Kantor Walikota Bandung berada di Jalan Merdeka, dan Kantor Gubernur Jawa Barat lebih jauh lagi lokasinya, yaitu di Jalan Diponegoro. Disebut agak unik karena ada Masjid Raya Bandung di sisi Barat dan Pendopo Kota Bandung di sisi Selatan yang menjadi tempat tinggal resmi walikota Bandung.
Jadi meski sehari-hari walikota Bandung tidak berkantor di Kompleks Pendopo namun keberadaan alun-alun sebagai halaman luar yang luas dari penguasa tertinggi wilayah masih tetap ada.
Selfie di Alun-alun Bandung
Sayangnya setelah alun-alun menyatu dengan masjid raya, yang dahulu dipisahkan oleh seruas Jalan Alun-Alun Barat dan pernah menjadi tempat andong mangkal, maka ia seolah direduksi menjadi halaman masjid, meski peruntukannya tentunya tetap bagi seluruh golongan masyarakat, apa pun agamanya, dan bukan bagian dari pelataran atau halaman masjid.
Kami sempat berkunjung ke Alun-Alun Kota Bandung beberapa tahun lalu, tepatnya tahun 2016, sekitar 4 tahun setelah pemugaran area alun-alun oleh Walikota Ridwan Kamil dengan pemasangan rumput sintetis yang sempat menjadi pembicaraan banyak orang. Seperti biasa ada yang pro dan ada pula yang kontra.
Masuk ke area parkir yang lokasinya berada di bawah tanah dengan pencahayaan kurang, tepat di bawah alun-alun, terlihat ada lapak-lapak penjual makanan di pinggirannya yang menawarkan berbagai jajanan dan makanan khas Jawa Barat. Meski penataannya kurang rapih dan agak suram, namun ini jauh lebih baik ketimbang berjualan dan parkir di pinggir Jalan Dalem Kaum.
Setelah naik ke permukaan dengan menapaki sejumlah undakan, maka terlihat hamparan rumput sintetis Alun-Alun Kota Bandung dengan petak-petak beton yang rimbun dengan tanaman hias berwarna-warni. Suasana tidak begitu ramai saat itu, mungkin karena hari Jumat. Meski sudah sekitar pukul 4 sore namun matahari masih cukup kuat sorotnya sehingga beberapa orang terlihat menggunakan payung.
Sejarah Alun-Alun Bandung
Berdirinya Alun-Alun Bandung tak lepas dari sejarah berdirinya Kota Bandung, yang bermula dari perintah Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda ketika itu, melalui surat bertanggal 25 Mei 1810.Isi surat itu meminta Bupati Bandung R.A. Wiranatakusumah II dan Bupati Parakanmuncang (kini bagian Sumedang) Raden Aria Adiwidjaja untuk memindahkan ibukota kabupaten, masing-masing ke daerah Cikapundung dan Andawadak (Tanjungsari).
Semula ibukota Kabupaten Bandung berada di Krapyak (Dayeuhkolot) di tepi Sungai Citarum yang sering kebanjiran, sehingga R.A. Wiranatakusumah II sebenarnya memang sudah berencana untuk memindahkan pusat pemerintahannya.
Bagi Belanda, pemindahan ibukota kabupaten itu dimaksudkan agar lokasinya mendekati Jalan Raya Pos yang sedang dibangun Daendels supaya memudahkan mereka ketika hendak berkunjung ke kantor bupati. Bagian Jalan Raya Pos itu sekarang merupakan poros Jalan Jendral Sudirman, Jalan Asia Afrika, Jalan Achmad Yani, lanjut ke Sumedang dan seterusnya.
Masjid Raya Bandung dan Alun-alun Kota Bandung
Kota Bandung diresmikan sebagai ibukota baru Kabupaten Bandung dengan surat keputusan bertanggal 25 September 1810 yang ditandatangani oleh Daendels. Tanggal itu yang kemudian dijadikan sebagai hari jadi Kota Bandung dan bisa dianggap pula sebagai berdirinya Alun-Alun Kota Bandung dan Masjid Agung Bandung (kemudian berganti nama menjadi Masjid Raya Bandung).
Sampai sekitar tahun 1940-an, di tengah-tengah Alun-alun Bandung masih ada sepasang pohon beringin besar serta enam buah pohon beringin lain yang berukuran lebih kecil. Masing-masing pohon beringin besar itu diberi nama Wilhelminaboom dan Julianaboom.
Di setiap alun-alun di daerah mana pun, pohon beringin memang selalu ada. Oleh sebab baik para penguasa maupun masyarakat sama-sama percaya bahwa pohon beringin merupakan lambang kewibawaan dan kekuasaan, selain sebagai simbol pengayom rakyat, dan tentunya juga sebagai pohon peneduh karena bisa tumbuh sangat besar dan rindang.
Revitalisasi Alun-Alun Bandung
Di jaman kolonial sudah barang tentu telah dilakukan sejumlah perubahan atau pun perbaikan, namun tak tercatat atau belum ditemukan catatan tentang itu.Baru pada tahun 1950-an Alun-alun Bandung disebut mengalami revitalisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung dan menjadi taman kota. Sejumlah bangunan peninggalan era kolonial dijadikan pula sebagai benda cagar budaya.
Jembatan penghubung Alun-Alun Bandung dengan Masjid Agung yang melintang di atas Jalan Alun-Alun Barat juga pernah dibuat untuk memudahkan akses bagi masyarakat yang hendak ke masjid. Pada tahun 1973 dibuat kolam air mancur yang sempat menjadi ikon Alun-Alun Bandung.
Baik jembatan maupun Jalan Alun-Alun Barat sudah tidak ada lagi semenjak dilakukannya renovasi Masjid Agung Bandung yang dilakukan pada tahun 2001 dan selesai tahun 2003, yang merubah namanya menjadi Masjid Raya Bandung. Arsitektur masjid bernuansa tradisional dengan atap tumpang susun yang elok juga ikut lenyap digantikan bentuk kubah.
Tahun 2014, Alun-Alun Kota Bandung kembali mengalami renovasi dengan pemasangan rumput sintetis yang lebih mudah perawatannya serta lebih tahan terkena injakan para pengunjung dibanding rumput hidup. Kemudian pada tahun 2018 rumputnya diganti dengan rumput sintetis baru serta ada penambahan area bermain anak.
Mengapa disebut Alun-Alun Kota Bandung, oleh karena area alun-alun memang dibawah kewenangan Pemkot Bandung, berbeda dengan area Masjid Raya Bandung yang menjadi kewenangan pemprov Jabar.
Ketika tulisan ini dibuat, Alun-Alun Kota Bandung sedang ditutup oleh pemkot akibat membludaknya pengunjung dan ketidakdisiplinan mereka dalam menjaga kebersihan. Selain menertibkan pedagang keliling dan pengamen, pemkot juga masih harus memperbaiki parkir basement dengan memasang lampu yang cukup terang serta ada pos jaganya agar pengunjung merasa lebih nyaman dan aman.
Alun-Alun Bandung
Jl Dalem Kaum, Jl Alun-Alun Timur, Jl Asia Afrika, Balonggede, Kecamatan Regol, Kota Bandung, Jawa Barat 40251. Harga tiket masuk: Gratis. Parkir di basement 1 dan basement 2 Alun-Alun Bandung.Label: Bandung, Jawa Barat, Masjid, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.