Jarak dari Situs Migit ke Petilasan Ki Ageng Mangir sekitar 9,1 km, sedangkan jarak dari Situs Migit ke Kotagede, ibukota Mataram waktu itu, 18,8 km. Sehingga bisa dimaklumi mengapa Ki Juru Mertani menasihati Senapati untuk tidak membangun Keraton dan Masjid Besar di area Situs Migit, dengan alasan keamanan oleh sebab Mataram masih bermasalah dengan Mangir.
Memasuki wilayah Mangir, kami juga menjumpai suasana selayaknya kehidupan di daerah pedesaan yang relatif tenang, teduh, dan jauh dari kebisingan lalu lalang manusia dan kendaraan bermotornya. Setelah sempat bertanya, akhirnya kami menuju arah yang benar, dan tidak lama kemudian melihat sebuah gapura yang menjadi gerbang petilasan.
Gapura masuk ke Petilasan Ki Ageng Mangir Bantul bergaya Majapahitan terbuat dari susunan batu bata telanjang, dihubungkan dengan atap menyerupai pelana bertutup genteng. Di ujung sana, di balik gapura masuk, terlihat tembok putih yang belakangan saya ketahui merupakan tempat dimana petilasan itu berada, di bawah sebuah pohon tua yang tinggi. Area petilasan berbentuk menyerupai sebuah kantung yang gemuk di ujung, dikelilingi rumah-rumah penduduk, dengan pelataran cukup luas. Pada bagian kiri petilasan terdapat semacam bale, yang ketika kami tiba telah ada beberapa orang tamu sedang bergerombol, sebagian berpakaian dinas pemerintahan, dan tengah berbincang dengan seorang bapak tua yang menjadi kuncen petilasan.
Saya pun mendekat dan bersalaman. Mereka dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan setempat. Sempat saya sampaikan bahwa sebagai merk, Jogja sudah sangat baik. Namun sayangnya kedalaman wisatanya kurang terkelola, dan peninggalan bersejarahnya banyak yang terabaikan. Setidaknya itu yang saya lihat setelah dua hari berkeliling di daerah Bantul.
Bagaimana pun saya senang bertemu mereka di Petilasan Ki Ageng Mangir, di lapangan, satu hal yang semestinya sering dilakukan pejabat pariwisata, kebudayaan, dan purbakala untuk memastikan pemeliharaan, perbaikan dan peningkatan setiap lokasi. Pelaku dan penikmat berkah wisata juga hendaknya aktif berkontribusi, sehingga terjadi sinergi.
Petilasan Ki Ageng Mangir Bantul yang saya kunjungi itu berupa sebidang tanah di bawah pohon besar tinggi dan dua pohon kecil lainnya, berpagar tembok keliling rendah yang terbagi dua area, dengan melewati pintu terbuat dari jeruji besi untuk masuk ke area utamanya. Petilasan ini termasuk yang telah memerlukan perbaikan. Tidak ada tengara, tidak ada pula ringkasan cerita.
Ada beberapa versi tentang tokoh ini. Ada yang menyebutnya memiliki nama aseli Raden Wanabaya, anak Radyan Lembuamisani (putera Brawijaya V) yang menyingkir dari keraton saat terjadi peralihan kekuasaan dari Majapahit ke Demak Bintoro. Ada pula yang menyebut sebagai anak langsung Brawijaya V dengan nama asli Raden Jaka Balud atau Raden Megatsari.
Nama Mangir dan kisah tentang Ki Ageng Mangir sepertinya menarik minat banyak orang dan tak lekang oleh waktu lantaran romantisme politiknya yang tragis. Makamnya yang separuh di dalam dan separuh di luar di makam keluarga keraton Jogja di Makam Raja-Raja Mataram Kotagede, serta keturunannya dengan Rara Pembayun yang melahirkan trah Kalapaking.
Salah satu peninggalan di Petilasan Ki Ageng Mangir adalah sebuah batu umpak berukuran cukup besar di bawah pohon tua, ditutup dengan kotak kaca tembus pandang yang sudah kusam dan kotor. Lantai keramik putih yang dipasang di dua sisi situs telah retak di beberapa tempat, mungkin terangkat oleh akar pohon yang membesar seiring berjalannya waktu.
Besarnya umpak yang menjadi dasar tiang rumah ini bisa menjadi indikasi ukuran kayu yang digunakan, dan besarnya rumah yang ditopangnya. Umpak Petilasan Ki Ageng Mangir terlihat kurang terawat. Di atas cungkup kaca dipasang atap pelindung yang terlihat telah reot dimakan waktu.
Kisah tentang tokoh ini sudah sering saya baca, yang rupanya bersumber dari Babad Mangir. Menurut cerita, adalah seorang gadis putri Demang Jalegong yang hamil karena meletakkan di atas pangkuannya sebilah keris yang dipinjamkan Ki Ageng Mangir saat berlangsung merti desa. Gadis itu lalu melahirkan ular yang diberi nama Baru Klinting.
Setelah dewasa dan menjadi ular raksasa yang sakti, Baru Klinting diberi tahu ibunya siapa bapaknya. Baru Klinting pun nekad datang ke Mangir untuk meminta pertanggungjawaban dan meminta diakui sebagai anak. Ki Ageng menyetujui permintaan itu, namun dengan syarat Baru Klinting sanggup melingkari Gunung Merapi dengan tubuhnya.
Baru Klinting menyanggupi, namun saat ia melingkari Gunung Merapi ternyata masih kurang sedikit, sehingga ia pun menjulurkan lidahnya agar menyentuh ekornya. Saat itulah Ki Ageng memotong lidah Baru Klinting, dan potongan lidah itu berubah menjadi tombak sakti bernama Tombak Kyai Baru Klinting atau Baru Kuping yang menjadi tombak pusaka Mangir.
Ketika berbicara tentang Ki Ageng Mangir, umumnya orang merujuk pada Ki Ageng Mangir III yang terpikat oleh Rara Pembayun, anak Panembahan Senapati yang menyamar sebagai sinden. Ketika menghadap sebagai menantu Ki Ageng konon tewas di tangan Panembahan Senapati. Ini terjadi karena Ki Ageng tidak bersedia tunduk kepada kekuasaan Mataram.
Sungguh menyenangkan hati dan menyegarkan rasa karena bisa berkunjung ke tempat-tempat yang menjadi bagian ingatan saya semasa masih kecil. Lebih-lebih, obrolan dengan kuncen petilasan membawa saya ke petilasan Ki Ageng Mangir lainnya, yaitu Situs Lingga Yoni.
Petilasan Ki Ageng Mangir Bantul
Alamat: Dusun Mangir, Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Bantul, Yogyakarta. Lokasi GPS : -7.90441, 110.28009, Waze. Jam buka : sepanjang hari dan malam. Harga tiket masuk : gratis, sumbangan diharapkan. Tempat Wisata di Bantul, Peta Wisata Bantul, Hotel di Yogyakarta.Label: Bantul, Mangir, Petilasan, Wisata, Yogyakarta
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.