Meskipun tujuan semula adalah berkunjung ke Masjid Laweyan Solo, namun ketertarikan pada Makam Kyai Ageng Henis yang berada di sebelahnya membuat masjid ini saya kunjungi belakangan. Lagi pula sejarah Masjid Laweyan sangat erat dengan tokoh Kyai Ageng Henis. Selain itu, umumnya tak ada batasan waktu untuk datang ke masjid.
Halaman Masjid Laweyan tak begitu lebar, namun memanjang. Hanya saja lantaran letaknya yang lebih tinggi dari jalan desa, maka kendaraan bermotor roda dua saja yang masih bisa parkir di halaman masjid. Kendaraan roda empat harus parkir sebelum batang jembatan.
Masjid Laweyan merupakan masjid tertua di Kota Solo, didirikan pada 1546 oleh Kyai Ageng Henis. Menurut penuturan Abdul Azis, kuncen Makam Kyai Ageng Henis, semula Masjid Laweyan ini berupa pura yang dipimpin oleh Ki Ageng Beluk, seorang pendeta Hindu yang masih keturunan Majapahit dan bernama asli Handayaningrat. Nama yang mengingatkan saya pada Ki Ageng Pengging Sepuh.
Masjid Laweyan Solo dilihat dari awal jembatan, di dekat tempat dimana kendaraan kami parkir di sebuah tanah lapang, di sebelah warung sederhana yang menyediakan minuman kopi panas dan berbagai gorengan. Menara Masjid Laweyan yang sederhana di sebelah kanan bisa terlihat pada foto. Empat pengeras suara diletakkan di puncak menara, mengarah ke empat penjuru angin.
Atap utama masjid yang berbentuk limasan tumpang tak terlihat lantaran selain atapnya rendah, juga karena letak masjid yang lebih tinggi dari jalan. Terdapat tiga buah gapura di bagian depan Masjid Laweyan, satu yang besar ada tepat di tengah, dan masing-masing satu gapura kecil di sayap kiri kanan tembok depan.
Ada sepasang menara kecil di gapura utama yang juga berfungsi sebagai lampu penerang ketika malam tiba. Ketiga gapura adalah perlambang tiga jalan hidup: Islam, Iman dan Ihsan. Lubang hawa pada tembok depan bentuknya sederhana saja, sementara atap masjid bagian serambi berbentuk limasan terpancung, menyerupai atap kelenteng. Sebuah tengara papan nama dan alamat masjid berada di halaman sisi sebelah kanan.
Bedug besar dengan bentuk lancip di bagian bawahnya yang unik, karena bentuk umumnya adalah bundar sempurna, serta sebuah kentongan panjang berada di bagian serambi Masjid Laweyan Solo. Langit-langit serambi bermotif kotak, dan tidak ada ukiran pada tiang-tiang penyangganya. Warna dominan di Masjid Laweyan Solo ini adalah hijau dan putih.
Dari serambi ada tiga pintu masuk ke ruang utama masjid, dan saya masuk dari pintu tengah yang tak dikunci setelah lebih dahulu mengambil air wudhu. Suasana sepi saya jumpai di dalam ruangan masjid karena memang sudah lewat awal waktu Ashar sehingga salat berjamaah sudah lama usai, dan sepertinya tak banyak musafir yang lewat dan mampir ke masjid ini untuk mengerjakan salat.
Ruang utama Masjid Laweyan yang atapnya ditopang oleh empat saka guru, seperti umumnya masjid tradisional di Jawa pada jaman dahulu. Model atap limasan tumpang memberi sumber pencahayaan pada ruangan, meski agak temaram, dan menambah sirkulasi udara di ruangan yang tak begitu besar ini.
Selain mimbar ukir dan tulisan Arab "Muhammad" dan "Allah" pada dinding mihrab, tidak ada ornamen lain yang menarik di ruang utama Masjid Laweyan. Berbeda dengan kebanyakan masjid yang bagian mihrabnya menonjol ke luar, mihrab masjid ini justru menonjol ke dalam ruang utama karena dinding mihrab sebaris dengan dinding tembok kiri-kanannya.
Mihrab dan mimbar dibuat dengan warna dasar hijau dan ornamen suluran keemasan yang menghiasi permukaan hampir di seluruh bagian kayu. Yang unik pada mimbar ini adalah ketiadaan atap namun ada semacam gapura di bagian depannya, meski atap memang tak diperlukan. Mungkin akan terlihat lebih elok dan unik jika saja gapura mimbar itu tidak ada.
Abdul Azis bertutur bahwa adalah karena terkesan dengan ahlak dan tutur kata Kyai Ageng Henis maka Ki Ageng Beluk belajar tentang Islam sampai kemudian ia menyerahkan pura kepada Kyai Ageng Henis untuk dijadikan masjid. Sebuah pelajaran yang sangat berharga bahwa ahlak dan tutur kata baik yang membuat hati bisa mencair.
Memperbaiki ahlak, yang diperlihatkan dalam tutur kata dan tulis serta perbuatan, adalah alasan mengapa agama diturunkan. Karenanya, sungguh sangat buruk jika ada orang atau kelompok yang mengaku beragama dan mengklaim membela agama namun narasi, tulisan dan perbuatannya selalu panas, senang menebar fitnah serta berita bohong, dan tindaknya lebih sering menyulut permusuhan ketimbang persatuan, bahkan kepada pemeluk agamanya sendiri.
Cerita lain yang saya dapatkan dari Aziz adalah bahwa Raja Brawijaya V konon tak mempan disunat oleh sebab menurut Raden Patah ia belum ikhlas masuk islam. Setelah ikhlas barulah ia bisa disunat. Entahlah.
Namun sejarah mencatat, Kerajaan Majapahit berakhir manakala Brawijaya V memilih turun dari tahta kerajaan, dan lalu menyingkir keluar dari keraton untuk menyepi di daerah Gunung Kidul.
Halaman Masjid Laweyan tak begitu lebar, namun memanjang. Hanya saja lantaran letaknya yang lebih tinggi dari jalan desa, maka kendaraan bermotor roda dua saja yang masih bisa parkir di halaman masjid. Kendaraan roda empat harus parkir sebelum batang jembatan.
Masjid Laweyan merupakan masjid tertua di Kota Solo, didirikan pada 1546 oleh Kyai Ageng Henis. Menurut penuturan Abdul Azis, kuncen Makam Kyai Ageng Henis, semula Masjid Laweyan ini berupa pura yang dipimpin oleh Ki Ageng Beluk, seorang pendeta Hindu yang masih keturunan Majapahit dan bernama asli Handayaningrat. Nama yang mengingatkan saya pada Ki Ageng Pengging Sepuh.
Masjid Laweyan Solo dilihat dari awal jembatan, di dekat tempat dimana kendaraan kami parkir di sebuah tanah lapang, di sebelah warung sederhana yang menyediakan minuman kopi panas dan berbagai gorengan. Menara Masjid Laweyan yang sederhana di sebelah kanan bisa terlihat pada foto. Empat pengeras suara diletakkan di puncak menara, mengarah ke empat penjuru angin.
Atap utama masjid yang berbentuk limasan tumpang tak terlihat lantaran selain atapnya rendah, juga karena letak masjid yang lebih tinggi dari jalan. Terdapat tiga buah gapura di bagian depan Masjid Laweyan, satu yang besar ada tepat di tengah, dan masing-masing satu gapura kecil di sayap kiri kanan tembok depan.
Ada sepasang menara kecil di gapura utama yang juga berfungsi sebagai lampu penerang ketika malam tiba. Ketiga gapura adalah perlambang tiga jalan hidup: Islam, Iman dan Ihsan. Lubang hawa pada tembok depan bentuknya sederhana saja, sementara atap masjid bagian serambi berbentuk limasan terpancung, menyerupai atap kelenteng. Sebuah tengara papan nama dan alamat masjid berada di halaman sisi sebelah kanan.
Bedug besar dengan bentuk lancip di bagian bawahnya yang unik, karena bentuk umumnya adalah bundar sempurna, serta sebuah kentongan panjang berada di bagian serambi Masjid Laweyan Solo. Langit-langit serambi bermotif kotak, dan tidak ada ukiran pada tiang-tiang penyangganya. Warna dominan di Masjid Laweyan Solo ini adalah hijau dan putih.
Dari serambi ada tiga pintu masuk ke ruang utama masjid, dan saya masuk dari pintu tengah yang tak dikunci setelah lebih dahulu mengambil air wudhu. Suasana sepi saya jumpai di dalam ruangan masjid karena memang sudah lewat awal waktu Ashar sehingga salat berjamaah sudah lama usai, dan sepertinya tak banyak musafir yang lewat dan mampir ke masjid ini untuk mengerjakan salat.
Ruang utama Masjid Laweyan yang atapnya ditopang oleh empat saka guru, seperti umumnya masjid tradisional di Jawa pada jaman dahulu. Model atap limasan tumpang memberi sumber pencahayaan pada ruangan, meski agak temaram, dan menambah sirkulasi udara di ruangan yang tak begitu besar ini.
Selain mimbar ukir dan tulisan Arab "Muhammad" dan "Allah" pada dinding mihrab, tidak ada ornamen lain yang menarik di ruang utama Masjid Laweyan. Berbeda dengan kebanyakan masjid yang bagian mihrabnya menonjol ke luar, mihrab masjid ini justru menonjol ke dalam ruang utama karena dinding mihrab sebaris dengan dinding tembok kiri-kanannya.
Mihrab dan mimbar dibuat dengan warna dasar hijau dan ornamen suluran keemasan yang menghiasi permukaan hampir di seluruh bagian kayu. Yang unik pada mimbar ini adalah ketiadaan atap namun ada semacam gapura di bagian depannya, meski atap memang tak diperlukan. Mungkin akan terlihat lebih elok dan unik jika saja gapura mimbar itu tidak ada.
Abdul Azis bertutur bahwa adalah karena terkesan dengan ahlak dan tutur kata Kyai Ageng Henis maka Ki Ageng Beluk belajar tentang Islam sampai kemudian ia menyerahkan pura kepada Kyai Ageng Henis untuk dijadikan masjid. Sebuah pelajaran yang sangat berharga bahwa ahlak dan tutur kata baik yang membuat hati bisa mencair.
Memperbaiki ahlak, yang diperlihatkan dalam tutur kata dan tulis serta perbuatan, adalah alasan mengapa agama diturunkan. Karenanya, sungguh sangat buruk jika ada orang atau kelompok yang mengaku beragama dan mengklaim membela agama namun narasi, tulisan dan perbuatannya selalu panas, senang menebar fitnah serta berita bohong, dan tindaknya lebih sering menyulut permusuhan ketimbang persatuan, bahkan kepada pemeluk agamanya sendiri.
Cerita lain yang saya dapatkan dari Aziz adalah bahwa Raja Brawijaya V konon tak mempan disunat oleh sebab menurut Raden Patah ia belum ikhlas masuk islam. Setelah ikhlas barulah ia bisa disunat. Entahlah.
Namun sejarah mencatat, Kerajaan Majapahit berakhir manakala Brawijaya V memilih turun dari tahta kerajaan, dan lalu menyingkir keluar dari keraton untuk menyepi di daerah Gunung Kidul.
Masjid Laweyan Solo
Alamat : Jl Liris, Pajang, Laweyan, Solo. Lokasi GPS : -7.5714102, 110.7926559, Waze. Rujukan : Hotel di Solo, Tempat Wisata di Solo, Peta Wisata Solo.Sponsored Link
Sponsored Link
Sponsored Link
Bagikan ke:
Facebook, Twitter, WhatsApp, Telegram, Email. Print!.