Makam Sunan Ampel Surabaya berada di dalam kompleks makam tua di belakang Masjid Ampel, melewati jalan di samping masjid dan melintasi tiga gapura paduraksa. Ketika melewati sebuah gapura, seorang penjaga berkata bahwa pengunjung tidak diperbolehkan memotret Makam Sunan Ampel, dan saya pun menurutinya.
Meski demikian foto Makam Sunan Ampel bisa ditemukan di banyak situsweb, dan jika tujuannya untuk melindungi privasi, maka muka peziarah bisa disamarkan tanpa harus membuat larangan memotret. Lepas dari hal tak perlu itu, lingkungan di kompleks Makam Sunan Ampel tidak jauh beda dengan area di sekitar Masjid Ampel, yaitu bersih, meski cat tembok gapura sudah mulai kelihatan berlumut dan perlu dicat ulang.
Makam Sunan Ampel menjadi salah satu tengara fisik bagi kehidupan salah seorang tokoh Walisongo yang berperan besar dalam mengembangkan ajaran agama Islam di tanah Jawa. Berkembangnya Islam di Jawa berlangsung pada masa surutnya Kerajaan Majapahit, menyusul lahirnya Kesultanan Demak Bintoro yang Islam.
Gapura ini saya lewati ketika menuju lokasi ke Makam Sunan Ampel, yang jika dilihat letaknya maka gapura itulah yang disebut sebagai Gapuro Madep, yang artinya menghadap (kiblat). Setiap gapura memang memiliki nama dengan arti tertentu. Makam yang sangat luas ini juga menjadi tempat pemakaman para santri dan pengikutnya. Sebelum melewati gapura paduraksa terakhir, saya berhenti di depan Makam Mbah Shonhaji, atau Mbah Bolong.
Konon ketika orang-orang meragukan arah kiblat Masjid Ampel yang ditetapkannya, Mbah Bolong membuat lubang pada dinding dengan jarinya, dan dari lubang itu para santri bisa melihat Ka'bah yang berada di Mekah.
Mbah Bolong adalah bekas Nakhoda kapal, sehingga bisa jadi ia menggunakan pengetahuannya tentang ilmu falak atau ilmu perbintangan untuk menetapkan arah kiblat. Sebagai pelaut tentu ia sangat faham tentang posisi bintang di langit untuk menetapkan arah.
Gapuro Paneksen juga saya lewati saat menuju ke lokasi Makam Sunan Ampel Surabaya. Gapuro Paneksen melambangkan Rukun Islam yang pertama, syahadat, bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusannya. Kebersihan kompleks Makam Sunan Ampel ini bisa dilihat pada foto di atas.
Setelah melewati gapura paduraksa yang terakhir terdapat sebuah pendopo tempat berteduh, sementara halamannya yang luas dilapis paving block rapi dan bersih, serta dinaungi beberapa batang pohon pelindung. Kabarnya para peziarah banyak yang berkunjung pada hari Jumat, atau pada hari libur, dan semakin banyak lagi menjelang dan selama bulan puasa.
Di dalam area makam terlihat deretan gentong berisi air yang dialirkan dari sebuah sumur di kompleks Masjid Ampel yang konon mengandung tuah. Entah benar entah tidak, tuah yang pasti dimiliki oleh air yang ada di mana saja, sepanjang itu bersih dan tidak mengandung bahan berbahaya, adalah mampu menghilangkan haus dahaga.
Masih di dalam kompleks Makam Sunan Ampel Surabaya terdapat pula Petilasan Sunan Kalijaga yang berpagar besi terpisah dari kompleks makam utama. Sunan Kalijaga adalah salah satu sunan wali songo yang dikenal gemar bepergian dalam menjalankan dakwahnya, sehingga petilasannya bisa dijumpai sampai di Cirebon.
Selain itu ada pula Petilasan Sunan Kalijaga di Gresik, dan Makam Sunan Kalijaga di Kadilangu, Demak. Yang disebut terkhir merupakan makam dimana jasad sang sunan disemayamkan. Adalah Sunan Bonang, putera Sunan Ampel, yang kemudian merubah jalan hidup Raden Said sehingga akhirnya menjadi ulama terkenal dan disegani berjuluk Sunan Kalijaga.
Makam Sunan Ampel letaknya bersebelahan dengan makam Dewi Condrowati (Nyai Ageng Manila), isteri pertamanya yang merupakan puteri Adipati Tuban Arya Teja. Dari Condrowati, Sunan Ampel memiliki anak Siti Syariah (istri Sunan Kudus), Siti Mutmainah (istri Sunan Gunung Jati), Siti Khafshah (istri Sunan Kalijaga), Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) dan Raden Qosim (Sunan Drajad Sedayu)
Sedangkan dari isteri keduanya yang bernama Dewi Karimah, Sunan Ampel menurunkan Dewi Murthosiah (menikah dengan Sunan Giri) dan Dewi Murthosimah (menikah dengan Raden Fatah). Sunan Ampel diperkirakan lahir pada tahun 1401 di Champa. Ada beberapa versi mengenai asal usul Sunan Ampel, yang bisa dibaca di Wikipedia.
Sayang saya tidak memotret makam Mbah Soleh yang jumlahnya sembilan buah, karena konon ia meninggal sembilan kali. Semasa hidupnya, Mbah Soleh bertanggung jawab menjaga kebersihan Masjid Ampel, dan saat itu lantai masjid selalu bersih dari debu.
Masjid Ampel menjadi kotor ketika Mbah Soleh meninggal, dan Sunan Ampel pun berucap bahwa jika Mbah Soleh hidup maka masjid akan menjadi bersih kembali. Konon Mbah Soleh pun hidup kembali, demikian berlangsung sampai ia dikubur sembilan kali, dan tidak hidup lagi setelah Sunan Ampel wafat. Kisah ini tampaknya yang menginspirasi dan membuat kompleks Masjid dan Makam Sunan Ampel selalu bersih dan terawat.
Meski demikian foto Makam Sunan Ampel bisa ditemukan di banyak situsweb, dan jika tujuannya untuk melindungi privasi, maka muka peziarah bisa disamarkan tanpa harus membuat larangan memotret. Lepas dari hal tak perlu itu, lingkungan di kompleks Makam Sunan Ampel tidak jauh beda dengan area di sekitar Masjid Ampel, yaitu bersih, meski cat tembok gapura sudah mulai kelihatan berlumut dan perlu dicat ulang.
Makam Sunan Ampel menjadi salah satu tengara fisik bagi kehidupan salah seorang tokoh Walisongo yang berperan besar dalam mengembangkan ajaran agama Islam di tanah Jawa. Berkembangnya Islam di Jawa berlangsung pada masa surutnya Kerajaan Majapahit, menyusul lahirnya Kesultanan Demak Bintoro yang Islam.
Gapura ini saya lewati ketika menuju lokasi ke Makam Sunan Ampel, yang jika dilihat letaknya maka gapura itulah yang disebut sebagai Gapuro Madep, yang artinya menghadap (kiblat). Setiap gapura memang memiliki nama dengan arti tertentu. Makam yang sangat luas ini juga menjadi tempat pemakaman para santri dan pengikutnya. Sebelum melewati gapura paduraksa terakhir, saya berhenti di depan Makam Mbah Shonhaji, atau Mbah Bolong.
Konon ketika orang-orang meragukan arah kiblat Masjid Ampel yang ditetapkannya, Mbah Bolong membuat lubang pada dinding dengan jarinya, dan dari lubang itu para santri bisa melihat Ka'bah yang berada di Mekah.
Mbah Bolong adalah bekas Nakhoda kapal, sehingga bisa jadi ia menggunakan pengetahuannya tentang ilmu falak atau ilmu perbintangan untuk menetapkan arah kiblat. Sebagai pelaut tentu ia sangat faham tentang posisi bintang di langit untuk menetapkan arah.
Gapuro Paneksen juga saya lewati saat menuju ke lokasi Makam Sunan Ampel Surabaya. Gapuro Paneksen melambangkan Rukun Islam yang pertama, syahadat, bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusannya. Kebersihan kompleks Makam Sunan Ampel ini bisa dilihat pada foto di atas.
Setelah melewati gapura paduraksa yang terakhir terdapat sebuah pendopo tempat berteduh, sementara halamannya yang luas dilapis paving block rapi dan bersih, serta dinaungi beberapa batang pohon pelindung. Kabarnya para peziarah banyak yang berkunjung pada hari Jumat, atau pada hari libur, dan semakin banyak lagi menjelang dan selama bulan puasa.
Di dalam area makam terlihat deretan gentong berisi air yang dialirkan dari sebuah sumur di kompleks Masjid Ampel yang konon mengandung tuah. Entah benar entah tidak, tuah yang pasti dimiliki oleh air yang ada di mana saja, sepanjang itu bersih dan tidak mengandung bahan berbahaya, adalah mampu menghilangkan haus dahaga.
Masih di dalam kompleks Makam Sunan Ampel Surabaya terdapat pula Petilasan Sunan Kalijaga yang berpagar besi terpisah dari kompleks makam utama. Sunan Kalijaga adalah salah satu sunan wali songo yang dikenal gemar bepergian dalam menjalankan dakwahnya, sehingga petilasannya bisa dijumpai sampai di Cirebon.
Selain itu ada pula Petilasan Sunan Kalijaga di Gresik, dan Makam Sunan Kalijaga di Kadilangu, Demak. Yang disebut terkhir merupakan makam dimana jasad sang sunan disemayamkan. Adalah Sunan Bonang, putera Sunan Ampel, yang kemudian merubah jalan hidup Raden Said sehingga akhirnya menjadi ulama terkenal dan disegani berjuluk Sunan Kalijaga.
Makam Sunan Ampel letaknya bersebelahan dengan makam Dewi Condrowati (Nyai Ageng Manila), isteri pertamanya yang merupakan puteri Adipati Tuban Arya Teja. Dari Condrowati, Sunan Ampel memiliki anak Siti Syariah (istri Sunan Kudus), Siti Mutmainah (istri Sunan Gunung Jati), Siti Khafshah (istri Sunan Kalijaga), Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) dan Raden Qosim (Sunan Drajad Sedayu)
Sedangkan dari isteri keduanya yang bernama Dewi Karimah, Sunan Ampel menurunkan Dewi Murthosiah (menikah dengan Sunan Giri) dan Dewi Murthosimah (menikah dengan Raden Fatah). Sunan Ampel diperkirakan lahir pada tahun 1401 di Champa. Ada beberapa versi mengenai asal usul Sunan Ampel, yang bisa dibaca di Wikipedia.
Sayang saya tidak memotret makam Mbah Soleh yang jumlahnya sembilan buah, karena konon ia meninggal sembilan kali. Semasa hidupnya, Mbah Soleh bertanggung jawab menjaga kebersihan Masjid Ampel, dan saat itu lantai masjid selalu bersih dari debu.
Masjid Ampel menjadi kotor ketika Mbah Soleh meninggal, dan Sunan Ampel pun berucap bahwa jika Mbah Soleh hidup maka masjid akan menjadi bersih kembali. Konon Mbah Soleh pun hidup kembali, demikian berlangsung sampai ia dikubur sembilan kali, dan tidak hidup lagi setelah Sunan Ampel wafat. Kisah ini tampaknya yang menginspirasi dan membuat kompleks Masjid dan Makam Sunan Ampel selalu bersih dan terawat.
Makam Sunan Ampel Surabaya
Alamat : Kompleks Masjid Ampel, Jl. Ampel Suci 45 / Jl. Ampel Masjid 53, Surabaya. Lokasi GPS : -7.23073, 112.74275, Waze. Jam buka : sepanjang waktu. Harga tiket masuk : gratis, sumbangan diharapkan. Hotel di Surabaya, Tempat Wisata di Surabaya, Peta Wisata Surabaya.Sponsored Link
Sponsored Link
Sponsored Link
Bagikan ke:
Facebook, Twitter, WhatsApp, Telegram, Email. Print!.