Turun dari dalam kendaraan saya melihat ada sebuah rumah gubuk sederhana di sebelah kiri, deretan pohon palm yang sudah tinggi berada di jalur tengah, dan bangunan Masjid Pintu Seribu Tangerang di sebelah kanan dan depan. Masjid yang aslinya bernama Nurul Yakin ini mulai dibangun pada 1960 oleh al Faqir Mahdi asal Batu Ceper, Tangerang.
Sepotong jalan kampung membelah di bawah bangunan utama Masjid Pintu Seribu Tangerang yang menjadikannya seperti sebuah lorong terowongan cukup panjang. Tak jelas benar mana yang ada terlebih dahulu, apakah jalan umum ataukah bangunan masjid. Yang pasti jalan umum itu tampaknya hanya bisa dilewati sepeda motor dan orang, dan mungkin kendaraan kecil.
Di ujung lorong Masjid Pintu Seribu Tangerang ini terdapat ruangan panjang setengah terbuka untuk sembahyang berjamaah, zikir bersama dan kegiatan spiritual lainnya. Ada mimbar dan bedug tua dengan kentonganya di sama. Di sebelah kiri ruang ini ada makam putra pendiri Masjid Pintu Seribu, yang sering diziarahi para pengunjung.
Foto di bawah adalah ruangan dengan penerangan lampu listrik yang minimal ini berada di dasar bangunan bertingkat yang berada di sebelah kiri jalan, nyaris menyerupai sel bawah tanah. Ruangan Masjid Pintu Seribu Tangerang yang agak pengap ini digunakan untuk berdzikir dalam kelompok-kelompok secara bergilir dengan dibatasi waktu dan jumlah orangnya. Untuk sampai ke ruangan ini saya harus berjalan seperti orang buta dengan menyusuri lorong sempit berliku gelap pekat yang hanya bisa dilalui satu orang.
Bedug yang sudah bobrok dengan separuh kulitnya sudah robek lepas tak berbekas. Sepasang kentongan yang mengapit bedug juga sudah banyak terkelupas permukaan kayunya. Amplifier dan sebuah jam almari diletakkan di belakang bedug.
Masih di sekitar ruangan bawah gedung itu, dengan pencahayaan sangat rendah saya sempat mengambil foto ruangan ini dengan memakai tripod, fokus manual, dan kecepatan shutter rendah, sehingga ruangan yang mestinya gelap ini bisa terlihat.
Area di puncak bangunan bertingkat Masjid Pintu Seribu ini merupakan ruangan terbuka dengan menara setengah jadi, yang lantainya kotor dan terkesan agak kumuh, karena tampaknya tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik.
Beberapa saat kemudian kami turun dengan melewati jalur berbeda dengan saat kami datang, dan perjalanan berakhir pada sebuah bangunan setengah jadi, tempat dimana saya menghirup udara segar setelah keluar dari labirin yang menggetarkan hati itu.
Label:
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.