Relief keempat Taman Purbakala Waruga-Waruga Sawangan yang menunjukkan bahwa sebelum jasad yang meninggal dimasukkan ke dalam lubang, terlebih dahulu dimasukkan benda milik si mati, yang bisa berupa gelang, manik-manik, piring, sendok, mangkuk, uang benggol, parang, dsb.
Relief kelima Taman Purbakala Waruga-Waruga Sawangan memperlihatkan cara si mati dimasukkan ke dalam waruga, yaitu diletakkan pada posisi duduk dengan tumit kaki menempel bokong dan kepala mencium lutut, dikembalikan seperti ketika masih dalam perut ibu. Wajah si mati ini dihadapkan ke arah utara dimana konon surga berada atau tempat nenek moyang mereka berasal.
Relief di Taman Purbakala Waruga-Waruga Sawangan yang menunjukkan posisi si mati di dalam batu waruga. Kata waruga konon berasal dari kata Wale yang berati rumah, dan Maruga yang berarti badan yang akan menjadi hancur.
Di dalam kandungan ibu, posisi tubuh laki-laki dan perempuan sama, namun saat dikubur di dalam waruga orang Minahasa kuno membedakan laki-laki dan perempuan pada posisi jari-jemari tangannya. Di dalam waruga, jari-jemari tangan perempuan dibuat mengepal (relief sebelah kanan), sedangkan jari-jemari tangan laki-laki dibuat saling mengunci (relief sebelah kiri).
Ukiran pada tutup Waruga memiliki arti tertentu. Ukiran berbentuk seorang pria misalnya menunjukkan bahwa si mati adalah seorang pemimpin. Sedangkan jumlah garis (di atas ukiran orang) menunjukkan jumlah mayat yang diletakkan di dalam waruga, karena satu waruga bisa diisi oleh beberapa mayat yang berasal dari satu keluarga.
Pintu masuk ke dalam kompleks Taman Purbakala Waruga-Waruga Sawangan. Di sebelah kanan terlihat sebagian relief yang tidak sempat diambil fotonya. Pemakaian waruga di kalangan masyarakat Minahasa kuno ini diperkirakan baru terjadi pada abad IX, dan terus dipergunakan sampai dilarang pemakaiannya oleh penguasa Belanda pada 1860, karena dianggap sebagai sumber terjadinya wabah penyakit tipus dan kolera.
Sponsored Link