Jalan Braga melintang relatif lurus dari Selatan ke Utara, mulai dari pertigaan dengan Jl Asia Afrika di samping Museum Konferensi Asia Afrika di sisi Selatan hingga perempatan yang menjadi pertemuan dengan Jl Wastukencana di sebelah Utara, serta Jl Perintis Kemerdekaan di sisi Timur dan Barat dimana terdapat Gedung Indonesia Menggugat.
Namun Jalan Braga yang terkenal dan banyak dikunjungi orang adalah pada penggalan jalan yang dimulai dari sekitar perempatan dengan Jl Naripan di sisi Selatan hingga area di sekitar jalan masuk ke Braga City Walk di sisi Utara.
Jaman saya masih kuliah di Bandung di akhir tahun 70-an hingga pertengahan tahun 80-an, nama Braga Stone masih berkibar di sana. Braga Stone, yang nama aslinya Supeno, adalah musisi tunanetra sejak lahir yang menyentil kecapi suling dan meniupsedot harmonika.
Landmark Jalan Braga
Disebut Braga Stone karena ia sering memainkan lagu Rolling Stone dan The Beatles di tepian Jalan Braga, di sekitar Optik A. Kasoem dekat Jl Naripan. Nada diatonik ia mainkan dengan alat musik pentatonik yang ia modifikasi sendiri.
Supeno yang lahir di Medan dari ayah Sunda dan ibu Jawa itu meninggal pada 15 Juni 1997 di usia 49 tahun, tak lama setelah konser di Shanghai bersama Bonnie Rollies. Raden Bonnie Nurdaya sendiri, gitaris dan vokalis grup musik legendaris The Rollies, wafat di Bandung pada 13 Juli 2003 di usia 54 tahun.
Kuliner di Jalan Braga
Setelah sejumlah pengusaha Belanda dan usahawan lainnya membuka toko di sana, juga bar dan tempat hiburan, maka Jalan Braga mulai ramai dikunjungi. Diantara toko-toko itu adalah Onderling Belang di Bragaweg 12 yang merupakan cabang toko sentra mode di Amsterdam.
Awal tahun 1960-an toko ini berubah menjadi Sarinah yang menjual barang kerajinan nusantara namun berhenti beroperasi tahun 1990-an dan terlantar selama lebih dari 10 tahun, sebelum kemudian menjadi Hotel de Braga by Artotel yang dibuka pada 18 Agustus 2018.
Pada periode 1920 hingga 1930-an berdiri toko dan butik pakaian di Jalan Braga yang berkiblat ke Paris. Jalan ini semakin ramai dengan berdirinya Hotel Savoy Homann, Gedung Societeit Concordia yang menjadi tempat pertemuan para elit, dan gedung lainnya yang berada tidak jauh dari Jalan Braga.
Cafe dan suasana Jalan Braga
Julukan Bandung sebagai Kota Kembang rupanya bermula dari kemunculan tempat-tempat hiburan malam dan kawasan lampu merah yang membuat Jalan Braga sangat populer di kalangan turis, sampai-sampai suatu ketika perhimpunan masyarakat Bandung membuat selebaran yang menghimbau agar para turis sebaiknya jangan ke Bandung jika tidak membawa istri.
Jalanan yang dibuat searah itu masih ramai dengan seliweran mobil, sepeda motor dan pejalan kaki di trotoar yang sudah dibuat dengan sangat baik dan cukup lebar. Sebagian badan jalan digunakan untuk parkir sepeda motor, sedangkan mobil kami parkir di kompleks Braga City Walk.
Pada suatu ketika di Jalan Braga
Toko, bakery, cafe dan tempat makan yang lumayan berkelas seleranya bisa di jumpai di Jalan Braga, selain hotel kelas menengah. Di trotoar Jalan Braga juga kami jumpai pedagang jajanan lokal menggunakan gerobak dorong.
Kami sempat mampir di sebuah cafe dengan interior yang lumayan memikat dengan pilihan makanan lokal dan ragam makanan dan minuman lainnya. Tidak ada pemain musik jalanan saat itu, namun mulai akhir tahun 2021 kabarnya sudah ada sejumlah musisi yang mulai menghubur pengunjung, membantu menghidupkan kembali Jalan Braga setelah dihantam pandemi.
Di Braga City Walk sendiri, di sekitar akses masuk dari Jalan Braga, ada cukup banyak pilihan makanan dan minuman yang sangat layak untuk dicoba, selain lapak-lapak pakaian yang menjadi ciri khas Bandung.
Namun Jalan Braga yang terkenal dan banyak dikunjungi orang adalah pada penggalan jalan yang dimulai dari sekitar perempatan dengan Jl Naripan di sisi Selatan hingga area di sekitar jalan masuk ke Braga City Walk di sisi Utara.
Jaman saya masih kuliah di Bandung di akhir tahun 70-an hingga pertengahan tahun 80-an, nama Braga Stone masih berkibar di sana. Braga Stone, yang nama aslinya Supeno, adalah musisi tunanetra sejak lahir yang menyentil kecapi suling dan meniupsedot harmonika.
Landmark Jalan Braga
Disebut Braga Stone karena ia sering memainkan lagu Rolling Stone dan The Beatles di tepian Jalan Braga, di sekitar Optik A. Kasoem dekat Jl Naripan. Nada diatonik ia mainkan dengan alat musik pentatonik yang ia modifikasi sendiri.
Supeno yang lahir di Medan dari ayah Sunda dan ibu Jawa itu meninggal pada 15 Juni 1997 di usia 49 tahun, tak lama setelah konser di Shanghai bersama Bonnie Rollies. Raden Bonnie Nurdaya sendiri, gitaris dan vokalis grup musik legendaris The Rollies, wafat di Bandung pada 13 Juli 2003 di usia 54 tahun.
Sejarah Jalan Braga
Semula Jalan Braga merupakan jalan kecil sepi yang rawan kejahatan di dekat permukiman penduduk sehingga dijuluki Jalan Culik. Sempat pula dikenal sebagai Jalan Pedati (Pedatiweg) di jaman kolonial.Kuliner di Jalan Braga
Setelah sejumlah pengusaha Belanda dan usahawan lainnya membuka toko di sana, juga bar dan tempat hiburan, maka Jalan Braga mulai ramai dikunjungi. Diantara toko-toko itu adalah Onderling Belang di Bragaweg 12 yang merupakan cabang toko sentra mode di Amsterdam.
Awal tahun 1960-an toko ini berubah menjadi Sarinah yang menjual barang kerajinan nusantara namun berhenti beroperasi tahun 1990-an dan terlantar selama lebih dari 10 tahun, sebelum kemudian menjadi Hotel de Braga by Artotel yang dibuka pada 18 Agustus 2018.
Pada periode 1920 hingga 1930-an berdiri toko dan butik pakaian di Jalan Braga yang berkiblat ke Paris. Jalan ini semakin ramai dengan berdirinya Hotel Savoy Homann, Gedung Societeit Concordia yang menjadi tempat pertemuan para elit, dan gedung lainnya yang berada tidak jauh dari Jalan Braga.
Cafe dan suasana Jalan Braga
Julukan Bandung sebagai Kota Kembang rupanya bermula dari kemunculan tempat-tempat hiburan malam dan kawasan lampu merah yang membuat Jalan Braga sangat populer di kalangan turis, sampai-sampai suatu ketika perhimpunan masyarakat Bandung membuat selebaran yang menghimbau agar para turis sebaiknya jangan ke Bandung jika tidak membawa istri.
Jalan Braga Masa Kini
Terakhir berkunjung ke Jalan Braga sebenarnya sudah agak lama, tepatnya pada tanggal 29 November 2019, hanya beberapa bulan sebelum pandemi merebak.Jalanan yang dibuat searah itu masih ramai dengan seliweran mobil, sepeda motor dan pejalan kaki di trotoar yang sudah dibuat dengan sangat baik dan cukup lebar. Sebagian badan jalan digunakan untuk parkir sepeda motor, sedangkan mobil kami parkir di kompleks Braga City Walk.
Pada suatu ketika di Jalan Braga
Toko, bakery, cafe dan tempat makan yang lumayan berkelas seleranya bisa di jumpai di Jalan Braga, selain hotel kelas menengah. Di trotoar Jalan Braga juga kami jumpai pedagang jajanan lokal menggunakan gerobak dorong.
Kami sempat mampir di sebuah cafe dengan interior yang lumayan memikat dengan pilihan makanan lokal dan ragam makanan dan minuman lainnya. Tidak ada pemain musik jalanan saat itu, namun mulai akhir tahun 2021 kabarnya sudah ada sejumlah musisi yang mulai menghubur pengunjung, membantu menghidupkan kembali Jalan Braga setelah dihantam pandemi.
Di Braga City Walk sendiri, di sekitar akses masuk dari Jalan Braga, ada cukup banyak pilihan makanan dan minuman yang sangat layak untuk dicoba, selain lapak-lapak pakaian yang menjadi ciri khas Bandung.
Sponsored Link
Sponsored Link
Sponsored Link
Bagikan ke:
Facebook, Twitter, WhatsApp, Telegram, Email. Print!.