Situs Lingga Yoni Mangir Bantul Yogyakarta berada di pekarangan luas di Dusun Mangir, Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Bantul. Jaraknya ke Petilasan Ki Ageng Mangir tidak lebih dari 125 m. Namun karena harus melewati jalan desa yang membentuk huruf U dengan kaki panjang, maka jarak keduanya melembung menjadi 900 m.
Dekatnya jarak menjadi petunjuk bahwa keduanya memiliki hubungan rapat. Awalnya sempat ragu ketika tiba di dekat situs, lantaran tak ada nama. Ada gapura terbuka dengan dinding bata merah. Di dalamnya ada rumah tinggal, sejajar tembok bata, sehingga sungkan untuk masuk. Ketika hendak beranjak pergi, lewatlah seorang penduduk, yang darinya saya mendapat kepastian bahwa Situs Lingga Yoni memang di dalam area berpagar dinding bata merah itu. Saya pun batal pergi dan masuk ke dalam melewati gapura. Rumah terlihat sepi, dan ada lubang pada dinding bata di seberang rumah, saya melangkah memasukinya.
Halaman sebelah dalam yang dikelilingi tembok bata merah telanjang ini cukup luas, dan di sisi sebelah kiri terlihatlah sebuah bangunan persegi dua tingkat yang juga terbuat dari susunan bata merah telanjang, dihubungkan oleh sejumlah undakan. Di tingkat teratas terdapat candi dan dua pelinggih. Jelas bahwa ini adalah sebuah bangunan Hindu.
Bangunan Situs Lingga Yoni Mangir dengan undakan berjumlah sembilan menuju tingkat pertama. Bambu panjang berhias janur kuning yang mulai mengering ditancapkan di sebelah undakan terbawah. Entah upacara apa yang sebelumnya berlangsung di tempat ini. Saya pun melangkah mendekat dan menaiki undakan, dengan melepas alas kaki di anak tangga.
Adanya peninggalan Lingga Yoni di situs Mangir ini, boleh jadi menjadi petunjuk bahwa Ki Ageng Mangir Wanabaya adalah seorang penganut agama Hindu. Lagi pula ia adalah keturunan kedua atau ketiga dari putera Raja Brawijaya V, yang menyingkir dari keraton bersamaan dengan munculnya Demak Bintoro sebagai pusat kekuasaan baru di tanah Jawa.
Tidak ada apa-apa di bangunan tingkat satu, selain undakan menuju lantai dua yang berjumlah enam buah. Undakan ini agak unik, lantaran seperti terputus dengan lantai yang dihubungkannya. Setidaknya ada 22 batu bata tidur yang menyusun dinding lantai dua bangunan ini, dimana terdapat sebuah candi kecil yang terbuat dari batu hitam.
Yang menarik pada candi yang bentuknya menyerupai miniatur Kori Agung ini adalah adanya relief seperti lambang Kerajaan Mataram di atas pintu, yang biasanya tempat relief Kala. Tidak ada arca pada ruang kecil di bagian atas pelinggih yang berada di sisi sebelah kiri. Sedangkan di sisi kanan candi terdapat lingga yoni pada puncak pelinggih.
Penampakan bangunan candi di bagian tengah Situs Lingga Yoni Mangir menyerupai miniatur Kori Agung itu. Pintu kecil berukir warna keemasan yang indah berada di puncak anak tangga, diapit sepasang naga, diteduhi sepasang payang berjumbai berwarna kuning dan putih. Pelinggih dengan Lingga Yoni tampak berada di sisi sebelah kanannya.
Sesaat sebelum meninggalkan Situs Lingga Yoni Mangir, seorang remaja yang lewat memberitahu bahwa pengurusnya tinggal di seberang lubang masuk tadi. Saya pun berjalan menghampiri pintu rumah dan mengetuknya. Keluar seorang wanita yang memberitahu bahwa si bapak tengah beristirahat. Ketika hendak beranjak pergi, ternyata si bapak sudah bangun. Tidak lama kemudian keluar seorang pria sepuh. Ia adalah Ki Suwandoyo, pensiunan TNI-AD berpangkat kapten yang saat itu telah berusia 85 tahun. Suaranya masih cukup jelas, demikian pula pendengarannya masih relatif baik untuk orang seusia itu. Cerita pun mengalir, meski kadang tidak berurutan, membuat saya agak kerepotan mencatatnya.
Pada 1983 ia mendapat penglihatan gaib bertemu Ki Ageng Mangir di sebuah gua yang dindingnya terkelupas seperti bekas dicakar. Belum pernah ia melihat gua itu, dan tidak pula tahu dimana tempatnya. Tombak pusaka Kyai Barukuping atau Kyai Baruklinting milik Ki Ageng bersandar pada dinding gua, dan saat itulah Ki Ageng memberi perintah: "Kowe sing kuwat lan bisa nglestarekke Mangir" (Kamu yang kuat dan bisa melestarikan Mangir).
Setelah peristiwa itu Ki Suwandoyo berusaha mencari dimana letak gua yang diperlihatkan kepadanya lewat wangsit itu, termasuk ke Gua Widodaren, sekitar Bromo, sampai ke Gua di Penanggungan. Akhirnya pada 1984 Ki Suwandoyo menemukan gua dimana ia bertemu Ki Ageng Mangir itu, Gua Selomangleng di Kediri. Gua yang beberapa bulan lalu sempat saya kunjungi.
Menurut Ki Suwandoyo, Ki Ageng Mangir sebenarnya tidak bisa mati, namun daripada mertuanya yang mati maka ia memilih menjadi tumbal. Kuburan Ki Ageng Mangir yang sesungguhnya tidaklah berada di kompleks Makam Raja-Raja Mataram Kotagede, namun di Dusun Saralaten, Sidakarta, Godean. Konon jasad Ki Ageng Mangir dibawa oleh Ki Demang Tangkilan lewat pintu belakang, dan diam-diam dimakamkan.
Adalah Soewarno yang lewat sejumlah laku batin 'menemukan' makam Ki Ageng Mangir di Dusun Saralaten itu pada 1969 dan kemudian memugarnya pada 1976. Karenanya Ki Suwandoyo percaya bahwa bakal ada satu peristiwa dimana Panembahan Senapati akan meminta maaf kepada Ki Ageng Mangir, lantaran sebagai ksatria ia belum melakukan yang seharusnya oleh sebab telah membunuh Ki Ageng Mangir saat lengah.
Ada pula yang konon mendapat pesan Ratu Kidul bahwa Senapati belum mendapatkan tempat mulia lantaran peristiwa itu juga. Pada 1985, Ki Suwandoyo yang sebelumnya bertugas dan tinggal di Bali sehingga kerap dipanggil mBah Bali, akhirnya tiba di situs Lingga Yoni ini. Menurutnya ini merupakan tempat pokok peninggalan Ki Ageng Mangir yang wilayah tanah perdikannya telah diratakan dengan tanah oleh Panembahan Senapati.
Pada 1985 Ki Suwandoyo mendapat ijin Balai Purbakala untuk mendudukkan Lingga Yoni di tempat yang lebih baik. Situs itu mulai dibangunnya pada 1986, namun tanahnya masih pinjaman yang kemudian dibebaskannya secara bertahap. Selama 26 tahun ia membebaskan tanah sekitar 1 ha, sedangkan seharusnya pekarangan Ki Ageng Mangir ini luasnya 2,5 Ha, dengan tiga buah regol. Sisanya masih dimiliki penduduk.
Ki Suwandoyo dan Yoanita, puteri Ki Suwandoyo. Yoanita ikut bergabung beberapa saat sebelum saya meninggalkan Situs Lingga Yoni Mangir, lantaran ada keinginan Ki Suwandoyo yang belum juga terlaksana, yaitu membuat semacam buku panduan yang bisa diberikannya kepada pengunjung situs. Ia meminta Yoanita sebagai penghubung, jika saya bisa membantu. Ketika pertama kali selesai memugar, Ki Suwandoyo menanggap wayang, yaitu pada 7 Oktober 1986. Dalangnya Ki Timbul Hadiprayitno, dan karena ada kaitan dengan Mangir maka ia hanya mbayar separuh tarif. Sampai saat itu ia telah menyelanggarakan empat kali wayangan, yang terakhir dihadiri Gus Dur pada 28 Desember 2008. Setahun sebelum ia meninggal.
Ki Suwandoyo mengatakan bahwa Lingga Yoni adalah tempat pemujaan tertua bagi penganut agama Hindu Siwa, sebelum munculnya candi setelah abad ke-6 Masehi. Sebagai tempat sembahyang, ada area di Situs Lingga Yoni Mangir yang tanahnya berbau harum, lantaran menjadi tempat mengalirnya air kembang sembahyang. Pepohonan tidak bisa tumbuh di situ, dan sekarang tanah itu sudah dibeton agar wanginya lestari.
Ki Suwandoyo juga menyebutkan bahwa batu umpak di Petilasan Ki Ageng Mangir yang saya kunjung beberapa saat sebelum berkunjung ke situs Lingga Yoni Mangir ini adalah batu sendi pelinggih taksu, serta Situs Selo Gilang adalah tempat beristirahatnya Rara Pembayun, ketika tengah menyamar menjadi sinden untuk memikat hati Ki Ageng Mangir Wanabaya.
Ada lagi keinginan Ki Suwandoyo, yaitu membuat replika rumah Ki Ageng Mangir. Namun ditegaskannya ia tak menerima sumbangan, walau penghasilannya hanya dua juta sebagai pensiunan kapten, tak seperti dulu di Bali bisa usaha minyak. Bukannya menolak, namun pemberian itu hendaknya ke "panjenenganipun" (untuk Ki Ageng Mangir). Ia berprinsip jangan sampai tangan menengadah, meminta-minta, atas nama Ki Ageng Mangir.
Ki Suwandoyo juga berpesan, jika bertemu keturunan Ki Ageng Mangir agar disampaikan bahwa di tempat itulah petilasan Mangir berada. Sebab ia mendengar banyak keturunan Mangir tinggal di daerah barat, tempat pelarian ketika Mangir ditumpas Panembahan Senapati. Ia tampaknya berharap, agar keturunan Mangir yang masih terserak tergerak hatinya untuk datang dan menghidupkan kembali ruh Mangir.
Dekatnya jarak menjadi petunjuk bahwa keduanya memiliki hubungan rapat. Awalnya sempat ragu ketika tiba di dekat situs, lantaran tak ada nama. Ada gapura terbuka dengan dinding bata merah. Di dalamnya ada rumah tinggal, sejajar tembok bata, sehingga sungkan untuk masuk. Ketika hendak beranjak pergi, lewatlah seorang penduduk, yang darinya saya mendapat kepastian bahwa Situs Lingga Yoni memang di dalam area berpagar dinding bata merah itu. Saya pun batal pergi dan masuk ke dalam melewati gapura. Rumah terlihat sepi, dan ada lubang pada dinding bata di seberang rumah, saya melangkah memasukinya.
Halaman sebelah dalam yang dikelilingi tembok bata merah telanjang ini cukup luas, dan di sisi sebelah kiri terlihatlah sebuah bangunan persegi dua tingkat yang juga terbuat dari susunan bata merah telanjang, dihubungkan oleh sejumlah undakan. Di tingkat teratas terdapat candi dan dua pelinggih. Jelas bahwa ini adalah sebuah bangunan Hindu.
Bangunan Situs Lingga Yoni Mangir dengan undakan berjumlah sembilan menuju tingkat pertama. Bambu panjang berhias janur kuning yang mulai mengering ditancapkan di sebelah undakan terbawah. Entah upacara apa yang sebelumnya berlangsung di tempat ini. Saya pun melangkah mendekat dan menaiki undakan, dengan melepas alas kaki di anak tangga.
Adanya peninggalan Lingga Yoni di situs Mangir ini, boleh jadi menjadi petunjuk bahwa Ki Ageng Mangir Wanabaya adalah seorang penganut agama Hindu. Lagi pula ia adalah keturunan kedua atau ketiga dari putera Raja Brawijaya V, yang menyingkir dari keraton bersamaan dengan munculnya Demak Bintoro sebagai pusat kekuasaan baru di tanah Jawa.
Tidak ada apa-apa di bangunan tingkat satu, selain undakan menuju lantai dua yang berjumlah enam buah. Undakan ini agak unik, lantaran seperti terputus dengan lantai yang dihubungkannya. Setidaknya ada 22 batu bata tidur yang menyusun dinding lantai dua bangunan ini, dimana terdapat sebuah candi kecil yang terbuat dari batu hitam.
Yang menarik pada candi yang bentuknya menyerupai miniatur Kori Agung ini adalah adanya relief seperti lambang Kerajaan Mataram di atas pintu, yang biasanya tempat relief Kala. Tidak ada arca pada ruang kecil di bagian atas pelinggih yang berada di sisi sebelah kiri. Sedangkan di sisi kanan candi terdapat lingga yoni pada puncak pelinggih.
Penampakan bangunan candi di bagian tengah Situs Lingga Yoni Mangir menyerupai miniatur Kori Agung itu. Pintu kecil berukir warna keemasan yang indah berada di puncak anak tangga, diapit sepasang naga, diteduhi sepasang payang berjumbai berwarna kuning dan putih. Pelinggih dengan Lingga Yoni tampak berada di sisi sebelah kanannya.
Sesaat sebelum meninggalkan Situs Lingga Yoni Mangir, seorang remaja yang lewat memberitahu bahwa pengurusnya tinggal di seberang lubang masuk tadi. Saya pun berjalan menghampiri pintu rumah dan mengetuknya. Keluar seorang wanita yang memberitahu bahwa si bapak tengah beristirahat. Ketika hendak beranjak pergi, ternyata si bapak sudah bangun. Tidak lama kemudian keluar seorang pria sepuh. Ia adalah Ki Suwandoyo, pensiunan TNI-AD berpangkat kapten yang saat itu telah berusia 85 tahun. Suaranya masih cukup jelas, demikian pula pendengarannya masih relatif baik untuk orang seusia itu. Cerita pun mengalir, meski kadang tidak berurutan, membuat saya agak kerepotan mencatatnya.
Pada 1983 ia mendapat penglihatan gaib bertemu Ki Ageng Mangir di sebuah gua yang dindingnya terkelupas seperti bekas dicakar. Belum pernah ia melihat gua itu, dan tidak pula tahu dimana tempatnya. Tombak pusaka Kyai Barukuping atau Kyai Baruklinting milik Ki Ageng bersandar pada dinding gua, dan saat itulah Ki Ageng memberi perintah: "Kowe sing kuwat lan bisa nglestarekke Mangir" (Kamu yang kuat dan bisa melestarikan Mangir).
Setelah peristiwa itu Ki Suwandoyo berusaha mencari dimana letak gua yang diperlihatkan kepadanya lewat wangsit itu, termasuk ke Gua Widodaren, sekitar Bromo, sampai ke Gua di Penanggungan. Akhirnya pada 1984 Ki Suwandoyo menemukan gua dimana ia bertemu Ki Ageng Mangir itu, Gua Selomangleng di Kediri. Gua yang beberapa bulan lalu sempat saya kunjungi.
Menurut Ki Suwandoyo, Ki Ageng Mangir sebenarnya tidak bisa mati, namun daripada mertuanya yang mati maka ia memilih menjadi tumbal. Kuburan Ki Ageng Mangir yang sesungguhnya tidaklah berada di kompleks Makam Raja-Raja Mataram Kotagede, namun di Dusun Saralaten, Sidakarta, Godean. Konon jasad Ki Ageng Mangir dibawa oleh Ki Demang Tangkilan lewat pintu belakang, dan diam-diam dimakamkan.
Adalah Soewarno yang lewat sejumlah laku batin 'menemukan' makam Ki Ageng Mangir di Dusun Saralaten itu pada 1969 dan kemudian memugarnya pada 1976. Karenanya Ki Suwandoyo percaya bahwa bakal ada satu peristiwa dimana Panembahan Senapati akan meminta maaf kepada Ki Ageng Mangir, lantaran sebagai ksatria ia belum melakukan yang seharusnya oleh sebab telah membunuh Ki Ageng Mangir saat lengah.
Ada pula yang konon mendapat pesan Ratu Kidul bahwa Senapati belum mendapatkan tempat mulia lantaran peristiwa itu juga. Pada 1985, Ki Suwandoyo yang sebelumnya bertugas dan tinggal di Bali sehingga kerap dipanggil mBah Bali, akhirnya tiba di situs Lingga Yoni ini. Menurutnya ini merupakan tempat pokok peninggalan Ki Ageng Mangir yang wilayah tanah perdikannya telah diratakan dengan tanah oleh Panembahan Senapati.
Pada 1985 Ki Suwandoyo mendapat ijin Balai Purbakala untuk mendudukkan Lingga Yoni di tempat yang lebih baik. Situs itu mulai dibangunnya pada 1986, namun tanahnya masih pinjaman yang kemudian dibebaskannya secara bertahap. Selama 26 tahun ia membebaskan tanah sekitar 1 ha, sedangkan seharusnya pekarangan Ki Ageng Mangir ini luasnya 2,5 Ha, dengan tiga buah regol. Sisanya masih dimiliki penduduk.
Ki Suwandoyo dan Yoanita, puteri Ki Suwandoyo. Yoanita ikut bergabung beberapa saat sebelum saya meninggalkan Situs Lingga Yoni Mangir, lantaran ada keinginan Ki Suwandoyo yang belum juga terlaksana, yaitu membuat semacam buku panduan yang bisa diberikannya kepada pengunjung situs. Ia meminta Yoanita sebagai penghubung, jika saya bisa membantu. Ketika pertama kali selesai memugar, Ki Suwandoyo menanggap wayang, yaitu pada 7 Oktober 1986. Dalangnya Ki Timbul Hadiprayitno, dan karena ada kaitan dengan Mangir maka ia hanya mbayar separuh tarif. Sampai saat itu ia telah menyelanggarakan empat kali wayangan, yang terakhir dihadiri Gus Dur pada 28 Desember 2008. Setahun sebelum ia meninggal.
Ki Suwandoyo mengatakan bahwa Lingga Yoni adalah tempat pemujaan tertua bagi penganut agama Hindu Siwa, sebelum munculnya candi setelah abad ke-6 Masehi. Sebagai tempat sembahyang, ada area di Situs Lingga Yoni Mangir yang tanahnya berbau harum, lantaran menjadi tempat mengalirnya air kembang sembahyang. Pepohonan tidak bisa tumbuh di situ, dan sekarang tanah itu sudah dibeton agar wanginya lestari.
Ki Suwandoyo juga menyebutkan bahwa batu umpak di Petilasan Ki Ageng Mangir yang saya kunjung beberapa saat sebelum berkunjung ke situs Lingga Yoni Mangir ini adalah batu sendi pelinggih taksu, serta Situs Selo Gilang adalah tempat beristirahatnya Rara Pembayun, ketika tengah menyamar menjadi sinden untuk memikat hati Ki Ageng Mangir Wanabaya.
Ada lagi keinginan Ki Suwandoyo, yaitu membuat replika rumah Ki Ageng Mangir. Namun ditegaskannya ia tak menerima sumbangan, walau penghasilannya hanya dua juta sebagai pensiunan kapten, tak seperti dulu di Bali bisa usaha minyak. Bukannya menolak, namun pemberian itu hendaknya ke "panjenenganipun" (untuk Ki Ageng Mangir). Ia berprinsip jangan sampai tangan menengadah, meminta-minta, atas nama Ki Ageng Mangir.
Ki Suwandoyo juga berpesan, jika bertemu keturunan Ki Ageng Mangir agar disampaikan bahwa di tempat itulah petilasan Mangir berada. Sebab ia mendengar banyak keturunan Mangir tinggal di daerah barat, tempat pelarian ketika Mangir ditumpas Panembahan Senapati. Ia tampaknya berharap, agar keturunan Mangir yang masih terserak tergerak hatinya untuk datang dan menghidupkan kembali ruh Mangir.
Situs Lingga Yoni Mangir Bantul
Alamat : Dusun Mangir, Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Bantul, Yogyakarta. Lokasi GPS : -7.90537, 110.2797, Waze. Rujukan : Tempat Wisata di Bantul, Peta Wisata Bantul, Hotel di Yogyakarta.Sponsored Link
Sponsored Link
Sponsored Link
Bagikan ke:
Facebook, Twitter, WhatsApp, Telegram, Email. Print!.