Penampakan pada pos penjagaan pintu masuk ke dalam kawasan Curug Nangka Bogor dimana pengunjung mengeluarkan uang untuk membayar tiket. Tiket masuk per orang waktu itu adalah Rp.5.000, ditambah Rp.2.500 untuk memasuki kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, dan Rp.3.000 untuk tiket kendaraan roda empat.
Pemandangan cantik jajaran pohon pinus, yang berada tidak jauh dari tempat pos penjagaan Curug Nangka. Daun-daun gugur di tanah yang berwarna coklat orange seperti memperkaya lukisan alam.
Seekor monyet tengah bermain di sekitar tempat parkir kendaraan di Curug Nangka ketika saya datang. Beberapa monyet lainnya berlalu lalang dengan bebas di rerumputan di bawah rindang pohon pinus Curug Nangka. Pada kunjungan pertama ke Curug Nangka saya tidak melihat seekor monyet pun di tempat parkir.
Curug Nangka yang elok, dilihat dari dasar sungai di bawahnya yang harus dicapai dengan berjalan membelah tengah sungai berbatu-batu licin yang ditapaki dengan kaki telanjang.
Pemandangan ketika saya berhenti di sebuah lapangan bola untuk mengambil gambar pegunungan dalam perjalanan menuju Curug Nangka. Seekor burung walet tanpa sengaja ikut tertangkap oleh kamera.
Pemandangan lebatnya hutan rimbun hijau seprti inilah yang saya lihat saat berada di dalam kawasan Curug Nangka. Semoga kelestarian hutan di pegunungan Halimun Salak ini bisa tetap terpelihara.
Pemandangan ke arah sebuah curug kecil arah ke hulu Curug Nangka. Curug kecil di sanalah yang saya tuju pada kali pertama saya datang ke Curug Nangka.
Curug kecil ini saya capai dengan agak susah payah, melewati jalan setapak di tepi sungai, dan kadang melewati batuan di tengah sungai juga. Namun air sungainya sangat jernih dan bersih, sehingga tak tahan untuk tidak membasuh muka.
Pemandangan hutan setengah perawan dimana konon kabarnya terdapat Curug Kawung yang dipromosikan oleh anak-anak setempat jauh lebih indah ketimbang Curug Nangka.
Daun pinus yang gugur jatuh di kawasan hutan di dalam kompleks Curug Nangka ini memberi pemandangan yang cukup elok di mata. Warung-warung sederhana bisa ditemui di kawasan ini. Selain itu, minuman juga bisa dibeli dari anak-anak yang membawa gembolan minuman kemana-mana.
Jalanan diapit hutan pinus yang saya rekam saat kali kedua saya berkunjung ke Curug Nangka. Kunjungan kedua itu terjadi karena pada kunjungan sebelumnya ternyata saya belum ke lokasi Curug Nangka yang sebenarnya.
Dua diantara gerombolan monyet yang berkeliaran di area parkir Curug Nangka. Monyet-monyet itu masih terbilang sopan. Mereka tak memaksa pengunjung membayar upeti, tak mencuri barang pengunjung, dan hanya bereaksi jika diberi makanan.
Saung beberapa warung sederhana di dalam kawasan hutan pinus di area Curug Nangka terlihat pada foto ini. Kebanyakan warung-warung itu hanya buka di akhir pekan, berbeda dengan warung di area parkir yang dibuka setiap hari.
Sebagian badan sungai yang beberapa saat lagi akan kami lewati untuk mencapai dasar Curug Nangka. Jangan pernah mencoba menyusur sungai seperti ini jika tak yakin benar karena berbahaya bila hujan tiba-tiba turun di hulu sungai.
Pemandangan di bagian bawah Curug Nangka, sesaat setelah kami melewati kelokan sungai yang terakhir. Debit air terjunnya sedang tidak begitu besar karena saat itu tengah musim kemarau.
Rimbun pepohonan muda yang tumbuh pada tebing di sekitar dasar Curug Nangka tampaknya ikut membantu dalam menjaga kekuatan tebing melalui akar-akarnya yang menghunjam jauh ke dalam tanah.
Kelompok bebatuan sungai terakhir yang kami harus lewati untuk berjalan sampai ke tepian dasar air terjun. Tebing hitam di kiri kanan air yang terjun memperlihatkan lebar air terjun manakala musim hujan telah tiba.
Foto yang memperlihatkan sisi kanan dari dasar Curug Nangka dengan dinding batu padas berwarna kuning kehijauan, lain dari warna dinding padas sebelahnya yang abu-abu kehitaman. Tampaknya lumut telah tumbuh di dana.
Sisi pandang lain dari puncak Curug Nangka, memperlihatkan aliran curug di sebelah kiri yang kering dan sepertinya baru hidup pada musim penghujan. Jika saja ada dek pandang untuk bisa melihat curug dengan nyaman tanpa harus turun ke sungai tentu akan lebih aman dan menyenangkan.
Sebuah pemandangan yang bisa membuat bulu kuduk berdiri. Ratusan, mungkin ribuan, ulat pohon terlihat hilir mudik naik turun pada batang pohon yang nyaris tertutup oleh mahluk yang sangat rakus memakan dedaunan ini.
Pandangan lebih dekat pada bulu-bulu ulat dan kepalanya yang berwarna kemerahan. Tak ada mahluk yang diciptakan dan hidup tanpa sebab dan manfaat bagi alam dan manusia, demikian pula ulat bulu ini. Hanya saja kebanyakan orang tidak memahami dan tak tertarik untuk menelitinya.
Gerombolan ulat-ulat itu menduduki area permukaan batang pohon, mulai dari ujung bawah pohon yang menempel pada tanah, hingga puncak pohon serta dahan rantingnya. Tak saya tanyakan apakah mereka akan berubah menjadi kepompong, dan lalu berubah lagi menjadi kupu-kupu dengan sayap-sayapnya yang indah.
Jika saja selalu cukup makanan di hutan, mungkin saja monyet-monyet itu tak berkeliaran di area dimana manusia berada. Namun boleh jadi juga dari dulu memang monyet-monyet itu ada di sini, sebelum manusia menjadikan Curug Nangka sebagai tempat wisata.
Monyet-monyet itu berkeliaran di sekitar poho besar, mungkin sebagai tindak keamanan diri jika sewaktu-waktu merasa terancam maka mereka bisa memanjat pohon dengan cepat untuk pergi menjauh.
Monyet penyendiri yang berada di sisi sebuah pohon pinus yang besar. Adalah pengalaman yang membuat mereka sabar menunggu pengunjung melemparkan kacang untuk mengisi perutnya yang lapar.
Untuk mengisi waktu, monyet ini bermain-main dengan apa saja yang bisa diraih oleh tangannya di sekitar dimana ia duduk. Monyek ekor panjang di Curug Nangka ini kebanyakan masih menjaga jarak cukup jauh dengan manusia.
Kulit kayu pinus yang terkelupas menjadi salah satu mainan monyet jantan ini selagi menunggu derma pengunjung. Jika saja ada pemilik warung yang suka monyet, ia bisa membuat monyet-monyet itu lebih berani dengan manusia dan bahkan bisa minum teh botol sebagaimana yang saya lihat di Plangon.
Seekor capung dengan warna tubuh dan ekor yang unik terlihat hinggap di batang bambu yang menjadi jembatan penghubung di atas sebuah kali kecil. Capung atau sibar-sibar tergolong ke dalam bangsa Odonata, dengan berbagai bentuk tubuh dan ukuran dari kecil hingga cukup besar. Capung di sejumlah daerah dikenal dengan nama papatong, kinjeng, coblang, dan kasasiur.
Pandangan pada badan sungai yang kami lewati ketika menuju dan meninggalkan area kedung Curug Nangka. Resiko paling besar melewati badan sungai berbatu seperti ini adalah terpeleset, dan kamera jatuh ke air atau rusak terbentur batu.
Pandangan lain pada rambatan air terjun dengan dinding batu tinggi di Curug Nangka. Musim hujan bisa sangat berbahaya untuk melihat curug dari dekat seperti ini, karena banjir bisa datang kapan saja, dan ketika panik orang bisa berlari dan terpeleset ketika menginjak batu licin, yang bisa berakibat fatal.
Label:
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.