Kelenteng Hok Tek Bio Bogor atau Vihara Dhanagun, baru saja saya kunjungi beberapa waktu berselang. Kunjungan yang sudah lama tertunda, lantaran tidak cukup yakin dengan informasi yang saya peroleh mengenai keberadaan salah satu klenteng tertua di Kota Bogor ini. Padahal jalanan di depan kelenteng ini boleh dibilang sudah sangat sering saya lalui.
Selain gapuranya yang khas bergaya Tiongkok, pada dinding bangunan di sayap kiri Kelenteng Hok Tek Bio Bogor itu terdapat lukisan harimau belang, juga Biksu Tong Sam Chong yang duduk di punggung kuda putih, dikawal Sun Go Kong, Tie Pat Kay dan Sam Cheng, diambil dari kisah legendaris yang ada di novel Tiongkok klasik “Shi You Ji” (Perjalanan ke Barat) karya Wu Cheng-en di masa Dinasti Ming.
Tokoh fiksi Sun Go Kong, Pat Kay dan Sam Cheng, konon dibuat untuk menyindir masyarakat waktu itu. Sun Go Kong yang sombong, Pat Kay yang malas dan doyan mengumbar nafsu, serta Sam Cheng yang bodoh. Ia mengkritik perseteruan pengikut Tao, Konghucu dan Buddha di masa Dinasti Yuan dan Ming, yang membuat Tiongkok terjajah karena ketiadaan persatuan. Sebuah pengingat buat rakyat negeri ini, jika tak ingin terjajah ulang.
Gerbang masuk Vihara Danagun atau Kelenteng Hok Tek Bio Bogor memiliki bentuk atap pelana dan warna merah kuning khas oriental yang sebenarnya sangat mudah untuk dikenali ketika melihatnya. Hanya saja karena letaknya agak masuk ke dalam dari jalan besar, sehingga saya tidak pernah sekalipun melihat gerbang ini meski telah berkali-kali melewati jalan di depannya.
Pada sayap sebelah kanan bangunan klenteng Vihara Danagun ini juga terdapat lukisan dinding indah yang menggambarkan Legenda Delapan Dewa dalam ajaran Tao, yang diduga berawal pada Dinasti Tang. Mereka adalah Cao Guojiu, Han Zhongli, Han Xiangzi, He Xianggu, Lu Dongbin, Lan Caihe, Tie Guali, dan Zhang Guolao.
Senjata mereka adalah botol labu, keranjang bunga, kipas, lonceng kayu, pedang, seruling, tongkat, dan Tao yang disebut "Delapan Harta", simbol Delapan Dewa. Saya sempat melihat Ibu dan puteranya tengah bersembahyang pada Dewa Langit di depan pintu kelenteng dengan membakar hio. Sepasang singa (Bao-gu-shi) tampak berjaga di depan kelenteng.
Kelenteng Hok Tek Bio Bogor memiliki dua tungku pembakar kertas (Kim Lo) di sebelah kiri kanan depan bangunan. Di atas wuwungan terdapat patung dua ekor naga memperebutkan mustika, dan di bawah mustika bola api matahari di bagian tengah wuwungan terdapat relief dua ekor burung Hong dalam posisi yang saling berhadapan.
Di dalam kelenteng saya melihat tumpukan kertas sembahyang yang menjadi indikasi suburnya ritual di Kelenteng Hok Tek Bio Bogor ini. Makmurnya tempat peribadatan bisa menunjukkan kemakmuran spiritual dan finansial umatnya. Di ruang sebelahnya, batang-batang hio tertancap pada hiolo dengan asap membubung membawa doa-doa pembawanya ke langit, tempat para dewa bersemayam di kerajaannya. Ada pula genta cukup besar dengan bulatan menonjol berderet teratur di bagian atasnya. Sudah lama saya ingin memiliki genta semacam ini, namum belum berkesempatan mencari dimana bengkelnya berada.
Di altar utama Kelenteng Hok Tek Bio Bogor adalah untuk tuan rumah Hok Tek Ceng Sin, Dewa Bumi, pembawa rejeki bagi kaum pedagang dan masyarakat pada umumnya. Pengunjung yang bersembahyang di altar Dewa Bumi ini biasanya membakar 5 buah batang hio yang dijejer seperti kipas dengan harapan untuk memperlancar usaha mereka.
Penggunaan hio adalah 1 hio untuk kauw siu tao (revisi fisik mental), 3 hio sembahyang biasa, 5 hio usaha, 6 hio keperluan orang, 7 hio permohonan khusus dan membalikkan pada orang lain, 8 hio kesusahan terus menimpa, 9 hio semua mahluk, 12 hio semua mahluk berkah, 36 hio kesuksesan dan keharmonisan, dan 108 hio bila terdesak dan keadaan darurat.
Di klenteng ini juga ada altar pemujaan bagi Tee Tjong Ong Po Sat atau Boddhisatva Kshitigarbha, salah satu dari empat bodhisattva utama dalam Buddhisme Mahayana di Asia Timur. Tiga yang lainnya adalah Samantabhadra, Manjusri, dan Avalokitesvara. Ia sering dikenal sebagai Bodhisattva yang senantiasa menolong semua jiwa manusia yang terjatuh ke neraka. Ukiran patung Naga berukuran besar indah dengan badan melilit pilar saya jumpai di bagian dalam Klenteng Hok Tek Bio Bogor.
Pemandangan menarik lainnya adalah deretan pelita dalam gelas dengan bahan bakar minyak yang memancarkan sinar kuning kemerahan, dibalut kertas-kertas penanda pemiliknya. Jenis minyak dipilih yang tidak mengeluarkan bau dan tidak berjelaga. Saya juga melihat ada altar Eyang Raden Suryakencana Winata Mangkubumi, karuhun orang Sunda.
Raden Suryakencana adalah putera Aria Wiratanudatar, pendiri Kota Cianjur dan ayah Prabu Siliwangi. Eyang Suryakencana dan Prabu Siliwangi dipercaya bersamayam di Gunung Gede dan selalu menjaganya agar tidak meletus. Adanya altar karuhun menunjukkan penghormatan kaum pendatang kepada leluhur masyarakat tempat dimana mereka tinggal.
Ada pula altar Houw Ciong Kun, Dewa Macan, di dekat altar Dewa Bumi, dengan berbagai sajian diletakkan di meja altar. Foto seekor macan berkulit belang dipasang di altar ini. Houw Ciong Kun adalah seekor macan sakti yang merupakan pengawal Hok Tek Ceng Sin dan sering dikaitkan juga dengan keberadaan Raden Suryakencana dan Prabu Siliwangi.
Kelenteng Hok Tek Bio Bogor konon berdiri sejak 1672. Menurut penuturan seorang pria Tionghoa sepuh yang saya temui, kelenteng ini bukan yang tertua di Bogor. Adalah Kelenteng Pan Kho Bio (Maha Brahma) di daerah Pulo Geulis yang merupakan kelenteng tertua di Bogor. Pulo Geulis terletak di tengah Sungai Ciliwung, di Kelurahan Babakan Pasar, Kecamatan Bogor Tengah.
Alamat Kelenteng Hok Tek Bio berada Jl. Suryakencana No. 1, Bogor. Lokasi GPS : -6.60343, 106.799048, Waze ( smartphone Android dan iOS ). Hotel di Bogor, Peta Wisata Bogor, Tempat Wisata di Bogor.
Label:
Bogor,
Jawa Barat,
Kelenteng,
Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.