Jembatan ke Pulo Geulis itu. Setidaknya ada tiga jembatan di lokasi lain untuk menyeberang ke Pulo Geulis. Sejenak kami berhenti di tengah jembatan untuk melihat alir Sungai Ciliwung sebelum melanjutkan langkah memasuki perkampungan Pulo Geulis yang luasnya 3,5 hektare namun dihuni lebih dari 2.500 jiwa. Dulu Pulo Geulis bernama Pulau Parakan Baranangsiang dan Rawa Bangke. Mengikuti jalan berkelok, dan rajin bertanya, kami akhirnya sampai di Kelenteng Pan Kho Bio atau Vihara Maha Brahma.
Di sisi kanan ruangan ada batu hitam besar dibalut kain hijau berornamen bunga mekar dan kuncup yang merupakan petilasan Embah Raden Mangun Jaya, salah satu karuhun atau orang yang semasa hidupnya memiliki kharisma kuat dan disegani oleh masyarakat tradisional Sunda, serta dipercayai masih merupakan keturunan dari Raja Pajajaran. Di ruang utama terdapat deretan patung para dewa.
Altar Hok Lok Soe di Kelenteng Pan Kho Bio Pulo Geulis. Hok Lok Soe berarti Rejeki Bahagia Umur panjang. Ho Lok Soe adalah dewanya para pengikut Tao yang terdiri dari tiga, yaitu Fu Shen (dewa rejeki / kekayaan, menggendong anak kecil, paling kanan), Lu Shen (dewa kebahagiaan / keturunan, tengah) dan Shou Shen (dewa panjang umur, kepala botak berjanggut putih).
Tengara pertama bergambar logo KNPI, bertanggal 15 Juni – 23 Agustus 1980 menyebut Proyek Aksi Bakti Sosial KNPI "Jembatan Pemuda", yang diresmikan pada 10 September 1980, ditandatangani dr. Abdul Gafur sebagai Menteri Muda Urusan Pemuda, dan Akbar Tanjung sebagai Ketua Umum DPP KNPI. Tengara kedua berada di bawahnya yang menyebutkan bahwa jembatan di RT 04/04 itu selesai direhab pada 26 Juni 1999, diresmikan dan ditandatangani Camat Bogor Tengah.
Wid di tengah-tengah jembatan bisa menjadi tempat yang lumayan asik untuk melihat kegiatan penduduk di sepanjang aliran Sungai Ciliwung ketika airnya sedang tidak tinggi. Jembatan ini adalah satu dari tiga jembatan penyeberangan ke Pulo Geulis.
Pemandangan Sungai Ciliwung dari atas jembatan Pulo Geulis. Sungai ini merupakan salah satu dari enam belas sungai besar yang melintasi Jakarta sebelum sampai ke laut, dan menyumbang pada banjir tahunan di sejumlah tempat di Jakarta.
Tengara Kelenteng Pan Kho Bio, yang dijaman rejim orde baru dinamai Vihara Maha Brahma, menempel pada tembok tinggi bercat kuning. Jalan masuk ke kelenteng berada di sebelahnya.
Bagian belakang Kelenteng Pan Kho Bio pada sisi yang bertulis Uyut Gebok, salah seorang karuhun yang disediakan tempat di kelenteng ini. Pada altar berundak terdapat tempat pedupaan, hiolo, dan sejumlah sesajian. Wiwi yang berkaos merah mengantar saya ke tempat ini.
Petilasan karuhun Embah Sakee dan Eyang Jayaningrat. Di sampingnya terdapat piring dengan lembar uang di atasnya, lampu minyak, hiolo, kendi, dan kotak-kotak kardus yang mungkin berisi sarung dan peci. Di atas batu sebelahnya diselampirkan sebuah sarung, peci, dan selembar selempang bahu yang biasa dipakai ustad. Lalu ada payung susun tiga dan bendera merah putih. Pada tembok menempel tulisan kaligrafi berhuruf Arab. Di ujung sana saya menemukan sajadah dan mukena, sebuah batu candi tempat untuk menancapkan batang hio, lampu minyak, piring berisi persembahan buah, sebuah batu lonjong tegak seperti nisan dibalut kain putih dan tasbih. Baru kali inilah saya menjumpai sebuah kelenteng yang menyediakan tempat buat sholat, berikut perlengkapannya …
Di Kelenteng Pan Kho Bio Pulo Geulis ada pula altar pemujaan bagi Kwan Seng Tek Kun yang lebih terkenal di Indonesia sebagai Kwan Kong (Guan Gong). Ada empat rupang Kwan Kong, satu diantaranya berukuran lebih besar. Sembahyang pada Kwan Kong adalah sembahyang keteladanan, ia dipuja karena kejujuran dan kesetiaannya.
Deretan rupang para dewa di ruang utama Kelenteng Pan Kho Bio Pulo Geulis. Wied yang baru pertama kali masuk ke dalam kelenteng tampak mengurut dagunya mencoba memaknai patung-patung itu.
Altar Pan Kho, yang merupakan tuan rumah dari Kelenteng Pan Kho Bio Pulo Geulis ini. Pan Kho lahir pada bulan 1 tanggal 6 Imlek, dan ritual untuk memperingati malam Sie Jit Kongco Pan Kho dilakukan setiap tahunnya di kelenteng ini. Altar Thu Tie Pakung ini berada tepat di bawah altar Pan Kho.
Ada yang menyamakan Thu Tie Pakung (To Ti Pa Kung) sebagai Hok Tek Ceng Sin (Dewa Bumi), ada pula yang menyebutnya sebagai adik Dewa Bumi. Namun di sebuah tulisan disebut bahwa sie jit (ulang tahun) To Ti Pa Kung jatuh pada tanggal 6 (Ce Lak) bulan 6 Imlek, sedangkan Hok Tek Ceng Sin pada tanggal 16 (Cap Lak) bulan 12 Imlek (sembahyang Mo Ya atau Be Ge).
Konon pada awalnya terjadi kegelapan dan kekacauan dimana-mana. Saat itulah muncul sebuah telur yang di dalamnya terdapat Pan Kho. Selama ribuan tahun Pan Kho tidur dan tumbuh di dalam telur, hingga ketika tubuhnya menjadi sangat besar, telur pun pecah saat ia merentangkan tangan dan kakinya. Bagian telur yang lebih ringan melayang ke atas membentuk langit, dan yang padat turun menjadi bumi. Untuk mencegah bersatunya langit dan bumi, Pan Kho berdiri diantara keduanya dengan kepala menahan langit dan kaki menjejak bumi.
Altar bagi Dai Sang Law Cin atau Thay Sang Law Cin, dewa tertua pertama dalam ajaran Tao. Dai Sang Law Cin berkali-kali turun ke dunia. Mula-mula menjadi Ban Ku She si pembuka dunia, lalu menjadi Kaisar Hwang Tee, dan kemudian menjadi Lou Tze, sehingga Tao berkembang dimana-mana.
Altar untuk Dewi Kwan Im, dengan sebuah patung besar diapit lampu berbentuk bunga teratai dan patung-patung lain yang berukuran lebih kecil. Jauh sebelum agama Buddha masuk ke daratan Cina, orang Cina telah mengenal Kwan Im Pho Sat dengan nama Pek Ie Tai Su, atau Dewi Welas Asih baju putih. Ketika agama Buddha Mahayana masuk, keberadaan Kwan Im diakomodasi sebagai penjelmaan Buddha Avalokitesvara yang turun ke bumi untuk menolong manusia dari penderitaan, dan memilih wujud wanita agar leluasa dalam memberi pertolongan kepada semua orang.
Melihat patung di altar ini saya sedikit agak ragu, apakah ini patung Buddha atau patung dewa Hindu, lantaran hampir tak pernah menjumpai patung dewa Hindu di kelenteng, kecuali di Kelenteng Sin Tek Bio Pasar Baru.
Di altar utama Kelenteng Pan Kho Bio ini berderet dari kiri ke kanan altar dan rupang Hok Lok Soe, Kwan Seng Tek Kun, Pan Kho, Dai Sang Law Cin, Kwan Im, dan patung Hindu yang tak diberi keterangan nama di depan rupangnya, serta altar Thu Tie Pakung ini berada tepat di bawah altar Pan Kho.
Di sekitar batu petilasan Embah Raden Mangun Jaya terdapat sepasang selop, kendi kecil, sepasang tombak yang ditutup kain putih, payung bersusun tiga, kotak-kotak kardus kecil, hiolo, kotak amal, dan beberapa benda lainnya. Tumpukan tinggi karung beras Cianjur “Gunung Kawi” yang akan dibagikan kepada fakir miskin diletakkan merapat ke tembok di sebelah kanannya.
Bagian depan ruang utama Kelenteng Pan Kho Bio ini dibiarkan kosong, sehingga terlihat luas. Ada tiga buah meja tempat meletakkan sesaji buah, air, tempat lilin, kertas ritual, dan bunga kuning putih. Agak terpisah di sisi kiri ada juga altar khusus dengan sebuah patung Buddha berukuran agak besar, diapit dua buah patung berukuran lebih kecil.
Di sisi kiri bagian depan terdapat sebuah joli dibungkus plastik yang biasa diarak pada perayaan Imlek, serta kotak-kota rak berisi buku-buku doa. Dari rak itu saya mengambil beberapa buah buku, setelah mendapat ijin dari Wiwi. Salah satu diantaranya adalah Kitab Peringatan Bencana Kwan Kong. Ada nasihat menarik di dalam buku ini.
Poster yang menempel di tembok Kelenteng Pan Kho Bio Pulo Geulis yang berisi legenda tentang Pan Kho (Pan Gu, Pwan Ku) yang dianggap sebagai sang kreator alam semesta dan ringkasannya telah saya tuliskan.
Pada sebuah dinding memang menempel kertas berisi Program Kegiatan Vihara Maha Brahma (Pan Kho) untuk tahun 2564/2013, yang diantaranya menyebutkan pada 30 Januari 2013 diagendakan Peringatan Maulid Nabi Muhammada SAW serta sedekah Maulud.
Di bagian depan kelenteng terdapat sebuah Hiolo Dewa Langit berkaki tiga berornamen sepasang naga berhadapan, serta ukiran kepala naga berwajah galak pada badan hiolo. Sepasang hiolo kecil diletakkan di kiri kanan merapat ke tembok.
Area di sayap kanan bangunan Kelenteng Pan Kho Bio Pulo Geulis. Di sebelah kiri adalah petilasan Eyang Prabu Surya Kencana, dimana terdapat dua patung kepala harimau hitam, patung harimau putih kecil, harimau loreng hitam kuning, dua harimau lainnya, sebuah hiolo, lampu minyak, dan sebuah kura-kura batu berukuran besar.
Petilasan berujud makam dari Embah Imam, dengan beberapa nisan batu. Ada pula sebuah kendi dan hiolo di depannya. Menurut Wiwi, petilasan ini merupakan pindahan dari Jalan Pajajaran.
Jendela hawa di kiri kanan diberi ornamen berbentuk pat-kwa dicat warna-warni, sementara lampion-lampion kecil bergelantungan di langit-langit atap teras. Sepasang pagoda tempat ritual pembakaran kertas (Kim Lo) juga ada di halaman depan Kelenteng Pan Kho Bio Pulo Geulis yang tak begitu luas ini.
Label:
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.