Adalah tambang batubara yang membuat Belanda berkepentingan untuk membangun sejumlah gedung dan fasilitas pendukung lainnya di Sawahlunto, baik sebagai tempat berkantornya pejabat pemerintahan kolonial dan aparat, juga sebagai tempat hiburan agar warganya betah tinggal di sana.
Jalur transportasi darat untuk mengangkut batubara dari area pertambangan hingga ke pelabuhan Teluk Bayur pun dibangun Belanda, baik berupa jalan maupun jalur kereta api yang hingga kini masih ada. Banjirnya mobil buatan Jepang di era orba membuat angkutan kereta api hidup segan mati tak mau dan banyak rel ditimbun aspal atau terlantar.
Tampak muka Gedung Pusat Kebudayaan Sawahlunto ini mengingatkan saya pada bangunan Rumah Sakit Darmo yang ada di Surabaya oleh sebab dinding bagian depannya yang berbentuk segitiga, khas dari jaman kolonial. Jika bangunan di Surabaya itu pada puncak gevelnya terdapat ornamen menara kayu pendek dengan penangkal petir di pucuknya, maka di gedung yang ada di Sawahlunto ini ada ornamen seperti tugu kecil.
Gedung ini pada jaman kolonial dulu dikenal dengan nama "Gluck Auf" atau 'Semoga beruntung', mungkin sebagai semacam harapan bagi para pejabat dan masyarakat keturunan Belanda yang tinggal di sana dalam mengeruk kekayaan alam setempat. Tinggal di daerah pendudukan tentu bukanlah hal yang mudah, karena meski di permukaan bisa saja kehidupan terlihat tenang dan bersahabat namun mereka tahu bahwa selalu ada yang bergolak di dalam sanubari rakyat yang terjajah.
Seorang bapak tengah menggandeng anak kecil, entah cucu atau anaknya, melintas di halaman depan Gedung Pusat Kebudayaan Sawahlunto, sementara dua orang pria tengah menunggui kursi yang hendak diangkut setelah dipakai untuk sebuah acara. Nama gedung sudah dibuat dengan cukup cantik di bagian atas teras depan, meski jika berwarna putih atau perak mungkin akan lebih baik ketimbang hijau.
Tampak samping ini memperlihatkan bentuk bangunan dengan akses lengkung dan teras yang disesuaikan dengan alam tropis di Sawahlunto dengan tingginya curah hujan dan suhu udara yang relatif tinggi. Tugu-tugu kecil dengan ornaman batu memperkuat kesan sebagai bangunan tua, mengingatkan saya pada bangunan yang ada di kampus ITB di Bandung. Ada sebuah tulisan pada dinding depan yang memberikan informasi mengenai latar belakang dan sejarah gedung tua ini.
Selasar Gedung Pusat Kebudayaan Sawahlunto yang tampak masih aseli, meski kekurangkebersihan dinding dan pintunya agak mengurangi keanggunannya. Oleh sebab pemerintahan kota datang dan pergi setiap lima tahun, kadang sepuluh tahun, maka tanpa perda yang mengikat untuk alokasi anggaran dan periode pemeliharaan benda cagar budaya menjadikan nasibnya bergantung pada kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa.
Daerah Sawahlunto mulai menghasilkan batu bara sejak 1892, yang hingga tahun 1898 mengandalkan tenaga para narapidana yang dibayar murah. Tiga tahun sebelumnya pemerintah kolonial memulai pembangunan jalur kereta api yang baru tersambung pada tahun 1894. Sedangkan Gedung Pusat Kebudayaan Sawahlunto baru dibangun 16 tahun setelah itu, yaitu pada 1910, dan digunakan sebagai Gedung Pertemuan (Societeit).
Suasana di dalam Gedung Pusat Kebudayaan Sawahlunto saat sebuah acara tengah berlangsung. Di sebelah kanan ruangan ini ada lagi ruangan cukup luas yang mungkin bisa digunakan untuk pameran foto atau lukisan. Meski ruangannya mungkin masih aseli namun saya tak yakin dengan keaslian langit-langit kayu di ruang utama dan juga selasar gedung ini. Namun hiasan kaca lukis di atas pintu-pintunya tampaknya masih aseli.
Selain sebagai gedung pertemuan, Gedung Pusat Kebudayaan Sawahlunto ini dulu juga digunakan sebagai tempat pesta-pesta para pejabat kolonial dan noni-noni Belanda setelah mereka selesai bekerja. Gedung ini juga pernah menjadi Rumah Bola untuk bermain bola bowling. Setelah jaman republik, bangunan ini pernah dijadikan Gedung Pertemuan Masyarakat (GPM), sebelum kemudian menjadi kantor Bank Dagang Negaara (BDN), lalu kantor Bank Mandiri sampai tahun 2005. Baru pada 1 Desember 2006, gedung ini digunakan sebagai Gedung Pusat Kebudayaan Kota Sawahlunto.
Bentuk luar Gedung Pusat Kebudayaan Sawahlunto ini masih tetap terlihat cantik dan anggun, namun interior gedung tua ini tidak begitu mengesankan saya. Pemugaran dan perbaruan memang bukan sesuatu hal yang perlu ditabukan, namun hendaknya ia menambah nilai seni dan keanggunan sebuah bangunan, bukan menguranginya.
Gedung Pusat Kebudayaan Sawahlunto
Alamat: Jl. A. Yani, Pusat Kota Sawahlunto, Sumatera Barat. Lokasi GPS: -0.68076, 100.77699, Waze. Rujukan : Hotel di Sawahlunto, Peta Wisata Sawahlunto, Tempat Wisata di Sawahlunto.Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.