Gerbang masuk Vihara Danagun, atau Kelenteng Hok Tek Bio Bogor, yang dengan bentuk dan warna merah kuning khasnya itu sebenarnya sangat mudah untuk dikenali ketika melihatnya. Hanya saja karena letaknya agak masuk ke dalam dari jalan besar, sehingga saya tidak pernah sekalipun melihat gerbang ini meski telah berkali-kali melewati jalan di depannya.
Kelenteng Hok Tek Bio Bogor memiliki dua tungku pembakar kertas (Kim Lo) di sebelah kiri kanan depan bangunan. Di atas wuwungan terdapat patung dua ekor naga memperebutkan mustika, dan di bawah mustika bola api matahari di bagian tengah wuwungan terdapat relief dua ekor burung Hong dalam posisi yang saling berhadapan.
Pemandangan pada altar utama Kelenteng Hok Tek Bio Bogor dengan tuan rumah Hok Tek Ceng Sin, Dewa Bumi, pembawa rejeki bagi kaum pedagang dan masyarakat pada umumnya. Pengunjung yang bersembahyang di altar Dewa Bumi ini biasanya membakar 5 buah batang hio yang dijejer seperti kipas dengan harapan untuk memperlancar usaha mereka.
Altar Tee Tjong Ong Poo Sat, yang merupakan dewa pelindung arwah bagi orang-orang yang sudah mati. Dialah dewata yang menentukan bagaimana nasib para arwah setelah mereka mati.
Tumpukan kertas sembahyang yang menjadi indikasi suburnya ritual di Kelenteng Hok Tek Bio Bogor ini. Makmurnya tempat peribadatan menunjukkan kemakmuran spiritual dan finansial umatnya. Di ruang sebelah batang-batang hio tertancap pada hiolo dengan asap membubung membawa doa-doa pembawanya ke langit, tempat para dewa bersemayam.
Pemandangan yang lebih dekat pada patung sepasang naga di atap kelenteng dengan mustika matahari di tengah-tengahnya. Di bawah patung naga sangat kaya ornamen tumbuhan, bungan dan binatang, yang memenuhi sepanjang atap kelenteng. Sepasang singa penjaga di depan agak berbeda dengan kelaziman, karena meski yang satu memegang bola, namun yang satu lagi tak ada anaknya.
Sayap sebelah kanan bangunan Kelenteng Hok Tek Bio Bogor, dengan mural indah yang menggambarkan Legenda Delapan Dewa yang merupakan dewa-dewa hebat dalam ajaran Tao, dan diduga berawal pada Dinasti Tang. Mereka adalah Cao Guojiu, Han Zhongli, Han Xiangzi, He Xianggu, Lu Dongbin, Lan Caihe, Tie Guali, dan Zhang Guolao.
Bagian Kelenteng Hok Tek Bio Bogor yang berada tepat di belakang gerbang masuk, dengan halaman yang cukup luas dan terawat. Pada permukaan dinding di sayap kiri bangunan kelenteng terdapat relief harimau belang, serta Biksu Tong Sam Chong yang digambarkan sedang duduk di atas punggung seekor kuda putih, dikawal oleh Sun Go Kong, Tie Pat Kay dan Sam Cheng, dalam perjalanannya ke Barat menuju India.
Di sebelah kanan relief Delapan Dewa itu ada lagi relief naga yang berada di pojok halaman, diteduhi gerumbul bambu. Senjata yang mereka bawa adalah botol labu, keranjang bunga, kipas, lonceng kayu, pedang, seruling, tongkat, dan Tao yang disebut "Delapan Harta" dan merupakan simbol Delapan Dewa.
Seorang Ibu dan putera lelakinya tengah sembahyang pada Dewa Langit di depan pintu Kelenteng Hok Tek Bio Bogor sambil membakar beberapa batang hio. Asap hio yang mengepul pekat tampak membubung di dalam bangunan kelenteng, berasal dari sekumpulan batang hio yang dibakar oleh seorang pria. Seekor singa penjaga kelenteng (Bao-gu-shi) tampak di latar depan.
Seorang ibu tengah melakukan ritual bakar uang kertas pada Kim Lo di halaman depan Kelenteng Hok Tek Bio Bogor, disaksikan oleh puterinya yang masih mengenakan seragam sekolah. Sebuah pendidikan yang baik agar anak mengenal ritual ibadah serta maknanya sejak dini.
Sebuah meja altar yang diapit lukisan panglima perang di kiri kanannya. Pada bagian depan terdapat ukiran sepasang naga yang tengah berebut mustika di dalam sebuah lingkaran. Ekor kedua naga berada pada posisi yang berlawanan. Hiasan suluran dan bunga berada di sekelilingnya.
Ukiran patung Naga berwarna keemasan berukuran besar indah dengan badan melilit pilar terlihat di bagian dalam Kelenteng Hok Tek Bio Bogor. Agak jauh di belakang sana, di sebelah kanan pada foto juga terdapat patung naga lagi, dengan warna dominan hijau dan badan bagian bawah berwarna kuning kemerahan.
Patung naga lainnya yang juga berwarna dominan keemasan, dengan perut bagian bawah berwarna merah. Di latar belakang sana terdapat lukisan pada dinding, yang tampaknya juga merupakan lukisan Delapan Dewa. Relief Buddha tampak di sebelah kanannya, dengan sebuah lonceng keemasan menggantung di depannya.
Sebuah genta berwarna keemasan berukuran cukup besar di Kelenteng Hok Tek Bio Bogor dengan bulatan menonjol yang keluar dari badan genta dan berderet teratur di bagian atasnya. Sudah lama saya ingin memiliki genta semacam ini, namum belum berkesempatan mencari dimana bengkelnya berada.
Di latar belakang kiri adalah altar Dewi Kwan Im yang selalu ada di setiap kelenteng yang saya kunjungi. Kwan Im dipuja sebagai dewi kasih sayang dan welas asih yang memberikan pertolongan kepada siapa pun yang meminta kepadanya. Persembahan buah-buahan tampak di meja di latar depan. Pada dinding sebelah kanan terlihat lukisan dalam bentuk relief yang cantik.
Pada dinding sebelah kiri adalah relief Dewi Kwan Im dan di sebelah kanan relief rakyat dan seorang pembesar, dengan sejumlah hio dan lampu minyak di meja altar di depannya. Kwan Im (Guan Yin) masuk ke Tiongkok pada abad pertama sebelum Masehi seiring dengan masuknya agama Buddha. Kwan Im mulai dikenal di Jepang dan juga Korea sejak abad ke-7 karena pengaruh Dinasti Tang. Tibet juga mulai mengenal Kwan Im di abad ke-7 dan menyebutnya sebagai Chenrezig.
Pandangan lebih dekat pada altar nomor 2 dengan rupang Hok Tek Tjeng Sin, yang juga dikenal sebagai Twa Pekong atau Toapekong. Ternyata tidak hanya dua kelelawar, namun ada kelelawar yang mengelilingi rupang Dewa Bumi ini. Dan ada lagi rupang Dewa Bumi di sebelah kanan dengan janggut putih yang panjang. Kelelawar adalah lambang rejeki dan berkah, karena dalam bahasa Tionghoa dialek Hokkian kelelawar adalah Hok, yang sama bunyinya dengan hok (fu) yang berarti rejeki.
Deretan pelita dalam gelas di Kelenteng Hok Tek Bio dengan bahan bakar minyak lampu yang berwarna kuning kemerahan, dengan kertas-kertas penanda pemiliknya. Jenis minyak ini dipilih karena tidak mengeluarkan bau dan tidak berjelaga.
Sepasang umat tampak tengah bersembahyang di altar Eyang Raden Suryakencana Winata Mangkubumi, karuhun orang Sunda, di Kelenteng Hok Tek Bio Bogor yang menunjukkan bagaimana penghormatan kaum Tionghoa kepada leluhur masyarakat di tempat dimana mereka tinggal.
Kong Tek Tjhun Ong (Sheng Ong Kong) adalah Dewa Pelindung terutama bagi Masyarakat Lam Oa, karena ia berasal dari kota Qian Zhou, Kabupaten Nan An, Propinsi Fu Jian. Kong Tek Cun Ong bernama asli Kwee Ang Hok. Sumber lain menyebutkan bahwa Kong Tek Tjhun Ong adalah dewa Tao yang juga memiliki kedudukan tinggi namun pemujanya tidak banyak.
Pandangan lebih dekat pada altar Raden Suryakencana adalah putera Aria Wiratanudatar, pendiri kota Cianjur, dan ayah dari Prabu Siliwangi dan Prabu Sakti. Eyang Suryakencana dan Prabu Siliwangi dipercaya bersamayam di Gunung Gede dan selalu menjaganya agar tidak sampai meletus.
Pandangan lebih dekat pada altar Kong Tek Tjhun Ong (Kong Tek Cun Ong, Raja Mulia yang Memberikan Berkah Melimpah) dengan sejumlah rupang di sekelilingnya dan juga sepasang singa penjaga. Kong Tek Cung Ong merupakan dewa leluhur suku Fujian, khususnya daerah Nan An, dan sangat populer di kalangan perantauan suku Tionghoa do Indonesia dan Singapura.
Altar Houw Ciong Kun, Dewa Macan, di Kelenteng Hok Tek Bio Bogor. Houw Ciong Kun adalah seekor macan sakti yang merupakan pengawal Hok Tek Ceng Sin dan sering dikaitkan juga dengan keberadaan Raden Suryakencana dan Prabu Siliwangi.
Batang-batang hio dengan berbagai ukuran tertancap pada hiolo setelah selesai menjalankan tugasnya. Asap hio berwarna biru keunguan membubung, membawa doa-doa para pembawanya ke langit, ke tempat dimana para dewa bersemayam.
Pemandangan bagian depan kelenteng dengan relief yang diambil dari kisah yang terkenal selama berabad-abad berjudul "Shi You Ji" (Perjalanan ke Barat) berasal dari novel Cina klasik karya Wu Cheng-en, seorang sastrawan dan penyair yang hidup di masa Dinasti Ming. Tokoh fiksi Sun Go Kong, Tie Pat Kay dan Sam Cheng, diciptakan Wu Cheng-en konon untuk menyindir keadaan masyarakat waktu itu.
Sun Go Kong melambangkan kesombongan, Tie Pat Kay melambangkan kemalasan dan ketidakmampuan menahan hawa nafsu, serta Sam Cheng yang melambangkan kebodohan. Juga kritiknya pada persaingan dan perseteruan para pengikut Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme pada masa Dinasti Yuan (Mongol) dan Ming, yang membuat mereka lama terjajah karena ketiadaan persatuan.
Label:
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.