai atau telaga untuk “melepaskan lentera air” (fang-shui-deng) sebagai sinar penerangan bagi para arwah agar tak kesasar waktu pulang. Demikianlah ringkasan upacara sembahyang tersebut. Pelaksanaan upacara Sembahyang Khing Hoo Ping di Kelenteng Hok Tek Bio - Purwokerto dilaksanakan siang hari pada Cit-Gwee Jie-Lak.
Sesajian disiapkan di altar khusus di depan altar Thian Kong. Pada pagi hari, Locu memasang bendera berwarna hitam (Bendera Te Chong Ong Bu Sha) di halaman depan sebagai tanda meminta doa restu kepada Te Chong Ong Bu Sha untuk mengadakan Sembahyang Khing Hoo Ping dan meminta ijin agar para arwah leluhur diperkenankan hadir.
Sesajian disiapkan dari pagi, jika sudah tertata rapi dan tersusun dengan tepat barulah dimulai Sembahyang tersebut.
Tradisi yang telah berjalan dari tahun ke tahun pada acara Sembahyang Khing Hoo Ping di Kelenteng Hok Tek Bio Purwokerto adalah membagi Sembako bagi masyarakat yang kurang mampu di sekitar Rumah Ibadah.
Kebiasaan dari para umat dan simpatisan untuk menyumbang atau berdana secara sukarela pada Sembahyangan ini diterima dan dikumpulkan dari awal bulan Cit-Gwee. Sumbangan berupa beras, minyak goreng, gula dan lainnya. Bersamaan dengan Sembahyang Khing Hoo Ping ini sumbangan-sumbangan tersebut dibagikan. Dalam acara pembagian bahan-bahan kebutuhan hasil sumbangan tersebut diatur cara pembagiannya, sehingga masing-masing penerima dapat menerima sesuai dengan jatahnya serta menghindari acara rebutan yang dapat menimbulkan hal-hal yang tidak kita inginkan.
Makna Sembahyang Khing Hoo Ping
Upacara Sembahyang Khing Hoo Ping merupakan pernyataan perwujudan Cita Berbakti umat Khonghucu dengan melaksanakan sembahyang penghormatan dan pengenangan kembali atas arwah leluhur, saudara, sahabat dan umat lain yang telah wafat, serta mendoakan bagi arwah leluhur itu Thian berkenan memberikan tempat yang tenteram dan damai dalam cahaya kemuliaan kebajikan, cahaya suci Tuhan.Nabi Khonghucu bersabda “Sesungguhnya Laku Bakti itu ialah pokok akar segala Kebajikan (cinta kasih, kebenaran, susila, bijaksana dan dapat dipercaya) dan daripadanya ajaran agama berkembang” (Hau ICing 1:4). Beliau juga bersabda: “Laku Bakti itu ialah hukum suci Thian kebenaran daripada bumi dan yang wajib menjadi perilaku manusia. Hukum suci Thian dan bumi itulah yang menjadi suri teladan rakyat” (Hau KingVII:2).
Senantiasa ingatlah akan Laku Bakti, kita berbakti itulah hendaknya menjadi pedoman'(Si King III.I.IX.3). Senantiasa ingatlah kepada leluhurmu, binalah kebajikan. Paculah dirimu hldup selaras dengan Finnan Thian, maka engkau akan boleh mendapatkan baayak kebahagiaan (Si KingIII.1.6).
Dari segala makhluk di antara langit dan bumi ini, manusia adalah yang termulia. Dari segala perilaku manusia, tiada yang lebih besar daripada Laku Bakti (Hau King IX).
Laku Bakti adalah akar pokok yang menjadikan berkembang segala kebajikan sebagaimana dirumuskan di dalam Delapan Kebajikan atau Pat Tik, yaitu Bakti, Rendah hati, Satya, Dapat dipercaya, Susila, Menjunjung kebenaran, Suci hati, dan Tahu malu.
Melakukan sembahyang kepada leluhur pada bulan Chiet Gwee wajib didasari semangat bakti, penghormatan dan persembahyangan itulah diluaskan sampai kepada arwah para sahabat dan orang-orang yang telah wafat, kepada arwah umum, itulah semangat yang wajib ada di dalam Sembahyang Khing Hoo Ping.
Dengan demikian kita diingatkan untuk senantiasa tidak melupakan mensyukuri segenap rahmat Thian yang Maha Esa yang kita terima lewat orang tua dan leluhur kita, lewat para pendahulu kita dan jasa para pahlawan kita, jasa bakti mereka patut kita kenang dan hormati arwahnya kita doakan untuk kesempurnaannya.
Menjelang sembahyang Khing Hoo Ping, umat Khonghucu juga menghimpun uang dan bahan-bahan lain yang dapat disumbangkan kepada fakir miskin atau yayasan sosial, sehingga merupakan perwujudan kesetiakawanan sosial.
Di bagian lain dari Kitab Lee Ki bab IX : Lee Un atau Perkembangan Kesusilaan, tersurat: “Maka Raja Suci Purba itu berprihatin, kalau-kalau Lee (Kesusilaan) itu tidak dipahami sampai ke bawah,
maka dilakukan ibadah kepada Tee, Tuhan Yang Maha Esa di hadapan altar Kau (di selatan Luar ibu kota) dengan demikian ditetapkan tempat bersujud kepada Thian Yang Maha Esa;
dilakukan sembahyang kepada Malaikat Bumi di altar Sia (bagian utara ibu kota), dengan demikian mendapat berkah bumi;
dilakukan sembahyang di kuil leluhur (Co Bio) dengan demikian didapat pokok cinta kasih;
di altar Gunung dan sungai dilakukan penghormatan sebagai penyambutan tamu kepada para arwah (Kwi Sien); dan
di hadapan lima altar keluarga, maka didapat pokok kegiatan keluarga.
Sebutan Khing Hoo Ping atau persembahyangan kepada para sahabat itu berkait dengan upacara penghormatan sebagai penyambutan tamu kepada para arwah (Kwi Sien) di atas.
Seorang susilawan mengutamakan pokok, sebab setelah pokok itu tegak, Jalan Suci akan tumbuh, Laku Bakti dan Rendah Hati itulah pokok cinta kasih (Kebajikan) (Lun Gi 1:2). [bersambung ke Makna Sembahyang Thiong Chiu Pia]
Label: Kelenteng, Tradisi
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.